Selasa, 08 Mei 2018

Fiqih Lintas Ramadhan (Sambungan)


Sambungan ….!!! 
  • Yang dimaksud dengan perbedaan mathla’ dalam istilah fiqih adalah perbedaan waktu terbit matahari, bulan, bintang antara satu negeri dengan negeri yang lain. Hal ini bisa jadi disebabkan perbedaan jarak antara negeri bersangkutan dengan garis katulistiwa dan lain sebagainya. Dua Negeri yang memiliki perbedaan waktu siang dan malam tentu berbeda pula waktu melihat hilalnya, oleh sebab itu tidak bisa disamakan waktu memulai ramadhannya. Berbeda dengan Negeri yang bersamaan waktu siang dan malamnya, misalnya Malaysia dan Indonesia, maka boleh disamakan awal Ramadhannya dengan mengikut keputusan hakim (Kementerian Agama) setempat. 

  • Apabila seseorang melakukan perjalanan dari Negeri yang diperkirakan akan tampak hilal Syawal pada malam hari tersebut, menuju Negeri yang diperkirakan tidak akan tampak Hilal Syawal pada keesokan harinya, maka wajib orang tersebut berpuasa satu hari lagi, karena ia mesti mengikuti mathla’ (waktu) negeri tujuan.
  • Apabila seseorang melakukan perjalanan pada siang hari Ramadhan ke 30 menuju negeri yang berbeda mathla’ dengan Negeri asalnya, dan sampai ke Negara tujuan pada siang hari pula, dan masih terhitung Ramadhan ke 30, maka wajiblah ia berpuasa pada hari tersebut karena pindahnya seseorang kenegeri yang berbeda mathla’ mewajibkan ia mengikut ketentuan rukyat negeri setempat. 
  • Sebaliknya, apabila seseorang melakukan safar dari Negeri yang belum menunjukkan tanda-tanda kemunculan hilal, misalnya masih hitungan Ramadhan ke 28, menuju negeri yang sudah jelas akan tampak hilal pada malam harinya, maka begitu sampai ditempat tujuan, ia boleh merayakan idul fithri bersama mereka, dan wajib mengqadha puasanya satu hari lagi agar mencukupkan bilangan puasa 29 hari. 
  • Jika seseorang sudah berhari raya, lalu melakukan safar ke Negeri yang jauh dan penduduknya masih berpuasa, maka wajib ia menahan diri dari makan dan minum untuk sekedar menghormati penduduk setempat.

Senin, 07 Mei 2018

FIQIH LINTAS RAMADHAN





FIQIH LINTAS RAMADHAN 1 

Oleh : Muhammad Taufiq, SH 

Hai Orang-Orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu menjadi orang yang bertaqwa (Qs. Al-Baqarah 183) 

1. Defenisi Puasa 

Puasa menurut bahasa adalah "الامساك" yang artinya menahan diri dari segala sesuatu. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka menahan dari bicara pun termasuk dalam kategori puasa, sebagaiman firman Allah Swt,. 

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا (مريم : 26

Artinya : Sesungguhnya aku bernazar kepada Allah untuk berpuasa (Baca: Menahan diri dari bicara) (Q.s Maryam 26) 

Ayat diatas menceritakan tentang kisah Sayyidah Maryam yang bernazar untuk diam dalam menghadapi fitnah yang dituturkan oleh masyarakat sekitarnya ketika mengandung Nabi Isa ‘Alaihissalam. 

Adapun menurut Syara’, Puasa memiliki mana “Menahan diri[1] dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan niat tertentu mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari”. 

2. Landasan hukum Wajib Berpuasa 

Puasa pertama kali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijrahnya Nabi Muhammad Saw,. dari Makkah ke Madinah. Seorang muslim diwajibkan berpuasa berdasarkan Ayat Al-Qur’an Surat Al-Bahaqah ayat 183 yakni : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 183 

Hai Orang-Orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu menjadi orang yang bertaqwa (Qs. Al-Baqarah 183). 

Ayat Al-Qur’an ini menjelaskan dengan gambling bahwasanya puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang memenuhi persyaratan. Sebab salah satu sighat Amar (lafaz yang menyatakan wajib melaksanakan sesuatu) adalah kalimat “كتب”. Orang yang mengingkari kewajiban berpuasa, misalnya mengatakan “Puasa tidak wajib” maka dihukumi keluar dari Islam, berbeda dengan orang yang sengaja meninggalkan puasa maka tetap dianggap beriman namun berma’shiyat (mu’minun ‘Ashiy). 

3. Cara Penetapan Awal Bulan Ramadhan 

Karena jumlah hari pada perhitungan bulan Hijriyah antara rentang 29 atau 30 hari, bahkan selama hidupnya Rasulullah hanya satu kali mendapatkan Ramadhan 30 hari penuh, selebihnya hanya berjumlah 29 hari. Oleh sebab itu untuk penetapan awal dan akhirnya mesti dilakukan melalui Ru’yat Hilal, untuk mengantisipasi keragu-raguan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Landasan hukum penetapan awal bulan Ramadhan ini adalah firman Allah Q.s Al-Baqarah 185 sebagai berikut : 

…فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ… (البقرة : 185 

Artinya : … Maka barangsiapa yang melihat Hilal Ramadhan, hendaklah ia berpuasa… (Q.s Al-Baqarah : 185) 

Adapun hitungan bulan dengan metode hisab (perhitungan matematis) hanya membantu menentukan perkiraan kemunculan hilal saja. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad Saw,. dari Abu Hurairah berikut ini : 

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ (رواه البخاري رقم 1909 ج.3 ص.27 

Artinya : Puasalah kamu karena telah melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena telah melihat hilal, apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban (demikian juga Ramadhan) 30 hari. (HR. Al-Bukhari no. 1909 Juz. 3 hal. 27). 

Oleh sebab itu, untuk menghindari perbedaan pendapat maka alangkah baiknya mengikut pada ketetapan Kementerian Agama RI, karena Team nya setiap Bulan melakukan Hisab Ru’yat diwilayah masing-masing. 

Beberapa Masalah 

  1. Para ulama menjelasakan bahwa awal bulan Ramadhan dapat diketahui dengan dua jalan, Pertama dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari. Kedua dengan melihat hilal bulan Ramadhan setelah terbenam matahari pada tanggal 29 Sya’ban. Orang yang melihat hilal sebaiknya adalah orang yang ‘adil dan kesaksiannya dapat diterima dengan mengatakan “Aku Bersaksi bahwa aku telah melihat hilal”. Dengan syarat yang bersaksi langsung melihat hilal, tidak diperantarai oleh orang lain. 
  2. Apabila telah ditetapkan akan tampaknya hilal disuatu wilayah, maka munculnya hilal diwilayah tersebut dapat mewakili hilal di wilayah lain yang masih satu Negara, meskipun jauh, jika masih sama waktu terbit mataharinya. 
  3. Jika diteliti lebih lanjut dari dua metode menentukan awal Ramadhan diatas, dapat dikembangkan menjadi beberapa metode yang terkait, diantaranya Pertama : Menyempurnakan bilangan bulan sya’ban 30 hari, Kedua : Melihat Hilal Bulan Ramadhan, Ketiga : Khabar Mutawattir dari yang melihat hilal, walaupun dari orang kafir. Keempat : Kesaksian dari seorang yang melihat hilal. Kelima : Berdasarkan hukum hakim (Kementerian Agama) yang mampu berijtihad. Keenam: Khabar dari Ahli Hisab, khusus masalah ini, wajib diikuti oleh si ahli hisab dan orang yang meyakini hisab saja. 
  4. Apabila terjadi perbedaan hasil antara hisab dan ru’yat, maka yang wajib diamalkan adalah berdasarkan hasil ru’yat, bukan Hisab. 
  5. Apabila seorang wanita, budak, orang fasiq melihat hilal secara langsung, maka mereka wajib melaksanakan puasa berdasarkan hasil ru’yatnya jika diyakini kebenarannya oleh pribadi masing-masing. 

Bersambung…. !!! 












[1] Maksudnya adalah orang yang wajib melaksanakan puasa, pembahasannya akan diterakan pada kajian Syarat Wajib Puasa.