Kamis, 24 November 2016

Apakah Non Muslim Wajib Masuk Islam ?




Apakah Non Muslim Wajib Masuk Islam ? 

Iman kepada Allah dan Rasul merupakan pokok keimanan setiap muslim yang terhimpun dalam dua kalimat syahadat. Kendatipun demikian, hal ini tidak memiliki makna bahwa hanya orang muslim yang wajib beriman kepada Allah dan Rasul, namun beban tersebut juga berlaku bagi seluruh makhluk termasuk orang-orang yang non muslim, bahkan kalangan jin sekalipun wajib beriman kepada allah dan Rasul. Syaikh Abdillah bin Thahir Ba-‘alwi didalam matan Sullam al-Taufiq menyatakan sebagai berikut : 

"يجب على كل مكلف الدخول في دين الاسلام والثبوت فيه على الدوام والتزام ما لزم"

Artinya : Wajib bagi setiap Mukallaf masuk Islam, dan menetapi agama tersebut selamanya serta melaksanakan hal-hal yang diwajibkan didalam islam. 

Siapakah Yang Disebut Mukallaf ?

Syaikh salim al-hadhromi didalam matan safinatunnajah menyatakan bahwa yang dimaksud mukallaf ialah orang yang memenuhi empat persyaratan : 

a. Baligh (mimpi basah bagi laki-laki dan haidh bagi perempuan)
b. Berakal (sehat akalnya atau tidak gila)
c. Sehat pendengaran dan pengelihatannya (agar bisa mengetahui islam)
d. Sampai kepadanya dakwah Islam (ia mengetahui adanya agama yang benar, yakni Islam)

Mengapa Orang Kafir Kekal di Neraka ?

Syaikh Nawawi Al-Bantani menjelaskan makna matan sullam al-Taufiq diatas dengan penjelasan bahwa mukallaf itu meliputi semua orang yang memenuhi persyaratan tersebut. Sehingga orang yang non muslim pun punya kewajiban untuk masuk Islam, kewajiban shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu orang non muslim yang tidak mau masuk Islam akan disiksa dengan dua azab, yakni azab sebab tidak beriman kepada Allah dan Rasul, serta azab karena meninggalkan kewajiban ibadah, sehingga mereka akan kekal di Neraka. berbeda dengan orang Muslim, meskipun memiliki banyak dosa, namun karena ada iman dihatinya, maka ia akan mendapat kesempatan masuk surga Allah. 

Apakah Kebaikan Orang Kafir Bernilai Dimata Allah ?

Adapun orang kafir yang melakukan kebaikan, semisal gerakan shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya maka yang dilakukan itu tidak sah dan tidak akan mendapat pahala karena dilakukan dalam status kafir. hal ini sebagaimana dinyatakan Habib Zain Bin Sumaith didalam Taqrirat Al-Sadidah bahwa, syarat mendapatkan pahala mengerjakan yang wajib dan sunnah, atau meninggalkan yang haram dan makruh baru akan didapat jika semua itu dilakukan dalam rangka "Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya dan didasari keimanan kepada Allah Swt,."  dengan demikian, maka segala hal terkait ibadah harus didasari keimanan dan dilaksanakan karena Allah, jika tidak maka semua akan sia-sia. Wallahu A'lam..

Kalimat Hikmah : 

,كم من مذكر لله وهو له ناس
,وكم من داع الى الله تعالى وهو فار من الله تعالى
,كم من تال لكتاب الله تعالى وهو منسلخ من اياب الله تعالى
(أبو العباس بن السماك)

"Berapa banyak orang yang berzikir kepada Allah, namun hatinya melupakan Allah,
Berapa banyak  orang yang menyeru ke jalan Allah, namun ia semakin beranjak dari Allah

Berapa banyak orang yang membaca ayat-ayat  Allah (Al-Qur'an),
 Namun Al-Qur'an menjadi cerminan bagi pribadinya" (Abu Al-'Abbas Bin Al-Simaak)

Mengapa Wanita Dianjurkan Memakai Niqob (Cadar) ?


Pendahuluan 
Syari'at Islam adalah sekumpulan aturan kehidupan yang membawa kebahagiaan (maslahat). Sekumpulan syari'at itu diturunkan oleh Allah melalui perantara Rasulullah, Sang pembawa Wahyu al-Qur'an yang menjadi mukjizat terbesar dan berlaku sampai hari kiamat. Orang-orang yang mengamalkan Syari'at tersebut tentulah akan mendapatkan kebahagiaan, karena esensi kebahagiaan itu sendiri adalah ketika manusia kembali kepada fitrahnya sebagai hamba yang patuh kepada Allah, (SMN Al-Attas: Konsep Kebahagiaan dan pengalamannya dalam Islam). 

Salah Satu dari aturan tersebut Ialah tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Syari’at islam mengatur dengan tegas bagaimana cara-cara bermu’amalah antara laki-laki dan perempuan. Diantaranya ialah menjaga pandangan dari melihat hal-hal yang diharamkan. Sebagai aturan yang datang langsung dari Allah, tentulah ada solusi untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan tersebut. dalam tulisan ini penulis akan mencoba membahas secara ringkas mengenai salah satu solusi tersebut. Yakni “Urgensi mengenakan cadar bagi perempuan muslimah, dan hikmahnya dalam islam”. 

Pembahasan
Wanita Shalihah adalah perhiasan dunia yang harus dijaga dan dimuliakan. Layaknya sebuah perhiasan, tentu harus disimpan dengan baik dan jangan sampai dipegang oleh tangan yang salah. demikian juga dengan Wanita Shalihah, harus dilindungi dan dijaga keagungan dan kemuliaannya. Wanita Shalihah dimata para pujangga biasa dikenal dengan "Mawar Berduri". terlepas dari ungkapan para pujangga yag kaya akan makna, jauh lebih awal Rasulullah pun telah bersabda sebabai berikut : 

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ، أَخْبَرَنِي شُرَحْبِيلُ بْنُ شَرِيكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ، يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ»

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah 'Wanita Shalihah'". (HR.Muslim, 1467. Juz 2 hal.1090). 

Hadis diatas memberikan penjelasan bahwa wanita Shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia yang direkomendasikan oleh Rasulullah Saw. Namun, bagaimanakah kriteria wanita shalihah yang dimaksud oleh Rasulullah ? 

Membahas masalah ini agaknya akan lebih sempurna jika dirujuk kepada al-Qur'an. Allah Swt berfirman pada Q.s An-Nur Ayat 31 sebagai berikut : 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ...َ

Artinya : "Katakanlah kepada perempuan Perempuan beriman, hendaklah menjaga pandangan mereka dan menjaga farj nya, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang biasa tampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupi dada mereka dengan kerudung..." (Q.s. An-Nur 31). 

Berdasarkan ayat-ayat diatas, dapat diperoleh beberapa poin dari ciri-ciri wanita shalihah, diantaranya yakni : 

1. Menjaga Pandangan dari yang haram 
2. Menjaga Farj dari perzinaan
3. Tidak menampak-nampakkan perhiasan
4. Memakai kerudung hingga menutupi dada. 

Dari beberapa kriteria diatas, para ulama memperselisihkan point ke 3. yakni pada kalimat إلا ما ظهر منها. berikut penulis uraikan beberapa pandangan ulama mengenai hal ini. 

1. Diriwayatkan dari Ibn al-muthna, Sufyan dari 'Alqamah dari Ibrahim, Abu al-Ahush dari 'Abdillah menjelaskan bahwa makna lafaz tersebut adalah "pakaian". 
2. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid dari Ibn Mas'ud bahwa makna lafaz tersebut ialah "selendang".
3. Diriwayatkan dari yang lainnya bahwa makna lafaz tersebut ialah "Wajah, cincin, dan celak".
(Lihat Tafsir Ath-Tabari)

Berdasarkan ketiga pandangan ini maka diperoleh penjelasan bahwa makna dari kalimat إلا ما ظهر منها, bisa bermakna Pakaian, selendang, wajah, celak, dan cincin. Masalahnya, jika celak dan cincin bukan termasuk yang wajib ditutup, apakah serta merta bukan termasuk aurat perempuan ? 

Berikut penulis nukil dari beberapa kitab fiqih yang membahas masalah ini : 

Rawaai'ul Bayan, Imam 'Ali Ash Shobuni, Juz 2 h.154
- Aurat wanita dihadapan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya. Berdasarkan pendapat yang shahih dari Mazhab Imam Asy-Syafi'i dan Imam Hanbali.  Sedangkan Mazhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengecualikan wajah dan telapak tangan.  
Disisi lain, Ulama Mazhab Asy-Syafi'i menyatakan bahwa :  
Kitab Al-Hawi al-Kabir Juz 9 Hal. 23 : 
-Wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat hal ini dapat diperoleh dari ibarat bolehnya melihat celak dan cincin yang adatnya dipakai di wajah dan jari-jari tangan. 

Demikian juga disebutkan di kitab : Gharibil Qur'an Ibn Qutaibah Juz 1 hal.260

Pandangan ini bersumber dari beberapa dalil, diantaranya sebagaimaa diriwayatkan dari Sayyidatina 'Aisyah r.a. ketika Asma' binti Abu Bakr masuk ke kamar Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan "Wahai Asma', jika perempuan sedang haid maka tidak baik memandanginya kecuali ini dan ini (sembari mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan. 
 Didalam Literatur lain, bahwa 'Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya diluar salat jika ia dihadapan laki-laki yang bukan mahram. Fiqh Islam wa Adillatuhu Juz 1 h.750


Mausu'ah al-Fiqhiyah Juz 41 hal.134 : Sepakat ulama mazab 4 bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat, maka boleh saja bagi perempuan jika ingin memakai niqob (cadar) atau tidak. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri ada pertentangan didalam internal mazhab itu sendiri. 


Kesimpulan : 
  1. Pada dasarnya wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat. 
  2. Namun keduanya bisa menjadi aurat menurut sebagian ulama,ketika  dihadapan laki-laki yang bukan mahram. 
  3. Meskipun demikian, Jika dikhawatirkan akan timbul fitnah ketika wanita tidak menutup wajahnya, maka dianjurkan mengenakan Niqob / Cadar untuk menghindari fitnah tersebut. bukan karena wajah termasuk aurat. 
  4. Al-Hasil, untuk mengindari fitnah antara laki-laki dan perempuan hendaklah keduanya saling menjaga. wanita menjaga dirinya dengan mengurangi perhiasan, atau baiknya mengenakan Niqob/cadar disamping pakaian penutup aurat lainnya. dan laki-laki hendaklah menahan pandangannya dari memandang wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita yang mengenakan Cadar / Niqob berarti ia ingin melaksanakan syari'at dengan sebaik-baiknya. Jadi bagi orang yang ikhlash melaksanakan hal ini berbagai kesulitan pun bukanlah halangan, bahkan mereka memandang itu sebagai penambah kebaikan. 
  6. Jika ada kalangan yang memaksakan memakai Niqob, maka ini disebabkan kekhawatirannya akan fitnah, adapun yang tidak memaksakan berarti ia faham bawa memakai cadar pada dasarnya adala sunnah, dan melaksanakan sunnah Nabi tidak dipaksakan, namun tetap dianjurkan mengingat besarnya fitnah akhir zaman. 
Akirnya, Wanita Salihah adalah yang mampu menjaga dirinya dari fitnah, dan laki-laki pun demikian. cara-cara untuk menghindari fitnah itupun sudah diterangkan oleh syari'at. semoga Allah menjaga kita semua dari fitnah yang dapat mencelakakan.

Hikmah dari memakai niqob adalah terhindarnya laki-laki dan perempuan dari berbagai peluang zina. dan dengan demikian ia akan tetap menjadi hamba yang mulia dihadapan Allah Swt,.. Wallahu A'lam. 







Rabu, 23 November 2016

Manusia Dalam Pandangan Kosmologi Islam


Dalam kosmologi Islam, sifat feminin dan maskulin ditentukan berdasarkan aktif atau pasif nya zat yang disifati. Sebagaimana yang tertera didalam asma’ al-husna, dapat dilihat bahwa Allah memiliki kedua sifat ini secara bersamaan.[1] Allah bersifat maskulin, Ketika Ia dihubungkan dengan alam semesta. Sedangkan alam semesta dalam hal ini bersifat feminin, karena alam semesta merupakan hasil dari sifat Allah Yang maskulin. Gambaran ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, alam bersifat feminine. Ibn ‘Arabi, didalam Fushush al-hikam menyatakan bahwa alam merupakan cerminan sifat-sifat Allah,[2] artinya, alam semesta juga memiliki sifat feminine dan maskulin yang merupakan hasil dari cerminan sifat-sifat Allah Swt,. 

Kosmologi Islam memandang manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos). Ia mencakup seluruh aspek yang ada di alam semesta (al-kawn al jami’). Hal ini sesuai dengan pandangan al-Qurthubi (671 H) yang menempatkan manusia sebagai presentasi dari seluruh makhluk yang ada di dunia.[3] Pandangan al-Qurthubi ini setidaknya memberikan gambaran bahwa antara manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos) memiliki hubungan yang sangat erat. Bahkan, kehidupan manusia tidak lain merupakan gambaran kinerja alam semesta.[4] Termasuk sifat-sifat alam semesta pun diwakili oleh manusia. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa didalam dirinya manusia-pun memiliki sifat feminine dan maskulin. 

Sebagaimana dapat dilihat pada alam semesta, bahwa langit memerankan sifat yang lebih kepada maskulin, sedangkan bumi lebih kepada feminine. Demkian pula halnya dengan manusia, laki-laki dengan bentuk fisiknya lebih cenderung memerankan sifat maskulin, sedangkan perempuan lebih cenderung kepada sifat feminine.[5] Keterangan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki dualitas sifat yang berdampingan, dimana maskulinitas laki-laki juga menyimpan feminitas, demikian pula dengan perempuan, dibalik kecenderungan sifat femininnya ia juga memiliki sifat maskulin. .[6]

Sifat-sifat Allah yang di manifestasikan[7] kepada alam semesta, merupakan sifat yang bertentangan satu sama lainnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai perbedaan yang ada di alam semesta. Seperti siang dan malam, panas dan dingin, langit dan bumi, matahari dan bulan, yang padanya terbangun relasi kosmik sehingga melahirkan ketentraman dan kestabilan.[8] Kendatipun demikian, seluruh benda yang ada di alam semesta belumlah mampu mewakili atau menjadi cerminan sifat-sifat Allah sepenuhnya. Dalam hal ini Tosihiko menggunakan analogi cermin yang buram, dimana cermin tersebut tidak akan mampu mencerminkan objek dengan baik dan sempurna.[9]

Berbeda dengan manusia, ia dipandang sebagai cermin yang berkilau Karena ia adalah mikrokosmos, yang merupakan bentuk kecil dari gabungan seluruh alam semesta.[10] Sebagai cerminan yang berkilau, maka manusia adalah refleksi sempurna dari sifat-sifat Allah Swt,. Hal ini bermakna bahwa didalam diri manusia sendiri terhimpun berbagai sifat-sifat berbeda yang membentuk kinerja tubuh hingga tetap hidup dengan baik. Jika langit membutuhkan bumi sebagai tempat menampung curahan hujan sehingga menumbuhkan pepohonan, maka laki-laki pun membutuhkan perempuan untuk mendapat kebahagiaan dan ketenangan.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam.[11] Artinya didalam diri Hawa tersimpan sebagian dari sifat-sifat yang sebelumnya dimanifestasikan Allah kepada Adam as,. Inilah alasan utama yang menyebabkan Hawa begitu menarik, bagi Nabi Adam.[12] karena pada dasarnya Hawa adalah bagian dari Adam yang dijadikan sebagai wadah manifestasi sifat feminitas Allah Swt. Dengan terjalinnya hubungan antara Nabi Adam dan Hawa, akan lahir kesempurnaan[13] manusia sebagai totalitas manifestasi sifat-sifat Allah Swt,.[14] Jadi, manusia memang diciptakan dengan jenis yang berbeda, karena ia merupakan cerminan dari sifat Jamal dan Jalal Allah, yang tampak bertentangan namun saling melengkapi satu sama lainnya. 



[1] Nanang Qosim Yusuf, The Heart OF 7 Awareness, Pelatihan Untuk Mencipta Kesadaran dan Kebahagiaan Menjadi Manusia Diatas Rata-Rata (Jakarta: Hikmah, 2008),h.94 
[2] Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushush al-Hikam (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Arabi, t.t.h), h.48. 
[3] Muhammad Syamsuddin al-Qurthubi,al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 20, h.114. Lihat Juga Darwis Hude, Emosi, Penjelajahan Religio Psikologis Tentang Emosi Manusia Di Dalam Al-Qur'an (Jakarta: Penerbit Erlangga,2006), h.93. 
[4] Nicolas J.Woly, Perjumpaan Di Serambi Iman (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h.317 
[5] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, memahami Islam secara fenomenologis(terj) (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h.292. 
[6] Sachiko Murata, The Tao Of Islam, h.87 
[7] Manifestasi atau istilah lainnya disebut tajalli, adala proses Sang Mutlak Menggelar penjelmaa dirinya dalam bentuk-bentuk yang semakin konkret. Lihat : Toshihiko Izutsu, Sufisme Samudera Ma’rifat IIbn ‘Arabi, h.179. Namun, dalam memahami makna manifestasi sifat-sifat Allah ini tidak sedikit orang yang salah dalam memahami. Maka para ulama tasawuf lebih cenderung menggunakan istilah tajalli yang bermakna menunjukkan keagungan dan keperkasaan sifat-sifat Allah di alam semesta. tujuannya adalah agar manusia menyadari bahwa segala hal yang ada dimukabumi tidak lain merupakan hasil pentajallian tersebut. maka siapa saja yang telah sampai pada maqam penyaksian manifestasi sifat-sifat Allah di dunia, niscaya akan melihat zat Allah dihari kiamat tanpa bentuk dan rupa.Abdul Qadir al-Jailani, Secret of the Secrets, Hakikat Segala Rahasia Kehidupan(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008),h.160. 
[8]Sachiko Murata, The Tao of Islam, h.34. lihat juga pada halaman 165 mengenai langit dan bumi. 
[9] Toshihiko Izutsu, Sufisme Samudera Ma’rifat IIbn ‘Arabi, h.263
[10] Ibid,. 264. 
[11] Q.s An-Nisa ayat 1. Penafsirannya lihat Mujahid bin Hajar al-Makhzumi, Tafsir Mujahid, Tahqiq Muhammad Abdussalam Abu Nail (Mesir: Dar al-Fikr al-Islamiy al-Hadistah, 1410 H), Juz.1 h.265 dan Muhammad bin Jarir at-Tabari, Jami' al-Bayan Fi Ta'wil al-Qur'an (t.t: Muassasah ar-Risalah, 1420 H), Juz.7, h.512. 
[12] Sachiko Murata, The Tao of Islam, h.246. 
[13] Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fusush al-Hikam (Libanon: Dar Kutub al-‘Arabi, t.t.h), h.215. 
[14] Jawadi Amuli, Keindahan dan Keagungan Perempuan (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.11.

Kepemimpinan Dalam Islam



Pendahuluan

Pada dasarnya, konsep kepemimpinan dalam Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw,. Rujukan utama dalam menentukan kebijakan publik telah dijelaskan secara umum didalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun hal-hal teknis yang terkait dengan penggantian kepemimpinan perlu adanya analisa dan metode pendekatan yang dipakai untuk mmahami kedua teks diatas. Imam al-Baqillani memberikan solusi terhadap hal ini dengan berpedoman kepada al-Qur’an, hadis, ijma’ qiyas dan hujjah akal. Dengan berlandaskan kelima pondasi tersebut, maka akan lebih mudah menyelesaikan masalah terkait kepemimpinan. (­Al-Baqillani, al-Insaf, h.30-32). 

Kepemimpinan adalah perkara yang penting bagi umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari sejarah peralihan kepemimpinan dari Rasulullah kepada Khalifah Abu Bakr. Dimana pengangkatan pemimpin lebih didahulukan daripada menyegerakan pengurusan jenazah Rasulullah. Peristiwa ini tentunya bukan sebuah kecerobohan para sahabat, melainkan sebuah inisiatif penting untuk menjaga persatuan umat Islam, khususnya yang para muallaf yang baru masuk Islam. Disamping mencegah munculnya anggapan yang mengatakan Islam hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.

Lebih lanjut imam al-Baqillani mengemukakan alasan pentingnya kepemiminan dalam Islam, diantaranya ialah, pertama: untuk mengatur tentara guna membentengi umat dari serangan musuh; kedua: untuk mengawasi ummat, baik yang zhalim maupun yang dizalimi; Ketiga: untuk menegakkan hukum Islam. Inilah diantara beberapa alasan mengapa kepemimpinan didalam Islam menjadi sangat penting. 

Berdasarkan fakta sejarah, penerapan konsep kepemimpinan Islam merupakan gerbang utama kemajuan Islam. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh-pengaruh peradaban Islam yang ada di dunia, termasuk Indonesia, yang terkenal dengan WaliSongo sebagai pembawa ajaran Islam ke Nusantara. Adapun Walisongo tidak lain merupakan utusan dari Dinasti Uthmaniyah, pemegang tampuk beradaban besar Islam yang berhasil membuat Barat terkagum-kagum. Hal ini sebagaimana diakui oleh salah seorang tokoh Barat, Carleton S, ketika memberi komentar terhadap peradaban Islam Islam dari tahun 800-1600 M. 

Liberalisasi Kepemimpinan Islam

Kepemimpinan politik Islam adalah kepemimpinan yang unik. Islam sebagai sebuah worldview (pandangan hidup) mampu menggabungkan aspek dunia dan akhirat dalam perpolitikan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Islam dan Negara adalah saudara kembar. Islam adalah aqidah spiritual sekaligus aqidah politik/siyasah. (Hafiz Abdurrahman, diskursus Islam Politik dan spiritual). Oleh karena Islam sebagai aqidah politik, maka urusan kepemimpinan adalah bagian dari aqidah Islam. Termasuk melarang orang-orang muslim memili pemimpin kafir diwilayah mayoritas muslim. 

Prinsip inilah yang kemudian mulai disamarkan oleh sebagian cendikiawan Indonesia. Siti Musdah Mulia, Sekjend ICRP ketika ditanya mengenai pemimpin non muslim di kawasan mayoritas muslim, ia justru mengatakan kepada masyarakat agar mengambil sikap yang lebih humanis dan kondusif untuk nilai-nilai kemanusiaan. (Reformata, Edisi 155. h.12). statemen ini berimplikasi pada tegaknya ideology humanism, dan dalam masalah pemimpin non muslim, bagi orang yang tidak mau memilih pemimpin non muslim dianggap tidak menghormati sesama manusia, dan tidak menghormati kebhinekaan. Namun ia lupa, bukankah memaksakan orang muslim memilih pemimpin non muslim adalah pelanggaran terhadap prinsip kebhinekaan ? 

Lebih lanjut Saiful Mujani menyatakan Negara Islam indonesia tidak sah kalau tidak merefleksikan kepentingan rakyat yang plural scara keagamaan. menggunakan simbol Islam dalam politik hanya akan menimbulkan fanatisme Islam tanpa mendalami dan menyadari Islam itu sendiri. (Saiful Mujani, Muslim Demokrat, h.68). Pandangan ini adalah respon dari hasil penelitian CRCS yang menyebutkan bahwa 70-80% umat muslim masih tidak bisa menerima pemimpin non muslim di kawasan mayoritas muslim. (Elza Peldi Taher,Merayakan Kebebasan pemutar balikan fakta Beragama h.459). statement ini secara tidak langsung berupaya memisahkan agama dan Negara.

Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim

Berbicara mengenai hukum memilih pemimpin non muslim (kafir), sudah tertera dengan jelas didalam al-Qur’an. Diantara ayat-ayat tersebut ialah : 

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin / pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.(QS. Ali 'Imran : 28.)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). (QS.Al-Ma idah : 57) 

Kedua dalil al-Qur’an diatas dikuatkan dengan ayat lain seperti Qs.Al-Maidah: 51, Qs.An-Nisa: 144, QS. At-Taubah:16, QS.Al-Qashash: 86, QS.Aali 'Imraan:149-150, QS. An-Nisaa': 141, QS. An-Nisaa' : 138-139, QS. Al-Maa-idah: 80-81, QS.Al-Mujaadilah: 14-15, QS.Al-Mumtahanah : 5. 

Para ulama menjelaskan bahwa maksud dari ayat-ayat al-Qur’an datas ialah larangan memilih pemimpin non muslim (kafir). Sebagaimana diungkapkan didalam kitab Al-Mahalli 'alal minhaj juz 4 hal 172 “haram menguasakan orang kafir teradap umat Islam kecali karena darurat”. Lebih lanjut Imam Asy Syarwani didalam Hasyiyah Asy-Sarwani 'ala Tuhfah juz 9 h.72-73:” Jika suatu kepentingan mengaruskan penyerahan yang tidak bisa diakukan orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya sifat khianat pada diri pelaksana dari kalangan umat Islam dan akan aman ditangan kafir zimmi maka boleh menyerahkannya karena darurat. Namun bagi pihak yang menyerahkan harus ada penjagaan, jangan sampai ada gangguan yang ditimbulkan sedikitpun terhadap kalangan umat Islam.” 

Meluruskan Kekeliruan 

Pada dasarnya payung bersifat menaungi dari hujan dan terik matahari. Namun yang tidak boleh dilupakan bahwa payung itu bisa dipindahkan sewaktu-waktu kepada orang-orang tertentu, tergantung siapa yang memegangnya. 

Kepemimpinan adalah wadah yang digunakan untuk melindungi rakyat. Namun kepemimpinan juga bisa menjadi bumerang bagi rakyat itu sendiri. Jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang dimerdekakan dan diperjuangkan oleh para syuhada, maka hal ini dapat diterima karena mayoritas dari masyarakat Indonesia beragama Islam. Sebagai umat Islam tentu memiliki prinsip-prinsip yang dilandasi oleh sumber hukum yang fundamental dalam urusan memilih pemimpin. Prinsip inilah ang harus dipegang dan dipertahankan, tentunya untuk melindungi hak-ak kaum muslimin. Sejarah telah membuktikan bahwa belum ada kepemimpinan orang non muslim yang mampu mengapresiasi hak-hak rakyat muslim. Namun sejarah juga telah membuktikan, seluruh kepemimpinan Islam mampu melindungi dan bersikap adil kepada seluruh rakyat. 

Adapun perihal kepemimpinan non muslim yang belakangan ini menjadi headline di berbagai media, sesungguhnya tidak lagi sebatas hubungan sesama manusia seperti logika Musdah Mulia dan Saiful Mujani. Lebih dari itu bangsa Indonesia sedang menghadai problematika besar. Indonesia sebagai Negara yang terletak di kawasan equator dan merupakan penghasil energi nabati terbesar se Asia, hari ini telah menjadi incaran Negara-negara asing yang nyaris kehabisan energi. Inisiatif untuk mengatasi habisnya energy ini adalah menggunakan nabati sebagai sumber energi. Dan itu hanya bisa didapatkan dengan jumla besar di kawasan Indonesia. Adapun jalan bagi pihak asing masuk dan mulai “mengkapling” sumber energi tersebut ialah melalui legislasi pemimpin. Masalahnya, Indonesia adalah Negara yang sangat “welcome” dengan kedatangan warga asing bahkan bisa memiliki hampir sebagian sumber ekonomi bangsa. Jadi, memilih pemimpin non muslim atau pro dengan non muslim bukan lagi perkara atau lingkup agama, namun sudah masuk kedalam ranah ketahanan Negara. Bukankah Indonesia pernah Dijajah oleh belanda ? dan penjajahan itu dimulai dengan kerjasama sumber daya alam khususnya rempah-rempah. 

Kesimpulan
Kepemimpinan Islam adalah hal penting yang harus diperjuangkan, hal ini demi menjaga dan membela umat islam dari gangguan kaum kafir. Sebagaimana tertera didalam al-Qur’an, Hadis dan dalil-dalil lainnya, bahwa memilih pemimpin kafir adalah haram. Karena akan berdampak bagi kemajuan umat islam. Disamping itu, jika di Indonesia dipimpin oleh kaum kafir atau pemimpin yang pro-kafir, maka tidak dapat dihindari, arus masuknya penjajahan era baru bukanlah sebuah wacana belaka. Semoga Allah melindungi Islam dan Negara Indonesia. Wallahu A’lam. 



KERANCUAN STUDI ALQUR’AN ALA BARAT



Menyingkap kekacauan berfikir Kaum Liberal

Tidak ada kitab suci yang sedemikian besar pengaruhnya terhadap masyarakat dan begitu penting perannya dalam sejarah peradaban manusia selain Al-Qur’an. Dari abad ke abad, kitab suci ini telah menjadi sumber inspirasi para penuntut ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya, para Ulama tak habis-habis membahasnya. Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab suci yang menyatakan bahwa dirinya bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhan isinya (wa inna lahu lahafizun), dan tidak akan mungkin dibuat tandingannya (Laa ya’tuuna Bimitslihi). Ia ibarat kompas pedoman arah dan petunjuk jalan, laksana lentera penerang jalan. Barangkali keistimewaan inilah yang membuat para Orientalis (Orang yang mengkaji Islam dengan Ideologi Barat), Non-Muslim, Yahudi,Liberal dan Kristen menjadi iri dan dengki sehingga berupaya merusak nilai-nilai al-Qur’an. 

Soal : Bagaimana Kedudukan Al-Qur’an dimata kaum Liberal ? 

Jawab : Bermula dari Liberalisasi pemikiran, dimana manusia dituntut untuk berfikir bebas tanpa keterikatan dengan apapun. Bebas berbicara, bertindak dan bebas menafsirkan teks-teks agama. Semua tindakan ini dinaungi oleh payung HAM yang tidak lain merupakan program universal, (Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional,2012). Dari Liberalisasi berlanjut ke sekularisasi, dimana agama tidak lagi bisa dibawa dalam ranah akademik dan pemerintahan, termasuk dalam menafsirkan teks-teks agama-pun tidak lagi boleh melibatkan Tuhan. Alasan yang digunakan sangat klasik, “karena urusan Tuhan adalah perkara metafisik” dan tidak dapat diterima secara empiris (nalar). Dengan demikian, adalah sebuah ketidak mungkinan mengkaji al-Qur’an dengan melibatkan Tuhan, sedangkan Tuhan tidak dapat djangkau akal. Inti dari sekularisasi pemikiran islam adalah “desakralisasi teks agama”, dan yang pertama terkena imbasnya adalah al-Qur’an. 

Desakralisasi adalah memandang bahwa tidak ada yang suci dan perlu disucikan di dalam dunia, termasuk segala aspek agama (Hamid Fahmy: Misykat,2012). Jadi titik dasar pengkajian al-Qur’an diakalangan orientalis Barat adalah menghilangkan kesucian al-Qur’an dengan cara menjadikannya sebagai teks sastra sejenis puisi dan lain-lain (Islamlib.com/al-Qur’an Teks Sastra). Dengan demikian, al-Qur’an dimata kaum liberal tidak lain daripada teks biasa yang tidak memiliki kesucian /sakralitas sama sekali. Maka bukan hal yang mengherankan bila kaum liberal dengan seenak perutnya menafsirkan al-Qur’an, bahkan bukan hal yang sulit bagi mereka berbicara buruk tentang al-Qur’an. 

Soal : Mengapa penistaan agama (misal: menghina al-Qur’an) menjadi hal biasa bagi kaum liberal ? padahal mereka muslim …? 

Jawab : sebagaimana keterangan diatas, bahwa dimata kaum liberal al-Qur’an tidak lebih dari teks sastra. Maka menghina al-Qur’an dimata mereka sama saja seperti menghina sya’ir lainnya. Brad Thor, salah seorang penulis novel yang cukup produktif pernah menulis “The Last Patriot, Triller”. Novel ini berisi tudingan miring terhadap al-Qur’an dan agama Islam yang dibuat dalam bentuk fiksi. Salah satu point didalam novel ini ialah ungkapan, “pada bulan juni 632 M, Nabi Muhammad menerima wahyu terakhir, beberapa hari kemudian Ia terbunuh, dan wahyu terakhir itu-pun hilang. Robert Spencer didalam Islam Unveiled (Islam Ditelanjangi, Paramadina) menggambarkan bahwa al-Qur;an adalah kitab yang tidak memiliki konsep damai dengan kafir musyrik. Bahkan nyaris memusuhi orang kafir, dan al-Qur’an adalah sumber kekerasan. 

Karena pandangan ini, mereka mengambil kesimpulan bahwa membakar al-Qur’an adalah solusi terbaik untuk menghilangkan sikap Intoleransi Islam kepada orang kafir. Untuk memuluskan misi ini maka mereka harus memBaratkan atau mensekulerkan orang muslim. Upaya ini telah berhasil sehingga banyak pemikir muslim yang justru dengan mudahnya mencaci bahkan mengamini upaya penistaan terhadap al-Qur’an, melempar, bahkan membakar al-Qur’an. Dan orang-orag seperti ini saat ini banyak di institusi pendidikan tinggi. 

Soal : Siapakah tokoh studi al-Qur’an dari kalangan liberal yang paling dikenal dalam Institusi Pendidikan Tinggi Islam ?

Jawab: Nashr Hamid Abu Zaid, seorang cendikiawan asal mesir adalah salah satu diantara ribuan tokoh liberal yang sangat dikenal di kalangan institusi pendidikan tinggi islam. Khususnya fakultas-fakultas studi al-Qur’an yang menggunakan hermeneutika sebagai salah satu metodenya. Nashr Hamid adalah seorang doktor lulusan Universitas Kairo yang divonis murtad oleh pengadilan Negara Mesir . Al-Qur’an dalam pandangan Nashr Hamid adalah teks sastra, lebih dari itu ia adalah produk budaya Arab (Muntij Thafaqi). Ia mendasari pandangan nya dengan mengatakan bahwa periode antara turunnya al-Qur’an, pembukuan dan pemberian harkat memakan waktu yang terpisah dengan rentang cukup lama. Dalam rentang tersebutlah al-Qur’an difahami sesuai dengan aspek budaya masyarakat. (Nashr Hamid, Voice of fan Exile, /reflections of Islam). 

Berdasarkan alasan inilah ia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Karena menurutnya al-Qur’an adalah teks sastra, maka metode yang digunakan dalam mengkaji al-Qur’an-pun adalah metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nushus al-lughawiyyah al-adabiyyah). Metode ini adalah salah satu dari metode hermeneutika. Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya metode yang unggul dalam “memanusiawikan” teks-teks al-Qur’an. Jadi, pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur’an harus diadaptasikan dengan kebutuhan manusia, karena ia sendiri diturunkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Tokoh lain yang terkenal dengan metode ini ialah Muhammad Arkoun. Ia memandang bahwa kajian tafsir al-Qur’an adalah metode kuno yang sangat ketinggalan dari metode studi bible (Biblical Criticism). Baginya melakukan dekonstruksi (merombak ulang) al-Qur’an adalah sebuah ijthad. Sebelum mereka berdua, penghujatan al-Qur’an telah didahului oleh Leo III, seorang kaisar Bizantium (717-741), Johannes dari Damaskus (652-750), ‘Abdul Masih al-Kindi (873), Petrus Venerabilis (1094-1156), Ricoldo da Monte Croce (1243-1546) dan Martin Luther (1483-1546). 

Soal : Apakah metode yang ditawarkan Barat dalam mengkaji al-Qur’an ? 

Jawab : Diantara metode yang ditawarkan dalam mengkaji al-Qur’an ala Barat yang paling pouler ialah metode Hermeneutika, atau bisa juga disebut metode kritik bible (Biblical Criticism). Para sarjana Barat, sudah mulai menggunakan metode ini dalam studi al-Qur’an sejak abad ke- 19 M. Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan biblical criticism kedalam al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m.1874), seorang pendiri yahudi liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis sebuah buku berjudul what hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen ? (Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi ?). dalam buku tersebut ia mengungkapkan bahwa sumber-sumber agama islam dapat ditemukan didalam agama Yahudi. Inti dari metode yang mereka pergunakan dalam mengkaji al-Qur’an adalah metode “kritik teks” sebagaimana yang mereka lakukan terhadap “Bilble”. 

Soal : Dimanakah letak kerancuan metode yang digunakan Barat dalam mengkaji al-Qur’an dan apa implikasinya bagi umat islam ? 

Jawab : Desakralisasi adalah poin utama yang penting dibahas. Karena semua permasalahan ini bermula dari upaya menghilangkan kesakralan/kesucian al-Qur’an. Wacana ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari pemikiran islam Postmodernisme, dimana mereka sudah tidak lagi mempercayai kebenaran mutlak, namun entah kenapa mereka merasa bahwa postmodernisme adalah sebuah kebenaran yang mutlak dan patut dibenarkan. Islam berangkat dari yang absolut (Wahyu Allah) melalui jalan metafisika yang jelas. Sedangkan postmodernisme berangkat dari peniadaan absolutism dan penolakan seluruh hal yang metafisik (diluar nalar). Pertanyaannya, bagaimana mungkin Barat dapat mengkaji al-Qur’an dengan benar, sementara mereka tidak lagi meyakini keberadaan “kebenaran” itu sendiri. 

Artinya, “kebenaran” di alam pikiran Barat pun menuai problematika. Maka bukanlah hal yang mengherankan bila mereka meragukan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang suci. Problematika ini mendorong mereka menggunakan metode studi Bible dalam mengkaji al-Qur’an. Padahal Bible dan al-Qur’an tentulah berbeda. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan sampai kepada kita saat ini. Dimanapun, al-Qur’an tetap sama dan tidak terdapat perbedaan selain qira’ah yang masyhur. Sedangkan Bible tidak lain adalah penafsiran Paus/Bulish yang merupakan gabungan dari kitab-kitab terdahulu yang “diinterpretasi” dengan akal sendiri hingga menghasilkan Bible. Maka bukan hal yang mengherankan bila Bible itu sendiri berbeda-beda dan banyak macamnya. Jika Bible tidak lagi Sakral dan memang tidak pernah sakral, maka layakkah metode studi bible yang dikenal dengan hermeneutika diterapkan pada al-Qur’an yang jelas kesakralannya ?. 

Petama : Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan (rasm/writing) tetapi merupakan bacaan (qira’ah/recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. Demikian juga cara penyampaian dan periwayatannya pun dengan bacaan dan hafalan. Adapun teks yang tertulis hanya berfungsi sebagai penunjang belaka. Meskipun demikian, karena mushaf adalah lambang dari al-Qur’an, maka kesucian, kesakralan dan kemuliaannya sama dengan al-Qur’an dalam makna bacaan itu sendiri. Kesalahan utama dari kaum liberal adalah mendudukkan al-Qur’an sebagai teks. Mereka memandang al-Qur’an diturunkan dalam bentuk teks, sehingga merasa metode Bible adalah metode canggih dan modern dalam mengkaji al-Qur’an. 

Kedua : kesalahpahaman orientalis dan sarjana Barat mengenai rasm dan qira’at. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tulisan Arab mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca walau sedikitpun. Meskipun demikian, rasm ‘Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat para sahabat belajar al-Qur’an langsung kepada Rasulullah. Dan kaum muslimin belajar dari para Sahabat dan seterusnya dengan metode qira’ah, yang diaplikasikan dengan rasm. 

Akhirnya, Imam Ibnu Katsir (w.774 H) menjelaskan bahwa kodifikasi al-qur’an tidaklah semata-mata hasil karya sayidina ‘Usman, melainkan hasil dari kesepakatan sahabat seluruhnya, bahwa seperti itulah yang diajarkan dan diriwayatkan dari Rasulullah Saw,. Baru setelah itu al-Qur’an diperbanyak dan disebarkan keseluruh kawasan islam hingga yang ada ditangan kita saat ini pun adalah sama dengan apa yang diwahyukan Allah Kepada Rasulullah. (Ibn Katsir, Fadhailul Qur’an didalam Tafsir Qur’an al-‘Azhim, juz 7. h.450). dengan demikian, metode studi al-Qur’an ala Barat adalah sebuah “Kecelakaan Intelektual yang direncanakan dan dirancang” sedemikian mungkin untuk mengancurkan Islam. Wallahu A’lam… 

Rabu, 16 November 2016

Kesetaraan Gender dan Ketimpangan Kosmik


Kesetaraan gender adalah salah satu isu yang terus bergulir hingga hari ini. Sebagai sebuah gagasan yang asing bagi sebagian masyarakat, gerakan ini memiliki ideologi yang kaya akan masalah dan probematika. Kata gender dalam istilah bahasa sebenarnya berasal dari bahasa inggris yaitu gender. Jika dilihat dalam kamus bahasa inggris tidak ditemukan secara jelas perbedaan sex dan gender. Sehingga sering kali gender dan sex dimaknai dengan arti yang sama, yakni jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefenisian yang berasal dari cirri-ciri fisik biologis. 

Dalam ilmu sosial orang yang sangat berjasa memperkenalkan istilah gender ini adalah Ann Oakley (1972) dengan makna yang sama yakni atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Ada banyak defenisi mengenai gender, namum dari semua defenisi tersebut dapat disarikan bahwa gender ialah : suatu bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat diubah tergantung waktu dan tempat, zaman dan suku, dan seluruh aspek lainnya. Gender bukanlah kodrat tuhan, melainkan buatan mansia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relative. 

Kesetaraan gender adalah sebuah seperti sebuah frase suci yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat Negara. Istilah kesetaraan gender ini sering sekali terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, kekerasan, penindasan dan lain sebgainya. Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan pada hak-hak nya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, dan lain sebagainya. 

Berbagai problem yang menimpa kaum perempuan dalam masalah gender ini mendorong pembentukan United national in status of woman (CSW) pada sesi pertama siding Ecomomic and Sosial Council pada tahun 1946. Hal ini menyebabkan meningkatnya perhatian terhadap perempuan pada tahun 1960 an di bidang ekomnomi dan sosial dalam banyak kegiatan CSW. Namun seiring berjalannya waktu pada tahun 70-80 an perhatian tersebut kembali surut ditekan arus ekonomi dan perdamaian dunia yang terancam. Upaya ini terus berlanjut hingga dilaksanakan konferensi internasional tentang perempuan pad tahun 1975 di Mexico. 

Topik utama yang dibicarakan adalah (1) peningkatan perempuan dalam ketenagakerjaan, (2) kesehatan dan pendidikan, (3) masalah sosial seperti kesempatan perempuan untuk mendapatkan pelayanan yang baik di lingkungan sosial dan lain sebagainya. Hal ini mendatangkan mindset bahwa beberapa konferensi yang diadakan PBB itu tidaklah sia-sia. Inilah yang dinamakan upaya Gender Mainstreaming, yakni upaya pembelaan dari penindasan terhadap gender yang terjadi sepanjang perang dunia dan konflik antar Negara. Di Indonesia, gerakan gender feminis ini ditandai dengan terbentuknya gerakan perempuan Poetry Mardika, yang kemudian menghasilkan berbagai gerakan feminis lainnya. Namun gerakan ini kebanyakan mendorong bahwa perempuan juga harus memiliki hak untuk berjuang melawan penjajah dan bergabung dengan pasukan laki-laki. 

Memperjuangkan keadilan merupakan tugas yang intens dan membutuhkan solusi yang tepat, sehubungan dengan itu perlu ada upaya berkesinambungan demi pencapaian tujuan bersama. Meluasnya perjuangan gender yang didomnasi oleh feminis ini menyebabkan pejuangnya terpecah menjadi beberapa kelompik kecil yakni, (1)Feminisme Liberal, kelompok ini berpandangan bahwa untuk melindungi perjuangan feminis, maka perlu dibuat undang-undang yang melindungi hak-hak mereka. Tokoh utamanya ialah Naomi Wolf (2) Feminisme Radikal, adalah gerakan feminis yang menentang kekerasan seksual. Bagi mereka kekerasan seksual disebabkan sistem patriarki. Mereka juga mempermasalahkan hak-hak reproduksi. (3) Feminisme postmodern, menyatakan bahwa gender bukanlah identitas atau struktur sosialis,berpandangan bahwa tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan.

Sampai pada tahapan ini agaknya sudah dapat digambarkan bagaimana dan apa tuntutan para penggerak kesetaraan gender. Pertanyaan nya adalah, apa efek yang akan muncul jika gender itu disetarakan ? dan bagaimana kosmologi islam memandang isu kesetaraan gender ? untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya diperkenalkan bagaimana kesetaraan gender dalam kosmologi islam. Kosmologi Secara etimologi merupakan susunan dari dua kata yakni “Kosmos” dan Logos. Kosmos menurut Deluxe Encyclopedic edition ialah ‘The world or universal considered as a system”. Sedangkan Logos didefenisikan sebagai sebuah “Knowledge atau ilmu”. Secara istilah, Lorens Bagus mengungkapkan bahwa Kosmologi adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang mempelajari alam semesta sebagai suatu sistem yang rasional dan teratur. 

Dalam teologi islam, dunia atau kosmos (al'alam) bisa didefenisikan sebagai segala sesuatu selain Allah Swt,. Kendatipun demikian, dalam diskusi intelektual tidak ada sesuatupun yang didiskusikan secara terpisah dari hubungan (nisbah)-nya dengan Allah Swt. Dalam membahas kajian gender dan kaitannya dengan kosmologi islam, akan lebih mudah difahami dengan memberikan perumpamaan keberpasangan unsur alam semesta. Langit dan bumi, siang dan malam, panas dan dingin, serta laki-laki dan perempuan. Dari keberpasangan ini dapat dipahami bahwa, alam semesta masih terjaga kestabilannya karena keberpasangan itu masih ada. Logikanya, masing masing pasangan tersebut jelas berbeda, namun justru dengan perbedaan itu alam semesta tetap seimbang. 

Demikian juga halnya dengan laki-laki dan perempuan, keduanya berbeda, namun dengan perbedaan itu justru kehidupan manusia akan stabil dan terus berlangsung. Sebagai sebuah contoh sekaligus tanggapan kepada para feminis radikal, yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan laki-laki. Secara tidak langsung mereka mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya sendiri seerti kebutuhan akan peran seorang laki-laki dalam hidup. Hal ini sama seperti malam yang menyatakan tidak membutukan siang, panas tidak membutuhkan dingin, bumi tidak membutuhkan langit. Apa jadinya alam semesta tanpa perbedaan yang saling mengisi kekosongan tersebut ? 

Pada dasarnya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat dan fitrah yang sangat urgen untuk meneruskan kehidupan mausia. Dan kesempurnaan atau kestabilan itu akan terwujud dalam instansi keluarga. Inilah yang dalam kajian kosmologi dikenal dengan istilah “perkawinan kosmik”. Agaknya hal ini berkaitan dengan salah satu tulisan a.m.Safwan, “Akal perempuan bekerja dengan dominasi perasaannya, akal laki-laki bekerja dengan dominasi pikirannya, jadi akal mencakup perasan dan pikiran. Manusia berkembang spiritualitasnya dari peran pikiran dan perasaannya. Dengan demikian, relasi laki-laki dan perempuan merupakan faktor dari perjalanan spiritual manusia. Dalam kosmologi Islam, perkembangan spiritual manusia secara hakiki terjadi dalam hubungan perkawinan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagaimana ungkapan Alquran mereka adalah pakaian bagi yang lainnya”

Alhasil, gender tidak perlu dirubah maknanya menjadi jenis kelamin sosial demi mendukung gagasan kesetaraan gender. Sebab gender harus diserasikan bukan malah disetarakan. Perbedaan harus saling melengkapi bukan memusuhi. Jika semua ini masih terjaga, maka keserasian dan kestabilan alam semesta akan tetap terjamin. Wallahu A’lam. 



Minggu, 06 November 2016

Benarkah Para Sahabat Menulis Hadits ?


Budaya penulisan dalam tradisi Islam sudah dimulai sejak Rasulullah masih hidup. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh fakta sejarah bahwa Rasulullah menyuruh para sahabat menuliskan ayat-ayat al-Qur’an. Pada masa itu media yang digunakan adalah dedaunan, kulit kayu, tulang, dan media lain yang memungkinkan. Tradisi penulisan ini ternyata tidak terbatas pada ayat-ayat al-Qur’an semata, namun terdapat bukti manuskrip teks-teks hadits yang dilakukan sebagian sahabat seperti Sahifah Hammaam yang ada ditangan Hammam bin Munabbih. 

Adapun metode penulisan hadits pada masa Rasulullah, bahkan sampai saat ini adalah metode Isnad. Hal ini merupakan bagian penting dari penulisan hadits. Dalam penulisan sanad ini para penghafal dan penulis hadis biasa menggunakan ungkapan “Sami’tu /na, Akhbarana,” dan lain-lain. Sesuai dengan metode Tahammul Wal Adaa’ dari tiap-tiap hadits. Metode Tahammul Wal Ada’ sendiri terbagi kepada delapan poin, sebagian diantaranya metode Sima’, Qira’ah ‘Ala Syaikh, Ijazah, Dan Munawalah. Adanya metode metode ini tentunya berguna untuk menentukan kualitas otentifikasi hadits pada masa berikutnya. 

Karakter masyarakat Muslim Arab, atau dalam hal ini para sahabat memiliki kualitas ingatan yang kuat. Andaikata keilmuan dan catatan-catatan al-Qur’an dan hadits tidak ada, mereka tetap mampu mengingat semuanya dengan teratur. Namun, Rasulullah dan para sahabat mempersiapkan segala hal untuk mewaspadai kemungkinan yang tidak diharapkan, sehingga penulisan tetap dilakukan sebagai penguat dan pengkofirmasi hafalan. Khusus pada penulisan hadits, hasilnya tidak di publikasikan secara umum kecuali wafat Rasulullah saw. Dan mulai dibukukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekitar tahun 101 H. 

Salah satu karya terkemuka manuskrip hadits ialah Sahifah Hammaam yang berada ditangan Hammam bin Munabbih. Karya ini ternyata hanya salah satu dari karya-karya Abu Hurairah yang berisi 138 Hadits, dan ini hanya sebagian dari ribuan sahifah yang ditullis oleh Abu Hurairah dan ditunjukkan pasca Rasulullah wafat. Pernah suatu ketika Amr bin Umayyah membacakan sebuah hadits kepada Abu Hurairah dan menyatakan hadits tersebut berasal dari Abu Hurairah, namun hal ini dibantah dengan mengatakan “kalau hadits itu bersumber dariku tentu ada didalam catatanku”. Hal ini setidaknya menggambarkan bawa setiap hadits yang diterima dan dihafal Abu Hurairah pasti dicatat didalam lembaran-lembaran yang disimpan sendiri olehnya. Demikian juga ketika Basyir bin Nahik membacakan catatan-catatan nya didepan Abu Hurairah sembari mengatakan seluruh hadits ini aku teerima darimu, lalu Abu Hurairah menjawab “ya, engkau benar”. Artinya, pada masa itu catatan digunakan sebagai bukti dan konfirmasi hafalan para muaddits. 

Lalu bagaimana dengan larangan Rasulullah untuk menuliskan hadits ? ternyata larangan tersebut hanya berlaku untuk hadits yang serupa dengan al-Qur’an dan ditulis dalam lembaran yang sama. Hal ini dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an sehingga Rasulullah memerintahkan menghapus haditsnya dan membiarkan ayat al-Qur’annya. Adapun penulisan di lembaran lain maka pada masa Rasulullah dibenarkan, bahkan sebagian sahabat menulis hadits dihadapan Rasulullah Saw,. Dr.Musthafa A’zami-pun menyatakan bawa ada sekitar 50 orang sahabat yang terjun langsung dalam dunia penulisan hadits yang mana aktifitas mereka diketahui oleh Rasulullah Saw,. 

Setelah beberapa fakta sejarah diatas, maka sangat mengherankan ketika pada orientalis menjustufukasi hadits itu tidak dapat diterima karena ditulis jauh setelah Rasulullah wafat, yakni tahun 200-250 H. Pandangan ini jelas sangat tidak berdasar, karena sejarah telah membuktikan kebalikannya. Awal mula “pembukuan” hadits dimulai pada masa kalifah Umar bin Abdul Aziz pada taun 101 H. Terbukti dengan karya Imam Syihab az-Zuri pada tahun 124 H, dan kitab al-Muwatta karya imam Malik yang telah ditulis pada tahun 179 H. inilah salah satu sebab kenapa para pakar bahasa menyatakan kata “Hafazha” tidak terbatas pada hafalan, namun masuk juga kategori catatan-catatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pandangan orientalis tentang penulisan hadits adalah disebabkan ketiaktahuan terhadap sejarah, sehingga salah dalam mengambil kesimpulan. Al-hasil hampir seluruh Orientalis tidak percaya dengan Hadits dan menyatakan hadits hanya budaya Arab semata. Wal-‘Iyaazubillah. 





Kamis, 13 Oktober 2016

Download Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA (Rubrik Pemikiran Islam)


Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA adalah rubrik di majalah REPUBLIKA yang membahas tentang pemikiran Islam dan isu-isu kontemporer. Isu-isu tersebut dikaji dari sudut pandang Islam. Tentunya Rubrik ini sangat bermanfaat untuk membentuk wawasan baru mengenai wacana pemikiran Islam. disamping sebagai respon dan kounter dari pemikiran Barat. Segera download Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA dalam bentuk PDF Disini

ILMU DAN URGENSI SANAD DALAM TRADISI INTELEKTUAL ISLAM


Tradisi keilmuan Islam memiliki banyak keistimewaan dibandingkan tradisi keilmuan Agama lain. Diatara keistimewaan tersebut ialah adanya tradisi pemberian sanad dari guru kepada murid berkaitan dengan ilmu yang dipelajari. “Sanad” secara etimologi berasal dari kata dasar sanada, yasnudu(يسند سند), artinya: “sandaran” atau “tempat bersandar” atau “ tempat berpegang” atau berarti “yang dipercaya” atau "yang sah”.(Ibnu Mundzir, Lisan al’Arab, Juz: VII,hal: 85). Adapun secara istilah, Sanad ialah silsilah matarantai orang-orang yang menyampaikan pada matan atau ilmu. (Thahan, Tasyiir Mushtalahul Hadist, hal: 16). Sanad merupakan salah satu upaya agar ilmu Islam tetap terjaga kemurnian dan pemahamannya dari perkara-perkara yang merusak ilmu itu sendiri. Habib Jindan Bin Novel dalam salah satu majelisnya menjelaskan bahwa setidaknya sanad dalam tradisi keilmuan Islam dibagi kepada dua kategori, yakni sanad kitab dan sanad pemahaman. Sanad kitab ialah sanad yang menghubungkan seseorang kepada sebuah kitab, misalnya sanad kitab At-Tibyan karangan Imam an-Nawawi. Sedangkan sanad pemahaman ialah silsilah yang menghubungkan seseorang yang mempelajari suatu ilmu agar pemahaman terhadap ilmu tersebut sama dengan pengarang kitab atau pencetus ilmu terkait. Dengan demikian seseorang belum boleh mengajarkan kitab atau ilmu tertentu kepada orang lain sebelum mendapat sanad pemahaman dari guru yang memiliki silsilah atau belajar kepada pengarang sebuah kitab tertentu. 

Sanad dalam kaitannya dengan pemeliharaan pemahaman Agama merupakan representasi dari riwayat Imam Ibnu Al-Mubarak. Riwayat tersebut kemudian dinukil oleh Imam Muslim didalam muqaddimah Sahih Muslim, beliau mengatakan,“Sanad itu bagian dari Agama, kalaulah tidak dengan sanad maka siapapun akan berkata sesuka hatinya” (Sahih Muslim, Juz I. h.15). Ungkapan ini merupakan penguat bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, sanad memiliki urgensi yang sangat penting, karena dengan adanya sanad maka pemahaman mengenai ilmu-ilmu Agama akan tetap sesuai dengan sumbernya. 

Lebih lanjut Sayyid Alwi As-Saqqaf didalam Fawaid al-Makiyyah menjelaskan bahwa, dalam pemberian sanad pemahaman maupun sanad kitab, setidaknya ada empat cara yang biasa digunakan para ulama. Diantaranya yakni, (1) Pemberian sanad dari khusus kepada umum. Misalnya, Saya ijazahkan kepada seluruh mahasiswa UNIDA sanad kitab Tuhfatul Murid karangan imam Al-Baijuri. (2) Pemberian sanad dari umum kepada umum. Misalnya, Saya Ijazahkan sanad seluruh kitab karangan Syaikh Nawawi Banten kepada seluruh mahasiswa UNIDA. (3) Pemberian sanad dari khusus kepada khusus. Misalnya, Saya Ijazahkan kepadamu Ahmad kitab Sabilal Muhtadin karangan Syaikh Arsyad Al-Banjari. (4) Pemberian sanad dari umum kepada khusus. Misalnya, Saya ijazahkan kepadamu Ahmad, seluruh kitab karangan Syaikh Nuruddin Al-Banjari”. Dari beberapa cara pemberian sanad diatas jika diurutkan, pemberian sanad yang paling kuat ialah dari khusus kepada khusus, umum kepada khusus, khusus kepada umum dan umum kepada umum. 

Salah satu cara para ulama menjaga ilmu adalah dengan memperkuat sanad. Artinya, tidak menutup kemungkinan seorang ulama memiliki puluhan sanad yang berbeda untuk satu kitab sekaligus pemahamannya. Hal ini terus berlangsung hingga saat ini didalam multaqo dan majelis ilmu baik di Nusantara maupun di berbagai Negara di Dunia, dan selama tradisi ini tetap terjaga, maka kualitas keilmuan seseorang akan teruji dan memiliki landasan yang kuat. Inilah mengapa otoritas keilmuan para ulama terahulu masih terus terjaga, karena masih saja ada murid dan ahli sanad yang memeliharanya. 

Tradisi semacam ini di era modern telah mendapat tantangan dan hambatan besar. Tidak banyak generasi muslim yang tertarik meneruskan tradisi ini. Alhasil, kebanyakan dari pemuda muslim tidak mengetahui dari mana ia mendapatkan suatu ilmu dengan jelas. Maka bukan hal yang mengherankan jika banyak generasi muda yang keilmuannya tidak membawa berkah, sebagaimana perkataan Imam Ibnu al-Mubarak diatas “Siapapun akan mengatakan apa yang dia kehendaki”, alhasil, kualitas ilmu generasi muda sudah sangat jauh dari kriteria otoritatif. Sama halnya dengan hadits Nabi Saw,. Jika sanadnya tidak jelas, maka kualitas hadits itu bisa menjadi dha’if bahkan maudhu’, meskipun hadits yang diriwayatkan benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw,. 

Meskipun demikian, generasi intelektual muda harus kembali membangkitkan tradisi keilmuan bersanad dimanapun ia belajar. Hal ini demi tujuan mulia menjaga otentisitas keilmuan Islam agar terjaga dari fitnah dan tudingan, baik dari dalam maupun luar Islam. Perkembangan kajian-kajian pemikiran Barat yang semakin hari terus meresahkan, tampaknya melalaikan generasi muda untuk mempertahankan peradabannya sendiri, padahal disamping pengkajian yang bertujuan mengkounter pemikiran Barat, umat Islam juga perlu didekatkan dengan tradisi turath, tradisi sanad, multaqo fiqih, hadis, tauhid dan lainnya dengan menerapkan sistem yang beradab. Senada dengan ungkapan Syed Naquib Al-Attas, bahwa hilangnya identitas peradaban Islam disebabkan pudarnya Adab dalam diri setiap muslim. Adab dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali didalam Ihya’ ‘Ulumuddin yang meliputi adab kepada diri sendiri, guru, lingkungan dan adab kepada ilmu. Jika salah satu pondasi adab ini hilang, maka berkurang pula kualitas dan otoritas keilmuan seseorang. 

Jika ditelusuri sejarah Imam Al-Ghazali, seorang Sufi sekaligus Filosof masyhur di dunia Internasional ternyata mendirikan dua madrasah di kediamannya, yakni madrasah Sufi dan madrasah Intelektual. Madrasah sufi diperuntukkan bagi ahli ibadah yang mengkhususkan diri untuh beribadah dan mendalami ilmu pensucian hati. Adapun madrasah intelktual diperuntukkan untuk orang-orang yang mendalami berbagai kajian keimuan Islam, ilmu alat, filsafat, kalam, dan lain sebagainya. Tindakan imam Al-Ghazali setidaknya memberikan dua pelajaran bagi generasi sesudahnya, pertama, tradisi intelektual harus tetap seimbang antara ilmu intelektual dengan penanaman ilmu tasawuf. Kedua, seorang intelektual muslim selain mumpuni dalam ilmu fardhu ‘Ain, juga harus menguasai Ilmu Fardu Kifayah agar dalam jiwa setiap muslim ada keseimbangan yang sulit digoyahkan musuh-musuh Islam. 

Akhirnya, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam hari ini berada ditengah berbagai macam tantangan dalam menjalani kehidupan berAgama. Artinya, umat Islam harus menyiapkan genrasi-generasi yang berkompeten dalam menghadapi berbagai tantangan tesebut dengan menghidupkan kembali tradisi keilmuan sebagaimana yang dilakukan para ulama terdahulu. Menciptakan keseimbangan dan menghilangkan berbagai dikotomi ilmu yang melemahkan intelektual genrasi muslim. Jika pada masa para ulama terdahulu, peradaban Islam berkembang pesat meskipun teknologi sangat minim, maka hari ini sudah saatnya umat Islam kembali bangkit, memanfaatkan berbagai fasilitas untuk menunjang kebangkitan peradaban Islam yang bergengsi, intelek, dan bermartabat. Wallahu A’lam.

Jumat, 07 Oktober 2016

FREE DOWNLOAD..!!!! E-Book "Ngeblog Seru Ala Mas Opik (Edisi Revisi)


Islam menuntut Umatnya untuk berfikir dan berbuat. berfikir memaknai arti kehidupan, berfikir mengenai problematika, serta menyibukkan diri melahirkan solusi dan gebrakan untuk membela Islam dari berbagai tudingan miring dalam dunia pemikiran. Buku ini saya kumpulkan dari tulisan Blogmasopik.blogspot.co,id khusus pada bagian Islamic Worldview. Silakan download disini dan selamat membaca ....!!!!

Senin, 19 September 2016

Orientalis, Al-Qur'an dan Tafsir Keraguan


1. Sekilas Epistemologi

Secara etimologi, Epistemologi berasal dari bahasa yunani “Episteme” yang artinya pengetahuan dan “Logos” dengan makna ilmu atau teori.[1] Dari dua rangkaian kata ini epistemologi dapat diartikan “Teori Pengetahuan”. Atas dasar makna ini, maka dapat disimpulkan bahwa Epistemologi adalah teori mengenai atau tentang pengetahuan.[2] Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam pengkajian sebuah ilmu, epistemology memiliki peranan yang sangat penting, yakni untuk mengetahui bagaimana seseorang mengetahui. Jika dalam tahapan ini gagal, maka seseorang akan terus mengalami kegagalan dalam memperoleh kesimpulan dari sebuah masalah yang dihadapi. 

Mengutip keterangan Dr.Syamsuddin Arif yang terkenal dengan teori Kanker Epistemologinya, setidaknya beliau membagikan patologi kanker ini dalam tiga bagian, yakni Skeptisme yang memandang bahwa tidak ada satupun kebenaran. Relativisme yang memandang bahwa semua orang benar, dan yang ketiga Agnostisme siapapun tidak bisa mengetahui kebenaran”.[3] Artinya, penderita kanker epistimologi selalu berangkat dari keraguan dan menetap pada keraguan tersebut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali, meskipun ia sama sama berangkat dari keraguan sebagaimana Descartes, namun Imam Al-Ghazali tidak duduk diam dalam keraguan, melainkan terus berjalan menuju keyakinan.[4]

Sangat disayangkan bahwa kebanyakan orientalis mengkaji suatu ilmu khususnya ilmu-ilmu islam, selalu berangkat dari epistimologi yang sudah terkena kanker. Baik itu relativist, skeptisist, maupun agnostics. Hasilnya adalah keracuan dan kebingungan intelektual, bisa juga dikatakan kebanyakan manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemology selalu terperosok dalam berbagai kesulitan.[5] Disinilah kemudian diperlukan Worldview yang benar dalam mengkaji islam, yakni Islamic Worldview. Sungguh tidak layak dan tidak sesuai jika ilmu islam dikaji dengan Western Worldview, diibaratkan seseorang yang menghitung harga sebatang kayu ukuran 2x3 dengan harga Pass Photo 2x3, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang rancu dan nyaris salah. 

2. Antara Keraguan dan Keyakinan

Jika Anda menanyakan pada seseorang yang memiliki keyakinan terhadap ideologi tertentu, tentu ia akan menjawab dengan alasan yang mungkin saja berbeda dengan Anda. lalu apakah penyebab perbedaan itu ? inilah yang disebut "pandangan alam", setiap orang yang berbeda pandangan alam, pasti akan menyimpulkan suatu masalah dengan kesimpulan berbeda, dan tentunya ia yakin dengan kesimpulan itu. Lalu ada apa dengan pandangan alam ? bisa dikatakan sebagian orang mungkin memandang alam sebagai satu bentuk, namun sebagian yang lain mungkin memandang dari berbagai bentuk dan sudut pandang, maka wajar kalau hasil nya berbeda.[6]

Lantas apa solusinya ? solusinya adalah, kita harus kembali kepada Epistimologi (Teory of Knowledge). dari sini kita bisa mengetahui mana epistimologi yang sehat, epistimologi yang sakit (terkena kanker epistimologi) dan epistimologi yang kurang sehat (tidak memahami ilmu dengan benar dan mendalam). setelah itu baru bisa ditarik mana epistimologi yang benar dan eistimologi yang salah. plus kita mengetahui apa itu epistimologi yang benar dan epistimologi yang salah, apakah mungkin kita bisa mengetahui sebuah kebenaran ? tentu saja mungkin. Jika Anda memulai dari Worldview dan epistimologi yang bersumber dari "Panca Indra, Akal, dan Khobar Shodiq" Anda akan bisa mengetahui sesuatu itu benar atau salah.

Lebih Lanjut Al-Attas mengungkapkan bahwa "Kebenaran ialah pengenalan dan pengakuan terhadap kebenanaran yang melazimkan seseorang mentahkikkannya dalam diri. dan mengenal kebenaran ini dapat diperoleh karena kebenaran itu jelas sebagaimana yang ditangkap oleh indera ruhani yang kita namai qalbu, yakni bersumber dari petunjuk Ilahi,yang dibuat dengan pertimbangan akal dan burhan istidlali, Bukan sebuah pengandaian.[7]

3. Orientalis dan Studi Alqur’an 

Dengan menggunakan Biblical kriticsm sebagai framework untuk mengkaji Alqur’an, maka para sarjana Barat menggugat Mushaf ‘Uthmani yang selama ini diyakini kebenarannya ole kaum muslimin. Dibawah ini akan dikemukakan secara detil bagaimana metode kritis historis yang sudah mapan didalam studi Bible diterapkan ke dalam studi Al-Qur’an. Diatara kajian utama yang dilakukan oleh para sarjana Barat ketika mengkaji Al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Salah seorang toko dalam studi kritis sejarah Al-Qur’an adalah Arthur Jeffery (m.1959), seorang orientalis berasal dari Australia. Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan sejara kitab-kitab suci yang lain. Alqur’an menjadi teks stAndard dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat, dan tindakan masing-masing komunitas agama. demikian pula yang dilakukan oleh Kristen, mereka menjadikan dan menciptakan sendiri beragam variasi teks untuk perjanjian baru. Teks perjanjian baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria, tex netral, teks barat, teks kaisarea, dan masing masing memiliki varian bacaan tersendiri.[8]

Sisi lain dari kajian orientalis adalah menngkaji Alqur’an sebagai “Teks Sastra”. Pendekatan Sastra Al-Qur’an dimotori oleh Amin al-Khuli paruh akhir abad ke 20. Keseriusannya dalam mengkaji Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan al-Khuli yang bicara tentang bahasa dan sastra. Karyanya yang paling penting dalam kritik sastra adalah al-Adab al- Mishri (1943) dan Fann al-Qaul (1947). Keduanya adalah upaya al-Khuli untuk mendekonstruksi wacana sastra Arab dimana point terpenting nya adalah ada dua metode sastra yang dikedepankan, ,etode kritik eksentrik (Naqd al-Khariji) dan kritik intrinsic (Naqd al-Dakhili). Hal ini lahir dari semboyan yang ia ciptakan yakni “awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara total dan menghidupkan budaya kritik terhadapnya”.[9]

4. Kekeliruan Orientalis Dalam Studi Al-Qur’an

Kitab suci Al-Qur'an menjelaskan secara rinci bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan untuk satu tujuan agar menyembah Allah, tetapi dalam mitologi Yahudi semua alam ini diciptakan untuk menghidupi anak cucu bani Israel saja. Selain itu, nabi-nabi bani Israel dianggap terlibat dalam membuat gambaran tuhan-tuhan palsu (Aaron) dan bahkan dalam skAndal perzinaan (David), sedangkan Islam menegaskan bahwa semua Nabi-Nabi memiliki sifat kesalehan. Sementara, konsep trinitas dalam agama Kristen-dengan anggapan Jesus seperti terlihat dalam gambaran ajaran gereja sama sekali bertentangan dengan keesaan Allah dalam ajaran Islam. Kita akan paparkan sifat kenabian dalam ajaran Islam yang akan jadi dasar utama adanya perbedaan nyata antara Islam dan kedua agama itu yang mengalami pencemaran dari konsep monoteisme. 

Kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan semua ayat-ayat Al-Qur'an mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasakan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada sekarang, kita sedang dikepung oleh badai- angin ribut yang mengerikan. Apa yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka melakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka mernbuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pembubaran [lembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'an tentang seruan jihad atau semua yang membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokoh tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya "pakar terorisrne" yang muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka mengenai teks-teks Islam.[10]

5. Kesimpulan 

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Orientalis mengkaji Al-Qur’an tidak menggunakan metode kajian yang diajarkan dalam islam. Bisa jadi karena metode penafsiran dan pengkajian Alqur’an dalam islam sarat dengan nilai-nilai keTuhanan yang dalam pandangan mereka disebut “Metafisik”. Ketidak yakinan terhadap perkara metafisik ini mendorong orientalis menggunakan kacamata empiris dalam mengkaji Alqur’an. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penyimpangan dalam tafsiran orientalis, sebab mereka telah memutuskan hubungan manusia dengan Tuhan dalam mengkaji Alqur’an. Analoginya sama seperti seseorang yang disuguhkan segelas minuman, lalu ditebak satu persatu unsure dan berbagai aspek terkait minuman tersebut tanpa merujuk pada penyedia minuman atau pabrik minuman tersebut. Alhasil kesimpulan yang diperoleh sangat besar kemungkinan salah dibanding benar. Wallahu A’lam. 



[1] William L.Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Book, 1998), h.198. 
[2] Muniron, Epistemologi Ikhwan As-Shafa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.35. 
[3] Syamsuddin Arif, Kuliah PKU X 
[4] Murthadha Muthahhari, Epistemilogi (Jakarta: Penerbit Lentera, 2001), h.25-30 
[5] Ibid,.h.27 
[6] Ibid,. h.17-19. 
[7] SMN.Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014), h.6. 
[8] Adnin Armas, Metodologi Bible Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.82-83 
[9] Amin Al-Khulli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa Al-Tafsir wa al-Adab, Cairo, Al-Hay’a al-Mishriyya al-‘Amma li al-Kitab, 1995, 4. Didalam hal 8-9. 
[10] Al-A’zami, The History of Quranic Text (Jakarta: Gema Insani, 2005)