HUKUM BERTAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD SEBELUM DILAHIRKAN STUDI KRITIK HADIS RIWAYAT ABDURRAHMAN BIN ZAID BIN ASLAM DIDALAM MUSTADRAK IMAM AL-HAKIM
A. Pendahuluan
Setiap amal ibadah yang dilaksanakan oleh seorang muslim, sudah semestinya memiliki dasar hukum yang kuat dan terpercaya sebagai landasan dari amal tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari diri dari kesalahan-kesalahan dalam tatacara melakukan suatu amal ibadah.
Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa dasar hukum islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas disamping dalil-dalil yang mukhtalaf. Dan para ulama telah menjelaskan bagaimana metode dan cara pengambilan hukum dari nash atau dalil hukum sehingga menghasilkan produk-produk hukum yang baik.
Mengenai tatacara pengambilan dan penggunaan dalil hukum tersebut para ulama berbeda pendapat, hal ini disebabkan proses pengambilan hukum dari dalil merupakan ijtihad yang sangat besar didalamnya peluang berbeda pendapat. Terlepas dari perbedaan tersebut, agaknya umat islam diperbolehkan memilih pendapat atau hasil ijtihad yang memenuhi persyaratan sebagai pondasi dan dasar hukum ibadah yang dilakukan. Umpamanya perbedaan pandangan ulama hadis mengenai kedudukan hadis riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, mengenai tawassul yang dilakukan oleh Nabi Adam as., kepada Nabi Muhammad Saw., padahal ketika itu Nabi Muhamad Saw., belum dilahirkan. para ulama hadis ada yang menilai hadis ini sahih, hasan, da’if bahkan maudu’. Oleh sebab itu didalam makalah ini penulis ingin membuka cakrawala berfikir dengan tujuan mencari syahid-syahid dari hadis tersebut sehingga ditemukan alasan mengapa hadis tersebut digunakan oleh para ulama sebagai dalil dan mengapa hadis tersebut dimuat oleh para ulama didalam kitab-kitab hadis yang derajatnya sahih.
B. Defenisi Tawassul
Tawassul secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kalimat توسل- يتوسل- توسلا yang memiliki makna “Perantara”. Sedangkan wasilah (الوسيلة) ialah : segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri dengan sesuatu. Adapun secara terminologi, tawassul ialah segala sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepadaNya. Para ulama telah sepakat mengenai kebolehan bertawassul dengan perantara amal salih, asma’ dan sifat Allah, dan lainnya. Namun para ulama berbeda pendapat ketika tawassul itu menggunakan perantara makhluk seperti Nabi, Wali, dan orang–orang salih.
Ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi telah banyak menerangkan seputar masalah tawassul ini, diantaranya yakni sebagaimana tertera didalam Q.s Al-Maidah ayat 35 sebagai berikut :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِة لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(المائدة :35)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.s Al-Maidah : 5: 35)
Kalimat wasilah menurut para ulama tafsir memiliki banyak makna yang saling berkaitan, imam Ibnu Kasir didalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat ini ialah al-qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt,. Tidak ada ulama yang memperselisihkan makna wasilah ini, namun hanya berbeda pendapat mengenai sarana dan jalan yang digunakan dalam berwasilah kepadaAllah Swt,. Demikian pula dapat dilihat bahwa ada sebagian ulama yang membatasi wasilah pada hal-hal yang berkaitan dengan amal saja, dan ada yang memaknainya dengan makna yang lebih luas.
Imam ‘Ali al-Sabuni menjelaskan bahwa makna wasilah dalam ayat tersebut ialah sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, berupa keta’atan dan amal salih . Hal ini sebagai refleksi dari rasa takut terhadap azab Allah Swt,. dalam hal ini Qatadah berkata “Dekatkanlah dirimu kepada Allah Swt, dengan perantara keta’atan dan amal-amal yang diridhai Allah Swt,.”
C. Landasan Hukum Tawassul
Bertawassul atau mengambil perantara dalam berdo’a adalah salah satu amal yang dianjurkan oleh agama, baik didalam al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sebagaimana yang terdapat didalam al-Qur’an sebagai berikut :
- Q.s Al-Maidah ayat 35
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة : 35)
Artinya: Hai orang orang yang beriman, betaqwalah kamu kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.
- Q.s Al Isra’ ayat 57
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Artinya : Orang –orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepaa Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.
Syaikh ‘Ali Jum’ah menyatakan bahwa ayat pertama berisi perintah kepada orang-orang beriman utuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang lazim digunakan, dan perintah untuk mengambil perantara (wasilah) kepada Nabi Muhammad Saw., dalam berdo’a, sebab tawassul merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,. Adapun ayat kedua menjelaskan gambaran yang diberikan Allah Swt., bahwa ada orang orang yang memohon kepada Allah dengan cara bertawassul dalam berdo’a. hal ini menunjukkan bahwa tawassul dalam berdo’a, baik dengan perantara makhluk, maupun perantara lainnya dibenarkan dalam al-Qur’an.
Disamping itu Rasulullah Saw., juga bersabda :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ البَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهْ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ (رواه الترمزي
Artinya: Dari ‘Usman bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang mengalami kebutaan datang kepada Rasulullah Saw., seraya berkata : “Do’akanlah kepada Allah Swt., agar aku disembuhkan”. Rasulullah bersabda, “jika engkau mau, aku do’akan, namun jika engkau mau, buta akan lebih baik bagimu” lalu ia berkata Do’akan saja ya Rasulullah. Lalu Rasulullah menyuruhnya mengambil air wudhu dengan sempurna, lalu membaca do’a “ya Allah sesungguhnya aku meminta dan menghadapkan wajah kepadamu dengan perantara Nabi Muhammad Saw., sungguh aku meminta kepada Allah Swt., dengan perantra Nabi Muhammad Saw., agar Dikabukan hajatku, ya Allah sembuhkanlah aku..” (HR.Turmuzi)
Hadis ini juga tidak mengandung arti bahwa do’a tersebut khusus hanya untuk ‘Usman bin Hunaif, dan tidak pula terbatas pengamalannya ketika Rasulullah masih hidup, sebab berdasarkan tinjauan dan pandangan hukum syari’at lafadz do’a ini bersifat mutlaq dan umum sehingga berlaku untuk umum dan tidak dibatasi waktu. Berdasarkan kedua dalil hukum diatas, telah menunjukkan legalitas tawassul baik secara umum maupun khusus, melalui perantara amal, para wali, maupun kepada Nabi Muhammad Saw., ketika masih hidup ataupun setelah meninggal dunia sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., dan dijelaskan oleh para Ulama mengenai hadis diatas.
D. Pembagian Tawassul
Untuk memahami dengan jelas bagaimana pembagian tawassul yang dijelaskan oleh para ulama sebagai refleksi dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi mengenai tawassul, maka akan lebih baik jika pembagian tawassul tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Bertawassul dengan perantara amal salih
Bertawassul kepada amal salih adalah amalan yang disepakati oleh seluruh ulama akan kebolehannya, hal ini sebagaimana diungkapkan didalam Q.s Al-Baqarah ayat 45 sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya : Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya hal itu sangat sulit kecuali bagi orang-orang yang khusu’ (Q.s Al-Baqarah 45).
Ayat diatas secara langsung menunjukkan bahwa pada hakikatnya ibadah yang dilaksanakan seperti salah dan lain-lain merupakan perantara yang digunakan untuk mendapatkan ridho Allah Swt,.
b. Bertawassul dengan perantara makhluk
Bertawassul dengan perantara makhluk sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan amal yang biasa dilaksanakan umat muslim dunia sebagai refleksi dari ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 35. Adapun makna dari kalimat Wasilah didalam ayat tersebut sudah barang tentu bermakna umum yang meliputi tawassul kepada amal salih, para Nabi dan orang-orang salih. Adapun pembagian tawassul ini secara ringkas yakni sebagai berikut:
- Bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad Saw., dan orang salih
Bertawassul kepada Nabi Muhammad dan Orang salih secara gamblang dapat diterima kebolehannya sebagai mafhum dari Q.s al-Maidah ayat 35. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki sebagai berikut:
ولفظ الوسيلة عام في الاية كما ترى. فهو شامل للتوسل بالذوات الفاضلة من الانبياء والصالحين في الحياة وبعد الممات...
Artinya: Dan lafaz was³lah itu umum berdasarkan ayat, sehingga meliputi tawassul kepada zat (diri) para Nabi atau orang £alih ketika hidup maupun setelah wafat.
Disamping itu, beliau juga mengungkapkan pendapat secara lugas mengenai kebolehan bertawassul kepada makhluk yakni :
ولا شك ان التوسل باالصالحين انما يتوسل بهم من حيث انهم صالحون, فيرجع الامر الى الاعمال الصالحة المتفق على جواز التوسل بها.
Artinya: Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa bertawassul dengan orang ¡alih dilakukan disebabkan mereka merupakan orang yang salih , maka sama saja hal nya dengan bertawassul kepada amal salih yang disepakati kebolehannya.
- Bertawassul dengan perantara Haq Rasulullah Saw dan Orang salih
Bertawassul dengan perantara haq Rasulullah maksudnya ialah bertawassul dengan perantara kebenaran, keagungan dan kedudukan Rasulullah. Tawassul jenis ini biasanya dengan menggunakan lafaz “بحق محمد” dan seterusnya. adapun dasar dari tawassul jenis ini selain hadis yang diriwayatkan oleh Usman bin Hunaif, juga berlandaskan hadis berikut:
...دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فاضْطَجَعَ فِيهِ، وَقَالَ: «اللَّهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، اغْفِرْ لِأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ، ولَقِّنْهَا حُجَّتَهَا، وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا، بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي، فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (رواه الطبراني)
Artinya: …Rasulullah masuk kedalam lahad Fatimah binti Asad kemudian berjongkok seraya bersabda : “Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Ia maha hidup dan tidak mati. Ampunkalah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, bimbinglah untuknya hujjahnya, luaskanlah kuburnya, dengan haq Nabimu dan Nabi-Nabi sebelum aku, sungguh Engkau maha pengasih lagi maha penyayang (H.R Tabrani).
Berdasarkan hadis diatas, Rasulullah menunjukkan adanya kebolehan bertawassul dengan perantara Haq nya dan Nabi-Nabi sebelumnya yang kala itu sudah meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tawassul ini diperkenankan meskipun pemilik haq tersebut telah meninggal dunia.
- Bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., sebelum dilahirkan.
Adapun Bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad sebelum dilahirkan akan dibahas pada sub-bab berikut ini.
E. Bertawassul kepada Nabi Muhammad Sebelum Dilahirkan
Secara umum, terdapat beberapa dalil hadits Nabi Muhammad Saw., yang menerangkan tawassul yang dilakukan oleh Nabi Adam as., kepada Nabi Muhammad ketika beliau diturunkan dari surga padahal ketika itu Nabi Muhammad Saw., belum dilahirkan. Jika ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw., sebelumnya telah menerangkan dengan jelas akan kebolehan bertawassul kepada Nabi Muhammad ketika masih hidup dan setelah meninggal dunia, lalu bagaimana hukum bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., sebelum beliau dilahirkan kemuka bumi ? hal ini sebagaimana diungkapkan didalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam didalam kitab Mustadrak karangan imam al-Hakim sebagai berikut :
قال الحاكم حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَنْصُورٍ الْعَدْلُ، ثنا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، ثنا أَبُو الْحَارِثِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُسْلِمٍ الْفِهْرِيُّ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْلَمَةَ، أَنْبَأَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ اللَّهُ: يَا آدَمُ، وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَىَ قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوبًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللَّهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأُحِبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ(رواه الحاكم)
Artinya : Berkata Al-Hakim menceritakan kepada kami abu Sa’id Umar bin Muhammad bin Mansur al-‘Adl, menceritakan kepada kami Abu Hasan bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali, menceritakan kepada kami Abu al-Harits Abdillah bin Muslim al-Fihriy, menceritakan kepada kami isma’il bin Maslamah, memberitakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Umar bin Khattab r.a, berkata : Rasulullah Saw., bersabda : manakala Sayyidina melakukan kesalahan ia berkata : Wahai Tuhanku, aku meminta kepadamu dengan perantara Muhammad Rasulullah Saw., agar Engkau mengampuniku. Lalu Allah berfirman : wahai Adam, bagaimana engkau bisa mengenal Muhammad sementara ia belum diciptakan ? wahai Tuhan, tatkala engkau menciptakanku dengan kekuasaan Mu, serta engkau tiupkan ruh kepadaku, seketika itu aku melihat ke ‘arsy tertulis “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah”. Maka aku mengetahui bahwa tidak akan mungkin Engkau menyandingkan nama seseorang dengan namamu kecuali ia adalah makhluk yang paling engkau kasihi. Lalu Allah berfirman : Engkau benar hai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Kukasihi, berdo’alah dengan perantara Muhammad maka pasti engkau Kuampuni, kalaulah bukan karena Muhammad, maka tidaklah aku menciptakan engkau. (HR.al-Hakim)
a. Kedudukan Hadis
Imam al-Hakim menjelaskan bahwa hadis ini dinilai sahih berdasarkan sanadnya, dan hadis ini merupakan hadis pertama yang desebutkan kepada Abd Rahman bin Zaid bin Aslam didalam Mustadrak al-Hakim. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki mengemukakan alasan pensahihan hadis ini dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Setiap hadis yang sanadnya sahih sudah barang tentu matannya juga sahih,
2. Semua hadis yang dimuat didalam kitab al-Mustadrak sepenuhnya sahih dengan persyaratan dari imam Bukhari dan Muslim,
3. Bahwa para ulama dari kalangan ahli hadis banyak yang menukil hadis dari imam al-Hakim seperti al-Imam al-Qas¯all±ni, az-Zarq±ni, dan imam as-Subki. Dan mereka menyertakan penilaian imam al-Hakim didalam kitab mereka dengan ungkapan “disahihkan oleh al-Hakim” inilah jalan yang dipakai sebagian besar ulama sehingga penilaian imam al-Hakim terhadap suatu hadis dapat diperpegangi kebenarannya berdasarkan pengakuan para ulama hadis terhadap penilaian imam al-Hakim.
Adapun Al-Zahabi menilai bahwa hadis ini maudu’ sebagaimana yang diungkapkan didalam talkhis terhadap kitab mustadrak karangan imam al-Hakim. Al-Ajuri juga meriwayatkan Hadis yang semakna dengan hadis diatas didalam kitab al-Syari’ah, namun hadis dengan sanad ini dinilai mauquf. Dan ada pula ulama hadis yang menilai bahwa hadis ini daif sebagaimana yang diungkapkan oleh imam al-Baihaqi disebabkan menyendirinya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.
b. Pembelaan Ulama Terhadap Hadis Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh menjelaskan takhrij hadis ini sebagai jawaban dari komentar para ulama hadis yang melemahkan hadis ini. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap suatu hadis merupakan hasil ijtihad dari masing-masing ulama hadis, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam memang menuai banyak kritik pedas dari para ulama hadits, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada syahid lain yang menguatkan hadis tersebut, diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Thabrani didalam kitab Mu’jam al-Saghir sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ أَسْلَمَ الصَّدَفِيُّ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْمَدَنِيُّ الْفِهْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْمَدَنِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ , فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلَّا غَفَرْتَ لِي , فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ , «وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ؟» فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ، لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ، فَإِذَا فِيهِ مَكْتُوبٌ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا مِمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ , فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ: «يَا آدَمُ , إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ , وَإِنَّ أُمَّتَهُ آخِرُ الْأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ , وَلَوْلَاهُ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ (رواه الطبراني).
Artinya : menceritakan kepada kami Muhammad bin Daud bin Aslam al-Sadafi al-Misri, menceritakan kepada kami Ahmad bin Said al-Madani al-Fihri, menceritakan kepada kami Abdullah bin Isma’il al-Madanidari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ayahnya, dari Kakeknya, dari Umar bin Khattab ra. Rasulullah Saw., bersabda : “ manakala Nabi Adam merasa berdosa disebabkan pelanggaran yang dilakukannya, ketika itu beliau mendongak dan melihat ke ‘Arsy seraya berdo’a : tidaklah aku meminta kepadaMu dengan perantara Muhammad, melainkan Engkau ampuni aku” maka Allah berfirman : apa dan siapakah Muhammad ? maka Nabi Adam menjawab : maha suci engkau dengan namamu yang mulia, manakala Engkau telah menciptakan aku, klihat di ‘arsy tertulis “tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” maka seketika itu aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan meletakkan nama seseorang bersamaan dengan namaMu melainkan orang yang paling mulia disisiMu. Lalu Allah berfirman, wahai Adam, sesungguhnya dia (Muhammad) adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, dan umatnya adalah umat terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karenanya, maka tidaklah aku menciptakanmu. (HR.Tabrani)
Mengenai penilaian terhadap hadis ini, imam al-Tabrani berkomentar sebagai berikut :
لَا يُرْوَى عَنْ عُمَرَ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ تَفَرَّدَ بِهِ أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ
Artinya : Tidaklah diriwayatkan dari umar kecuali dengan sanad ini, namun hanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Sa’id.
Syaikh Sa’id Mamduh mengatakan bahwa maksud perkataan imam thabrani mengenai Ahmad bin Sa’id tidaklah menunjukkan bahwa Ahmad bin Said merupakan perawi yang buruk, namun hal ini hanya disebabkan imam Thabrani tidak mengenal siapa Ahmad bin Sa’id. Hal ini sebagaiman diterangkan oleh al-Haisami didalam kitab Majma’ al-Zawaid ketika menukil perkataan al-Tabrani didalam al-Ausath dan al-Saghir dengan ungkapan “aku tidak mengenalnya”.
Dengan demikian, berdasarkan keterangan diatas, Ahmad bin Sa’id bukanlah perawi yang buruk, namun hanya biografinya saja yang tidak diketahui. Dengan demikian jika disandingkan kedua hadis diatas, maka titik masalah hanya pada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang dinilai sebagai perawi yang daif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Meskipun demikian, didalam al-Kamil dijelaskan mengenai periwayatan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebagai berikut :
وَعَبد الرحمن بن زيد بن أسلم له أحاديث حسان
Artinya: Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam juga pernah meriwayatkan hadits dengan kualitas baik.
Imam al-Hakim juga di akhir kitabnya menyatakan bahwa “dan seluruh perawi hadits yang telah aku sebutkan didalam kitab ini, telah jelas bagiku jarh nya, namun setiap rawi yang dilemahkan (di jarh) tidak menutup kemungkinan masih bisa diikuti periwayatannya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan didalam al-Fatawa bahwa hadis yang kedua menguatkan kedudukan hadis yang pertama dengan ungkapan:
…فَهَذَا الْحَدِيثُ يُؤَيِّدُ الَّذِي قَبْلَهُ وَهُمَا كَالتَّفْسِيرِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
Artinya: … dan hadis ini menguatkan hadis sebelumnya, dan keduanya seperti penafsiran terhadap hadis yang sahih.
Ibnu Taimiyah lebih lanjut menyatakan pembelaan terhadap hadis diatas dengan mengungkapkan pendapatnya bahwa bertawassul kepada Nabi Muhammad sebelum dilahirkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Adam as., adalah berdasarkan pengetahuan Nabi Adam as ketika itu.
Nabi Muhammad adalah penghulu sekalian alam, dan merupakan seorang yang paling dicintai oleh Allah Swt., hal ini sebagaimana ungkapan “kalaulah bukan karena Muhammad maka tidak akan Kuciptakan engkau”. Allah Swt., telah mentakdirkan hal tersebut, dan tidak mungkin Nabi Adam yang ma’sum melakukan kesalahan apatah lagi kesyirikan. Inilah bukti bahwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam diperbolehkan dan diperkenankan sebab ketika itu juga Allah mengampunkan kealpaan Nabi Adam yang telah melanggar larangan Allah Swt,.
Tawassul yang dilakukan Nabi Adam dengan Haq atau kedudukan Nabi Muhammad tidak serta merta menunjukkan pembatalan Nabi Adam sebagai manusia dan Nabi pertama dimuka bumi. Sebab secara logika, tidak mungkin ada kedudukan namun orang yang memiliki kedudukan tidak ada. Hal ini secara tidak langsung berupaya membimbing pola fikir menuju penafian Nabi Adam sebagai manusia dan Nabi pertama. Untuk menjawab hal ini, agaknya dapat ditinjau dari kajian Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut :
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ...
Artinya : dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya... (Q.s Al-Baqarah 31)
Berdasarkan ayat ini, dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa Allah telah mengajarkan kepada Nabi Adam mengenai Nabi Muhammad, baik namanya, kedudukannya, dan kemuliaannya. Adapun cara yang digunakan Allah untuk mengajarkan kemuliaan dan kedudukan Nabi Muhammad dapat dilihat sebagaimana hadis diatas, yakni dengan menyandingkan nama Nabi Muhammad disamping Nama Allah Swt,. hal ini bertujuan memberikan berita kepada Nabi Adam bahwa Nabi Muhammad telah ditaqdirkan kelak akan memiliki kedudukan tinggi sebagai Rasul terakhir dari keturunan Nabi Adam. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ بُدَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَجْرِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَتَى كُتِبْتَ نَبِيًّا؟ قَالَ: " وآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ (رواه احمد)
Artinya : Menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, Menceritakan kepada kami Mansur bin Sa’di, dari Budail, dari Abdullah bin Syaqiq, dari Maisarah al-Fajr berkata : Aku bertanya, Wahai Rasulullah, sejak kapan engkau menjadi Nabi ? Rasulullah bersabda: Ketika Adam diantara Ruh dan Jasad. (H.R. Ahmad).
Hadis diatas menunjukkan bahwa Allah telah menunjukkan sebagian dari kekuasaanNya, yakni dengan menunjukkan kepada Nabi Adam bahwa kelak akan lahir dari keturunan Nabi Adam seorang yang mulia, seorang Rasul yang kehadirannya telah dinantikan seluruh alam. Maka dengan pengetahuan yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam, tidaklah mengherankan apabila Nabi Adam akan bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad yang ia ketahui kemuliaan dan keagungannya.
Jika difahami dengan makna lain, maka hadis mengenai tawassul Nabi Adam kepada Nabi muhammad bisa difahami bahwa yang ditawassuli ialah kedudukan atau kemuliaan Nabi Muhammad yang telah dipersiapkan oleh Allah Swt,. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa bertawassul dengan haq atau jahh seseorang yang mulia terutama Rasulullah dibenarkan dan dilegalitaskan oleh Alqur’an dan Hadis.
Dengan demikian, dapat difahami dengan jelas bahwa bertawassul dengan jahh dan kedudukan para Nabi, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggal dunia diperbolehkan dengan landasan dalil-dalil yang kuat. Demikian pula mengenai peristiwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam kepada Nabi Muhammad sebelum diciptakan adalah benar terjadi sesuai dengan dalil yang kuat serta alasan logis yang dapat diterima sebab kala itu sudah barang tentu Nabi Adam mengetahui siapa dan apa kedudukan Nabi Muhammad Saw,.
C. Kesimpulan
Tawassul ialah salah satu cara yang digunakan dalam berdo’a yang dilegislasi oleh dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw., disertai dengan kekuatan hujjah yang tidak diragukan lagi. Adapun dalil-dalil tersebut diantaranya ialah Q.s al-Maidah ayat 35, Hadis Riwayat Usman bin Hunaif, dan hadis riwayat Abdurrahman bin Aslam serta dalil-dalil lainnya yang bersangkutan. Secara umum, tawassul dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yakni tawassul yang dilakukan dengan perantara amal salih, Nabi dan Rasul, orang-orang salih dan bertawassul dengan haq, jahh atau kedudukan Nabi dan Rasul. Adapun hukum bertawassul kepada Nabi Muhammad sebelum diciptakan, maka hal ini diperbolehkan oleh para ulama hadis terkemuka. Hal ini terbukti dengan dicantumkannya hadis yang menerangkan hal tersebut didalam kitab-kitab hadis dan fatwa. Secara objektif, dapat dipandang bahwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam bisa dimaknai sebagai tawassul yang dilakukan dengan perantara diri Nabi Muhammad, maupun dengan perantara kedudukan dan kemuliaan Nabi Muhammad Saw,.
Daftar Kepustakaan
Al-Baihaqi, Abu Bakar Dalail al-Nubuwah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1405 H.
Al-Hakim, Abu ‘Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdawiyah bin Nu’aim. Al-Mustadrak ‘ala al-sahihain. Lubnan : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990.
Al-Maliki, Muhammad bin ‘Alawi. Mafahim Yajibu an-Tusahhah. Kairo: Dar al-Jawami’ al-Kalim, t.th.
Al-mubarakfuri, Abu al-‘Ala Muhammad bin Abdurrahman. Tuhafah al-ahwazi. Libanon: Dar al-kutub al-‘ilmiah,t.t.h.
Al-Sabuni, Ali. Sofwah al-Tafasir. Kairo: Dar-Al-Sabuni, 1399 H
Al-Tabari, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an. t.t: Muassasah al-Risalah, 1420 M.
Al-Tabrani, Abu al-Qasim. al-Mu’jam al-Saghir. Oman: al-Maktab al-Islami,1985.
Departemen Agama. Alqur’an dan Terjemahannya . Bandung: Gema Risalah Press, 1989 M.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. t.t: Muassasah al-Risalah, 2001.
Jum’ah, Ali. Al-Bayaan Lima Yusyghalu Al Azhan. Kairo: Al-Moqattam, 2005.
Kasir, Abu al-Fada’ Isma’il bin Umar. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. t.t: D±r-al-°aibah, 1999.
Maqatil, Abu Hasan. Tafsir Maqatil bin Sulaiman. Beirut: Dar al-Ihya’ wa al-Turas,1423 H.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesntren al-Munawwir, 1984.
Taimiyah, Taqiyuddin Ibnu. Majmu’ Fatawa. Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995.