Selasa, 28 Maret 2017

Bagaimanakah Cara Melakukan Takbir Intiqal (perpindahan dari satu rukun ke rukun lain) Dalam Shalat?



Masalah : Dalam shalat, setelah tasyahud Awal kan di sunnatkan takbir ketika hendak bangkit. Nah sunnah nya kapan kita bertakbir, apakah ketika duduk bertakbir, ketika bangkit takbir atau setelah kita berdiri baru takbir? Mohon penjelasan dalilnya 

Jawab : 


Berkata Imam Al Bukhari (H.No752) dan Imam Muslim (H.No392) Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a, Bahwasanya Abu Hurairah Shalat bersama para sahabat maka ia bertakbir (takbir intiqol/ perpindahan rukun) setiap kali hendak rujuk, sujud dan bangkit dari keduanya. setelah selesai shalat mak Abu Hurairah berkata: "Sungguh shalatku adalah shalat yang paling serupa dengan Shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. 

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap kali hendak pindah rukun, misal dari berdiri ke rukuk dan seterusnya disunnatkan mengucap takbir الله اكبر yang dikenal dengan takbir intiqol. 
Nah lalu bagaimana cara melakukannya? 


Al Imam Al Habib Zein bin Sumaith didalam kitabnya تقريرة السديدة في مسألة المفيدة juz 1 hal 242 menyebutkan: 
ويسن مد التكبير إلى ان يصل إلى الركن الذي بعده... 

Dan sunnat membentangkan/memanjangkan takbir "mulai dari awal hendak pindah rukun sampai sempurna rukun berikutnya".

Kemudian Imam al Baijuri didalam Hasyiah al Baijuri Juz 1 hal 169. 

ويسن مدها حتى يصل الى الركن المنتقل اليه وإن اتى بجلسة الإستراحة. "لأن لا يخلو جزء من صلاته عن الذكر...ولا يقوم ساكتا لأن الصلاة لا يطلب السكوت فيها حقيقة وهذا في تكبيرة الإنتقالات. 

Sunnah membentangkan/memanjangkan takbir sampai sempurna rukun berikutnya. Meskipun sekadar takbir untuk duduj istirahat sebelum berdiri kembali (dalam shalat). Hal ini bertujuan agar aktifitas sholat tidak kosong dari zikrullah, sebab dalam shalat tidak dianjurkan diam saja, melainkan harus senantiasa berzikir (untuk mengisi waktu selain sunnat bacaan shalat). 

Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa cara takbir intiqol yang benar adalah mengucap takbir dimulai sejak hendak bangkit sampai sempurna berdiri. 

Adapun masa tasmi' atau mendengar bacaan fatihah imam ketika shalat jama'ah, maka disunnatkan berzikir didalam hati smmbil tetap menyimak bacaan imam sebagaimana dijelaskan syaikhna Syaikh Nuruddin Banjar. 
Semoga bermanfaat. Wallahu A'lam....

Bolehkah Mewasholkan Bacaan Fatihah Dalam Shalat ?


Masalah : Apa hukumnya jika didalam shalat terawih imam membaca surah al-fatihah dengan mewasholkannya (yakni menyambungkan bacaan dari bismillaahirrahmaanirrahim sampai kepada iyyakana'budu tanpa di waqofkan ?

Jawab :  Dalam masalah ini, al Habib Zein Bin Sumayth menjelaskan, bahwa syarat-syarat sah nya bacaan fatihah dalam shalat sebagai berikut:

1. Tertib: ayatnya harus sesuai urutan, tidak boleh terbalik balik.

2. Muwalat: tidak ada jeda antar tiap ayat lebih dari sekedar tarik nafas.

3. Menjaga huruf hurufnya: jika gugur satu saja hurufnya, maka batal shalatnya. Demikian juga kalau berubah hurufnya.

4. Menjaga tasydid pada ayat tertentu.

5. Membaca seluruh ayatnya termasuk basmallah.

6. Tidak merubah baris ayat.

7. Membaca fatihah sampai tuntas ketika berdiri.

8. Ia sendiri mendengar bacaan fatihah yg dibacanya.

9. Tidak membaca bacaan lain yg dapat merusak shalat ketika membaca fatehah. (Misalnya bersin lalu ucap alhamdulillah...)

10. Meniatkan membacanya sebagai rukun shalat

11. Membacanya dengan bahasa arab.

berdasarkan syarat diatas dapat diambil kesimpulan :   Jika orang membaca fatihah dengan diwashalkan, maka boleh saja selama syarat sah fatihah diatas terpenuhi. Jika salah satu saja tertinggal maka batal fatihahnya, bahkan bisa batal shalatnya. Kendatipun demikian, membaca dengan mewashal kurang afdhal sebab ketika membca fatihah itu kita sedang berkomunikasi dengan Allah, alangkah kurangnya adab menghadap Allah bi Qashdi "balapan" atau mau cepat saja.

sumber : 
تقريرة السديدة في مسألة المفيدة جزء الواحد صفحة 218 

Apakah Orang Yang Mengqadha Puasa Ramadhan di Bulan Rajab Mendapatkan Pahala Puasa Sunnat Rajab ?


Berikut Jawaban Syaikhul Akbar, Syaikh Dr.'Ali Jum'ah (Mufti Mesir)

 هل يجوز صيام القضاء وستة أيام من شوال بنية واحدة؟
أجاب الدكتور علي جمعة محمد، قائلا:
يجوز عند كثير من الفقهاء اندراج صوم النفل تحت صوم الفرض، وليس العكس؛ أي لا يجوز أن تندرج نية الفرض تحت نية النفل.
وبناءً عليه: يجوز للمرأة المسلمة أن تقضي ما فاتها من صوم رمضان في شهر شوال، وبذلك تكتفي بصيام قضاء ما فاتها من رمضان عن صيام الأيام الستة، ويحصل لها ثوابها؛ لكون هذا الصيام قد وقع في شهر شوال، وذلك قياسا على من دخل المسجد فصلى ركعتين قبل أن يجلس بنية صلاة الفرض أو سنة راتبة، فيحصل له ثواب ركعتي تحية المسجد؛ لكون هذه الصلاة التي أداها قبل أن يجلس.
قال البجيرمي في حاشيته: "وتحصل بركعتين فأكثر، أي يحصل فضلها ولو كان ذلك فرضا أو نفلا آخر، سواء أنويت معه أم لا؛ لخبر الشيخين: ((إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين))؛ ولأن المقصود وجود صلاة قبل الجلوس وقد وجدت بذلك".
وفي مسألة الصوم قال السيوطي في الأشباه والنظائر ص22: "لو صام في يوم عرفة مثلا قضاء أو نذرا أو كفارة، ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية". اهـ.
على أننا ننبه أن المراد بحصول الثواب عن الأيام الستة إنما هو ثواب أصل السُّنَّة فيها دون الثواب الكامل، فقد قال الرملي في نهاية المحتاج (3/ 208، 209): "ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غيرهما أو في نحو يوم عاشوراء حصل له ثواب تطوعها، كما أفتى به الوالد -رحمه الله تعالى- تبعا للبارزي والأصفوني والناشري والفقيه علي بن صالح الحضرمي وغيرهم، لكن لا يحصل له 
الثواب الكامل المرتَّب على المطلوب". إتباع رمضان بستة من شوال. والله سبحانه وتعالى أعلم.
 
Teks fatwa Syaikh Dr.'Ali Jum'ah. 

Kalau seseorang berniat qodho puasa dibulan rajab, maka ia dapat pahala qadha sekaligus pahala puasa dibulan rajab. (dengan catatan Niatnya tetap niat qadha). hal ini disebabkan karena bolehnya seseorang berniat qadha puasa dihari ang disunnatkan berpuasa. contoh puasa qadha di bulan syawwal maka dengan niat qadha ramadhan, ia juga mendapatkan pahala puasa sunnat syawwal. demikian juga dengan puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan dibulan Rajab. 

Namun kalau kita perhatikan, tentulah pahala puasa tersebut tidak sama dengan mengkhususkan puasa sunnat rajab dan qadha ramadhan secara terpisah.  

Intinya, kalau dalam prinsip ibadah, semakin banyak ibadah maka semakin besar pahalanya. 

Logika syaikh Ali diatas jika seseorang masuk masjid, lalu langsung shalat fardhu atau shalat qabliyah sebelum duduk, maka otomatis ia dapat juga pahala sunnat tahiyyatul masjid. Jika shalat fardhu itu dilaksanakan sebelum duduk. Wallahu A'lam.

Bolehkah Makmum Memanjangkan Do'a di Sujud Terakhir ?


Bismillahirrahmanirrahim. 

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh makmum dalam shalat berjama’ah. Dan ini dikenal dengan sebutan “Syarat Sah Shalat Berjama’ah”. Diantara syarat tersebut ialah : 

1. Makmum tidak boleh berdiri dengan posisi melewati imam. (tetap harus dibelakang imam)

2. makmum harus mengetahui pergerakan imam (bole dengan melihat, mendengar dari speaker/suara imam) 

3. hendaklah makmum berniat “makmuman” ketika takbiratul ihrom. 

4. Bentuk shalat makmum dan imam harus sama nazhomnya. Maka tidak sah bermakmum zhalat fardhu kepada imam yang sedang shalat jenazah. 

5. Makmum harus “mengikuti gerakan imam”. Maka makmum tidak boleh mendahului atau terdahului oleh imam sampai dua rukun fi’li jika tidak ada ‘uzur. Jika ada ‘uzur maka dibolehkan sampai 3 rukun panjang (ruku’, sujud pertama,sujud kedua). 

Adapun ‘uzur yang dimaksud dalam hal ini yaitu : 

1. makmum yang sulit membaca fatihah (baru hafal/lidah kelu) 

2. makmum ragu sudah membaca fatihah atau belum

3. makmum lupa membaca fatihah

4. makmum masih membaca do’a iftitah sementara imam sudah ruku’. 

Jika seorang makmum mengalami uzur diatas, maka boleh dia ketinggalan sampai maksimal 3 rukun fi’li yang panjang. 

Masalah : jika makmum membaca do’a setelah sujud terakhir yang panjang, apakah boleh ia tetap sujud dan berdo’a sedangkan imam sudah takbir duduk tasyahud akhir ? 

Jawab : berdasarkan keterangan diatas, perlu kita lihat, bahwa rukun fi’li yang akan dilaksanakan imam hanya tinggal “Duduk Tasyahud Akhir" (satu rukun). Sehingga jika makmum melamakan bacaan do’a setelah sujud terakhir, maka “tidak mengapa”. Karena ia hanya akan ketinggalan 1 “rukun fi’li” dari imam dan ini tidak termasuk hal yang melanggar syarat sah shalat berjama’ah, baik makmum dalam kondisi ‘uzur ataupun tidak. Wallahu A’lam.

Scan Kitab :


Sumber : Kitab Taqrirat Sadidah, Juz 1 hal 296-300. 



Senin, 06 Maret 2017

Macam-Macam Orang Yang Menempuh Jalur Tasawuf

(Diterjemahkan dari kitab Tanwir al-Qulub karangan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi an-Naqshibandi)

Murid (orang-orang yang berhajat) kepada akhirat, dan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat masing-masingnya akan mengalami salah satu diantara enam kondisi / keadaan. Adakalanya orang yang mencari akhirat itu menempuh jalan sebagai seorang (1) ‘Abid (Orang yang senantiasa beribadah), (2) ‘Alim (orang yang berilmu pengetahuan), (3) Muta’allim (orang yang senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan), (4) Wali (Orang yang mengabdi pada masyarakat), (5) Muhtarif (orang yang hatinya selalu condong kepada Allah Swt), (6) Muwahhid (orang yang larut dalam samudera tauhid). Untuk lebih terperinci, berikut uraian terkait masing-masing kondisi diatas : 

  1. Abid : Adalah sebutan bagi orang yang senantiasa melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. Ia tidak pernah menyibukkan dirinya selain untuk ibadah kepada Allah Swt,. Hal ini menyebabkan ia akan merasa sangat rugi dan sangat bersalah jika satu ketika ia meninggalkan ibadah yang biasa dilaksanakannya. Orang yang disebut sebagai ‘abid ini senantiasa rajin beribadah dan istiqomah dalam ibadahnya, disamping ia juga rajin hadir di majelis ilmu dan majelis zikir. Sebagaimana sabda Nabi Saw : “Jika kalian melewati taman-taman surga, maka ikutlah duduk disitu”, lalu para sahabat bertanya : “apakah yang Engkau maksud dengan taman surge itu wahai Rasulullah ?” Lalu Rasulullah bersabda : “Taman surga itu ialah majelis Zikir dan Majelis ilmu”. (HR.Imam Turmudzi). 
  2. ‘Alim : Ialah orang yang berilmu dan ilmunya bermanfaat untuk orang lain. Umpamanya untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, mengajarkan ilmu pengetahuan, atau mengarang buku-buku/ kitab yang akan berguna bagi masyarakat. Maka jika memungkinkan, menyibukkan diri dengan ilmu yang semacam ini lebih utama baginya setelah menyibukkan diri dengan ibadah fardu dan sunnat rawatib, tentunya jika kegiatan mengajarkan ilmu tersebut diniatkan untuk menolong sesama manusia agar mudah dalam beribadah. Adapun yang dimaksud “ilmu lebih utama daripada ibadah” ialah ilmu yang jika dipelajari atau diajarkan membuat orang mengharapkan akhirat, menjadikannya zuhud di dunia, dan bukan ilmu yang menjadikan orang cenderung lebih mengharapkan kekayaan, pangkat an jabatan. 
  3. Muta’allim : Ialah orang yang senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan keridha’an Allah Swt,. maka kesibukannya dalam menuntut ilmu pengetahuan ini lebih afdhal baginya dibandingkan menyibukkan diri dengan berzikir dan shalat-shalat sunnat mutlaq. Kendatipun demikian, alangkah baiknya ia menuntut ilmu namun tidak meninggalkan wirid-wirid/zikir-zikir setiap hari. Karena zikir-zikir itu nantinya akan membantu memudahkan urusannya dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dan orang yang menghadiri majelis ilmu meskipun ia tidak faham maka itu lebih baik baginya dibandingkan menghadiri yang bukan majelis ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Ka’ab al-Ahbar : “kalaulah pahala menuntut ilmu di majelis ilmu itu ditunjukkan kepada manusia, maka mereka akan bersaing dan meninggalkan kepentingannya yang lain demi menghadiri majelis ilmu”. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Abu Bakr : “Sesungguhnya seorang yang keluar dari rumahnya dengan dosa sebesar gunung, jika ia mendengarkan nasihat orang yang berilmu sehingga ia menjadi takut kepada Allah dan berharap ampunan Allah, maka ia ketika ia pulang kerumah ia tidak lagi membawa sebutir dosa-pun”. Oleh sebab itu janganlah menjauhkan diri dari mejelis ilmu pengetahuan, sebab tidak ada sesuatu yang lebih ampuh dan bermanfaat untuk melepaskan ikatan dunia didalam hati, selain majelis yang didalamnya berisi nasihat agama, shalat-shalat sunnat, dan ibadah serta ilmu pengetahuan. 
  4. Wali :Ialah orang yang senantiasa mengutamakan maslahat/kebaikan masyarakat Seperti imam (Ulama) dan Qadhi (Hakim). Ia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan pilar-pilar dan semangat beragama kaum muslimin. Ia senantiasa ikhlas melakukan upaya-upaya tersebut. orang menempuh kegiatan yang berpuncak pada maslahat muslimin disiang hari, dan menyibukkan diri dengan wirid dan ibadah dimalam hari. 
  5. Muhtarif : Ialah orang ang hatinya senantiasa condong kepada Allah meskipun ia tetap melakukan pekerjaan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia berharap kebaktiannya memenuhi tanggung jawab menafkahi keluarga menjadi jalan yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, hatinya tidak luput dari berzikir dan membaca wirid-wirid bahkan ketika berdagang di pasar-pun ia tidak lupa berzikir. Dan ketika ia merasa kebutuhannya dan keluarga telah tercukupi, maka ia segera menghabiskan waktunya untuk beribadah totalitas. 
  6. Muwahhid : Ialah orang yang tenggelam dalam samudera keesaan Allah Swt,. ia tidak mencintai selain Allah dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah Swt,. ia tidak pernah menyandarkan rezekinya kecuali kepada Allah Swt,. Oleh sebab itu, siapapun yang telah mencapai derajat ini, ia tidak lagi disibukkan dengan amalan-amalan yang berbeda dan bermacam-macam. Namun amalannya setelah amalan fardhu dan rawatib hanya satu, yakni, “Menghadirkan hati kepada Allah Swt dalam setiap situasi dan kondisi”. Ia tidak merasa khawatir, tidaklah apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat melainkan tersimpan didalamnya ibroh (pembelajaran), dan penambah keimanan. Inilah seluruh relung hidupnya dan inilah puncak derajat siddiiqiin, dan tidak akan bisa sampai kepada derajat ini melainkan telah melazimkan dan mengistiqomakan amalan-amalan yang dianjurkan oleh agama. 
Oleh sebab itu tidak sebaiknya seorang murid yang hendak menempuh jalan akhirat mengosongkan dirinya dari hal iwal dan keadaan diatas. Apalagi sampai malas dalam melaksanakan ibadah dan amalan sunnah. Karena tanda tanda orang yang telah mencapai derajat ini ialah hilangnya rasa khawatir dan was-was didalam hatinya. Sebagaimana firman Allah Swt :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa ketakutan dan kesedihan diati mereka” (Q.s Yunus : 62) Wallahu A’lam…

Kamis, 02 Maret 2017

MENJADI MUSLIM SEJATI, MERAIH KEBAHAGIAAN DUNIA AKHIRAT...!!


“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke Agama Islam secara sempurna, dan janganlah kalian mengikuti langkah syaithan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu”(Al-Baqarah :208)

Tidak dapat dipungkiri, bahwa semakin hari umat Islam semakin malu dengan identitasnya sebagai seorang Muslim. Hal ini tidak lain disebabkan banyaknya tudingan-tudingan miring yang disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada umat Islam, dan yang lebih disayangkan, umat Islam sendiri dengan mudahnya membenarkan dan mengikuti begitu saja tudingan-tudingan tersebut. 

Sikap umat Islam yang menerima begitu saja terhadap tudingan musuh Islam, berdampak negatif terhadap perkembangan Islam dewasa ini. Umat Islam hari ini lebih banyak yang malu mengenakan simbol-simbol Islami, baik dari segi cara berpakaian, pola hidup, dan prinsip dalam menatap masa depan. Kebanyakan pemuda-pemuda Muslim menjadikan Islam bukanlah hal yang penting untuk diperjuangkan. oleh sebab itu, perlu peranan dan dukungan orang tua dan pemuka Agama untuk kembali membangkitkan kesadaran ber-Agama didalam relung jiwa seluruh pemuda-pemudi Islam. 

Secara bahasa kata Agama Islam berasal dari bahasa Arab, yakni Dīn al-Islam. Yang tersusun dari dua kata yakni Dīn yang artinya “hutang” dan al-Islam yang artinya “Tunduk dan patuh (Hamid Fahmy, Peradaban Islam)”. Sedangkan menurut istilah, Dīn al-Islam ialah, “Sekumpulan ketetapan Allah yang ditetapkan melalui Rasulullah Saw,. Yang wajib diikuti dan dita’ati oleh setiap mukallaf (Al-Jurjani, al-Mu’jam al-Ta’rifat, hal.105”). lebih lanjut dijelaskan bahwa Dīn al-Islam ialah “ketundukan secara totalitas, baik jasmani maupun rohani terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt yang diturunkan melalui Rasulullah Saw. (K.H.Najih Maemon, Aqidah Ulama Azhar Syarif, hal.6)”. 

Soal : Siapakah yang wajib mengikuti Agama Islam ? 

Jawab : Syaikh Abdullah Ba-‘Alawi, pengarang matan kitab Sullam at-Taufiq menyatakan bahwa, “Wajib Bagi tiap-tiap mukallaf masuk Islam dan melaksanakan seluruh ketetapan dan menjauhi larangan yang termaktub didalamnya (Sullam al-Taufiq, hal.3). Artinya, setiap orang yang disebut mukallaf ortomatis wajib masuk dan mengikuti Agama Islam. 

Soal : Siapakah yang disebut sebagai mukallaf ? 

Jawab : Habib Salim al-Hadromi menjelaskan bahwa mukallaf adalah sebutan bagi orang yang memenuhi empat persyaratan, (1) Baligh, ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, atau haid khusus bagi perempuan di usia 9 tahun, atau berusia 15 tahun berdasarkan hitungan tahun hijriyah, jika sampai pada usia tersebut ia belum mengalami mimpi basah atau haid. (2) Berakal, yakni sehat akalnya atau tidak gila. (3) Sehat salah satu atau kedua indera penerima informasi, yakni mata dan telinga, yang memungkinkan seseorang untuk mengetahui sesuatu, yakni Agama Islam. (4) mengetahui keberadaan Agama Islam. Jika seseorang memenuhi keempat syarat ini, maka ia wajib masuk Islam dan melaksanakan syari’at Islam (Habib Salim al-Hadromi, Safinatun Najaa, hal.3)

Soal : Bagaimana dengan orang yang dilahirkan dan mati dalam keadaan kafir ? 

Jawab : Setiap manusia yang dilahirkan pada dasarnya ber-Agama Islam, karena ketika ditiupkan ruh kedalam jasadnya, ia dimintai perjanjian dan persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. (Q.s al-A’raf 172). Namun orang tuanya-lah yang membawanya kepada Agama selain Islam, (Imam Malik, al-Muwatta, Juz 2, hal.338). dengan demikian, seseorang yang kafir pada dasarnya tetap dikenai tuntutan melaksanakan syari’at Islam, namun harus terlebih dahlu masuk Islam, karena ajaran Islam berlaku bagi seluruh manusia, termasuk orang kafir sekalipun, (Yusuf Qorodhowi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid II, GIP, Jakarta, 1998, hal.1023). Kewajiban ini-pula yang menyebabkan orang kafir kekal di Neraka, karena secara tidak langsung orang kafir melanggar dua kewajiban, yakni kewajiban masuk Islam dan kewajiban melaksanakan syari’at Islam. 

Soal : Lalu bagaimanakah kriteria Muslim yang sejati itu ? 

Jawab : Sesuai dengan prinsip dasarnya, seorang Muslim sejati adalah Muslim yang melaksanakan tugas-tugas kehambaannya dengan baik dan benar. Sebab tujuan utama Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk mengabdi kepadaNya (Qs. Az-Zariyat 56). Disamping itu mengingat defenisi Agama yang bermakna “hutang” yang harus dilunasi dengan cara melaksanakan ketundukan jasmani dan rohani (Islam), maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Muslim yang mampu melaksanakan tugas kehambaannya dengan sempurna, dan mampu membebaskan diri dari berbagai perkara yang menjauhkannya dari kewajiban tersebut adalah Muslim sejati (SMN al-Attas, Konsep Kebahagiaan dalam Islam). 

Sebagai sebuah penutup, seorang yang berhutang akan merasakan kelegaan dan kebahagiaan tatkala hutangnya telah terbayar lunas dan dengan jalan yang baik, demikian juga dengan seorang Muslim, ia akan mendapatkan kebahagiaan sejati dunia dan akhirat jika ia melaksanakan kewajiban yang menjadi hutang-nya kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, orang yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba, tentu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati, sebab ia bukan Muslim yang sejati. Sesuai dengan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 208, “Laksanakanlah kewajiban dalam Islam dengan menyeluruh), artinya, jangan setengah-setengah menlaksanakan tuntutan Agama Islam, jika ingin menjadi Muslim sejati dan mendapat kebahagiaan di dunia hingga akhirat. Wallahu A’lam.