Jumat, 27 Mei 2016

e-Book Fiqih Lintas Ramadhan

Alhamdulillah telah selesai dihimpun e-Book kecil ukuran saku dengan tebal 48 halaman yang berisi panduan-panduan ringkas mengenai Fiqih Lintas Ramadhan. didalam buku ini penulis cenderung mengemukakan hal-hal terkait pelaksanaan ibadah puasa yang banyak disalah pahamkan sebagian kalangan. maka dengan harapan dapat menjadi manfaat bagi masyarakat, penulis share buku saku ini dengan ukuran kecil agar bisa dibawa kemana-mana dan dibaca disaat bersantai. berikut link e-Book Fiqih Lintas Ramadhan yang dapat di download di Sini

Semoga Bermanfaat ....!!!!

Kamis, 26 Mei 2016

MENYINGKAP HIKMAH DIBALIK ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW (part 1)

Rasul-Rasul Allah Swt masing-masing memiliki keistimewaan yang menjadi mu’jizat yang berfungsi sebagai sesuatu bukti dan penguat kebenaran dakwah para Rasul Allah dan melemahkan tudingan-tudingan para pendusta-pendusta ajaran Rasulullah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kisah yang diungkapkan didalam Al-Qur’an, Hadis dan sirah para Nabi dan Rasul Allah. Sebagai sebuah contoh, ketika Nabi Nuh as. Membuat perahu disaat cuaca kering kerontang, hal ini menjadi olok-olokan dari umatnya kala itu, sampai-sampai kapal yang dibuat diatas puncak gunung tersebut dikotori bahkan dengan kotoran mereka sendiri,hal ini menunjukkan pendustaan yang sangat besar pada Nabi Nuh as. Namun Allah maha berkuasa atas hamba-hambanya, kotoran yang mereka buang di kapal Nabi Nuh justru menjadi obat kebutaan dan berbagai penyakit yang mewabah di wilayah tersebut hingga akhirnya mereka oleskan kotoran tersebut ke mata mereka sendiri. Dan masih banyak peristiwa-peristiwa menakjubkan yang dialami oleh para Nabi sebagai mu’jizat yang diberikan Allah Swt. 

Disamping mu’jizat yang ada pada diri seluruh Nabi dan Rasul Allah, Allah juga membekali empat sifat yang pasti ada pada diri Rasul Allah, yakni sifat Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah. Semua sifat tersebut bertujuan untuk memuliakan Rasul-Rasul-Allah dan menjadikan pribadi Rasul Allah layak untuk diikuti sebab tidak mungkin dengan sifat tersebut para Rasul Allah melakukan maksiat, berdusta atau melakukan perbuatan dosa yang akan mengurangi kemuliaan derajatnya disisi Allah dan dimata umatnya. Disamping empat sifat tersebut, kepribadian para Rasul Allah juga merupakan pribadi yang ma’shum atau terjaga dari perbuatan dosa-dosa, sebab manusia diperintahkan untuk mengikut apa-apa yang dilakukan dan diajarkan oleh para Rasul. Sehingga, jika Rasulullah pernah lakukan kesalahan ataupun perbuatan dosa, tidak mungkin Allah memerintahkan kita mengikuti Rasulullah, sebab perintah tersebut memungkinkan kita mengikuti dosa-dosa yang dilakukan oleh para Rasul.

Diantara keistimewaan umum yang ada pada diri setiap Rasul, juga terdapat peristiwa dan keistimewaan yang terkhusus pada Rasul-Rasul tertentu sebagai petunjuk adanya kelebihan derajat salah seorang Rasul dibandingkan Rasul yang lainnya. Diantara keistimewaan tersebut ialah Peristiwa Isra’ Mi’rajyang terjadi para diri Nabi Muhammad Saw. sebuah peristiwa yang memberikan pelajaran yang sangat mendalam bagi umat manusia, serta menjadi berita baik sekaligus ujian bagi keimanan para pengikut Rasulullah Saw kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah pasti memiliki makna yang mendalam sekecil apapun hal tersebut. Diantara makan yang tersurat dan tersirat dibalik peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw., ialah sebagai berikut : 

1. Usaha dan Tawakkal
 
Dakwah Rasulullah kepada kaum kafir Quraisy kota Makkah merupakan dakwah yang berat disebabkan pertentangan-pertentangan yang diberikan oleh para pendusta Rasulullah, bahkan dari kalangan keluarga terdekat seperti hujatan Abu Lahab yang tidak lain merupakan paman kandung Rasulullah sendiri. Dakwah dengan cara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Rasulullah merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh ditengah gempuran tekanan dari kaum kafir. Perkumpulan di rumah sahabat Arqam abil Arqam merupakan usaha yang dilakukan oleh Rasulullah untuk mengumpulkan kekuatan dan dukungan dari masyarakat Makkah yang beriman kepada Beliau disamping dukungan moril dan materil dari sang istri Sayyidatuna Khadijah dan Abu Thalib sang paman. 

Namun ujian bagi sang Rasul tidak berhenti sampai disitu, disaat gangguan dan tekanan kaum kafir Quraisy sedang meningkat, Rasulullah kembali diuji dengan meninggalnya sang istri Sayyidatuna Kadijah binti Khuwailid diikuti dengan meninggalnya sang paman, Abu Thallib pada tahun yang sama, tepatnya 3 tahun sebelum peristiwa hijrah ke kota Madinah. Setelah berita meniggalnya dua orang yang selama ini mencegah orang kafir mengganggu Rasulullah, maka orang kafir Quraisy pun dengan kegarangannya semakin berani mengganggu Rasulullah sampai melempari Rasul dengan tanah dan siksaan lainnya kepada pribadi Rasululah dan anak-anaknya. Melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan dan mengancam keselamatan umat islam, Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Tha’if dengan harapan ada sambutan baik untuk ajaran islam disana. Namun semua yang diharap tak seperti dugaan, masyarakat Tha’if bukan menyambut Rasulullah dengan suguhan layaknya seorang tamu mulia, melainkan disambut dengan lemparan batu hingga melukai Rasulullah Saw,. 

Usaha dan upaya Rasulullah tidak berbuah manis di Tha’if sehingga Rasulullah memutuskan untuk kembali ke Makkah, sembari menyerahkan segala urusan kepada Allah dalam ungkapan berikut : 

اللهم اليك اشكوا ضعفتي وقلة حيلتي وهواني على الناس يا ارحم الراحمين, انت رب المستضعفين وانت ربي, الى من تكلني ؟ الي بعيد يتجهمني ام الى عدو ملكته امري ؟ ان لم يكن بك علي غضب فلا ابالي, ولكن عافيتك اوسع لي, اعوذ بنور وجهك الذي اشترقت له الظلمات وصلح عليه امر الدنيا والاخرة, ان تنزل بي غضبك او تحل علي سخطك, لك العتبى حتى ترضى ولا حول ولا قوة الا بالله
...
Artinya :
Ya Allah, hanya kepadamu aku serahkan kelemahan kekuatanku, dan sedikitnya upayaku dan hinanya aku dimata manusia wahai tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, engkau adalah tuhannya orang-orang yang lemah dan engkau adalah tuhanku, kepada siapakah aku ini engkau serahkan/utus ? apakah untuk orang yang jauh (Tha’if) yang aku minta perlindungan kepada mereka namun permusuhan yang aku dapatkan, atau untuk musuh-musuhku yang ada di makkah ini yang setiap urusanku sudah mereka kuasai ? asalkan engkau tidak murka kepadaku, aku tidak perduli, akan tetapi rahmatmu sangat luas bagiku, aku berlindung kepada nur Mu yang dapat menembus kegelapan (dari gelapnya hati manusia) untuk kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, asalkan engkau tidak murka kepadaku, aku berserah diri kepadamu, yang aku tuntut adalah keridha’an Mu, karena aku tidak akan dapat mendatangkan kepada mereka manfaat tanpa seizinMu, dan mereka tidak dapat mendatangkan mudharat kepadaku tanpa seizin Mu. 

Do’a Rasulullah diatas menunjukkan besarnya tawakkal Rasulullah kepada Allah dengan segala penyerahan diri setelah upaya dan usaha yang dilakukan, kalimat yang menarik setelah berbagai ujian yang menimpa Rasulullah ialah ucapan “…Asalkan Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak perduli, namun rahmatmu sungguh sangat luas kepadaku, Aku berlindung dengan Nur mu yang akan menerangi kegelapan hati manusia…”. Ini menunjukkan betapa besar harap Rasulullah dan penyerahan yang sesungguhnya kehadirat Allah Swt., untuk memberikan petunjuk dari berbagai ujian yang dialami Rasulullah Saw,. 

Do’a ini sontak dijawab Allah dengan terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw., yang terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa besar yang menunjukkan betapa Allah mengasihi Nabi Muhammad Saw., dengan menunjukkan sebagian dari kekuasaan Allah yang luar biasa dan tidak dapat dilogikakan oleh manusia. Hal ini juga menunjukkan betapa manusia bergantung pada karunia Allah, tidak ada usaha dan upaya yang memberikan manfaat kecuali atas izin dan kemurahan Allah Swt,. Sehingga setiap usaha yang dilaksanakan baik keterkaitannya dengan urusan dunia maupun akhirat harus diiringi dengan penyerahan diri (Tawakkal) kepada Allah Swt., sebagai wujud penghambaan yang sebenar-benarnya. 

2. Pembahasan Isra’ Menurut Al-Qur’an 
 
Para ulama tafsir telah menjelaskan dengan luas mengenai makna-makna peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw,. Hal ini merupakan interpretasi dari pemahaman terhadap ayat pertama surat al-Isra’ sebagai berikut : 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya : 
Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami tunjukkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran kami, sesungguhnya Dia maka mendengar lagi maha melihat.

Surat al-Isra’ adalah surat makiyyah yang pada dasarnya berisi nilai-nilai ketauhidan yang urgensinya seperti urgensi surat-surat makiyyah lainnya yang berisi tentang dasar-dasar aqidah mengenai Keesaan Allah Swt., Risalah kenabian dan hari kebangkitan. Namun pada ayat pertama ini konsentrasi pembahasan ialah mengenai keistimewaan (Khususiyah) Nabi Muhammad Saw., sebagai Rasul terakhir. Ayat ini juga menunjukkan kebenaran ajaran Rasulullah Saw. 

Hal yang paling menonjol didalam ayat ini ialah peristiwa Isra’ Mi’raj yang merupakan mu’jizat Nabi Muhammad Saw,. Dan juga sebagai petunjuk ketidakmampuan akal logika manusia memahami seluruh kekuasaan dan perbuatan Allah Swt., terutama dalam membuat perkara-perkara yang Ajaib dan unik. 

Kalimat tasbih yang terdapat didalam ayat ini merupakan kalimat bermakna tanzih atau pernyataan kemahasucian Allah dari segala kekurangan dan keburukan yang mana sifat ini terkhusus hanya untuk Allah Swt,. Kalimat أَسْرَى memiliki makna “Memperjalankan” atau setara dengan makna “انتقل” yakni memindahkan Nabi Muhammad pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Secara logika, bagaimana mungkin perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dapat dilakukan hanya dalam waktu beberapa saat dimalam itu, padahal perjalanan normal membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan unta. Inilah yang dituding sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj Nabi hanya terjadi didalam mimpi. Padahal mereka keliru memahami makna lafaz ayat “Memperjalankan” bukan “Berjalan” dengan sendirinya. Sehingga dapat difahami bahwa Nabi Muhammad diperjalankan oleh Allah Swt., pada malam itu, bukan berjalan sendiri. 

Disamping itu, ketika peristiwa ini diceritakan oleh Rasulullah kepada kaum kafir Quraisy, mereka langsung menuding bahwa Nabi Muhammad sudah gila, dan berbagai tudingan lain. Seandainya peristiwa tersebut terjadi didalam mimpi atau Nabi berkata “Aku Bermimpi melakukan Isra’ mi’raj” maka sudah pasti kaum kafir tidak akan menuding yang tidak-tidak, sebab siapa yang bisa menolak mimpi ?

Inilah masalahnya, Allah yang maha suci telah menyediakan tentara untuk membela agama islam bahkan terkadang tentara yang dijadikan bukti itu tidak jarang melalui sebab orang kafir. Seperti contoh pendustaan orang kafir terhadap pengakuan Rasulullah, sebab kalau itu mimpi untuk apa didustakan orang kaafir pada masa itu. 

Mereka juga sering menggunakan dalil firman Allah Q.s al-Isra 60 sebagai berikut : 

وَمَاجَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ

Artinya :
 ...dan tidaklah kami jadikan apa yang engkau lihat melainkan sebagai ujian bagi manusia
 
Menurut mereka, kalimat “Ru’ya” dalam ayat ini berarti pengelihatan didalam mimpi, bukan pengelihatan dalam sadar, sebab pengelihatan dalam sadar biasanya menggunakan kalimat masdar yakni “Ru’yatan”. Padahal, secara nalar jika dibaca kembali makna ayat ini, bagaimana mungkin mimpi bisa dijadikan ujian bagi manusia ? sedangkan lanjutan ayat menerangkan sebaagian mereka membenarkan dan sebagian lagi mendustakan. Apakah mungkin masih ada yang mendustakan mimpi ? seperti orang yang mengatakan “Tadi malam aku mimpi pergi ke London”, maka tidak akan ada orang yang mendustakan. Disisi lain, jika mereka menyatakan biasanya pengelihatan dalam sadar menggunakan kalimat “Ru’yatan” apakah perkataan al-Mutanabbi seorang ahli syair arab terbaik yang menggunakan “ru’ya” sebagai pengelihatan dengan kedua mata berikut ini dapat disalahkan : 

ورؤياك في العينين احلى من الغمض

Artinya : 
dan melihatmu dengan kedua mataku lebih nikmat daripada memejamkan mata…

Kemudian kalimat ليلا menggunakan lafaz tankir (Isim Nakirah) yang secara bahasa bermakna تقليل الساعة yakni sedikitnya waktu yang berlangsung selama peristiwa agung tersebut. Kalimat “lailan” ini bukan hanya serta merta memberikan isyarat bahwa Allah terikat waktu tertentu dalam memperjalankan Nabi Muhammad, namun hal ini memiliki makna betapa maha kuasanya Allah dalam memperjalankan Nabi Muhammad Saw., dan waktu yang sedikit itu tujuannya agar manusia memahami berapa lama waktu peristiwa itu,dan sebagai bukti bahwa pada malam hari ada waktu disaat Allah menurunkan rahmatnya kepada orang-orang yang beribadah kepada Allah, sebab Allah maha suci dari keterikatan terhadap waktu tertentu. 

Dengan demikian, hal ini menunjukkan keagungan peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah hanya dalam tempo beberapa menit dan diamali dengan ruh dan jasad bukan didalam mimpi.

3. Peraturan Yang Berlaku Bagi Sang Pencipta
 
Suatu pekerjaan yang dilakukan selalu menurut ukuran yang mengerjakan, artinya, jika manusia yang melakukan suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut pasti masih dapat diterima oleh akal manusia lainnya. Namun, jika yang melakukan suatu pekerjaan adalah Allah Swt,. Maka tidak bisa sepenuhnya dinalar dengan logika manusia, melainkan harus diimani dan diyakini dengan keyakinan yang kuat tanpa ragu-ragu.
Umpamanya firman Allah سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِyang bermakna “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya”. Apa yang dilakukan oleh Allah ini tidak bisa ditimbang dengan logika fikir manusia yang kadarnya sangat terbatas, maka harus ditimbang dengan keyakinan dan ketauhidan yang benar. Sebuah perbandingan logika agaknya dapat menggunakan contoh berikut : 

“kemarin saya membawa anak saya yang masih balita mendaki gunung sibayak yang hanya memakan waktu 2 jam perjalanan kaki”
maka apakah cocok jika muncul pertanyaan “Bagaimana mungkin anak balita bisa mendaki gunung hanya dengan 2 jam perjalanan ?”. Begitu juga dengan peristiwa Isra’ Mi’raj menggunakan kalimat “Memperjalankan” bukan kalimat “Nabi Muhammad Berjalan sendiri”. 

4. Mengapa Disebutkan Lafaz Bi’abdihi Bukan Birasulihi Atau Bimuhammad 

Allah Swt,. Menggunakan lafaz ‘Abdun pada ayat tersebut bukan menggunakan kalimat “Rasulun” atau “Muhammad” disebabkan kalimat ‘abdun merupakan refleksi dari sebuah penghambaan yang mendalam sehingga penghambaan tersebut menjadi pintu datangnya Rahmat Allah Swt,. sebab Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk "Men“hamba" kepada Allah Swt,. 

Disamping itu, kalimat ‘Abdun ini juga menjadi bukti bahwa Rasulullah melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad, sebab tidak ada orang arab yang menggunakan kalimat ‘Abdun untuk menunjukkan salah satunya, yakni Ruh atau Jasad. 

5. Mengapa Peristiwa Isra’ Diceritakan Secara Explisit Didalam Al-Qur’an Sementara Mi’raj Tidak Demikian 
 
Peristiwa yang memungkinkan Rasul untuk menerangkan kepada penduduk bumi melalui dalil-dali bendawi oleh Alqur’an disebutkan secara tegas, sehingga tidak sulit untuk disampaikan kepada orang lain. Namunperistiwa yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia tidak disebutkan dengan tegas, inilah yang dimaksud ujian bagi keimanan manusia, maka jika ia beriman sudah barang tentu akan mengatakan : 

- Kalau Tuhan mampu menciptakan keadaan luar biasa terhadap peristiwa di bumi, maka akupun meyakini bahwa Dia mampu menciptakan segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh logikaku. 

- Adakah orang yang mengatakan Allah kesulitan untuk menciptakan keadaan luar biasa terhadap hukum alam yang berlaku bagi langit dan tidak kesulitan menciptakan keadaan luar biasa terhadap hukum alam yang berlaku bagi bumi ? 

- Bukankah mu’jizat yang diberikan Allah kepada para Rasul merupakan sesuatu yang luar biasayang tidak dapat dicapai oleh akal manusia ?
Berbeda halnya jika mereka tidak meyakini perkataan Rasulullah, maka sudah barang tentu akan muncul berbagai dalih pendustaan terhadap perkataan Rasulullah Saw,.

Selasa, 17 Mei 2016

Sekilas Hukum Bertawassul


HUKUM BERTAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD SEBELUM DILAHIRKAN STUDI KRITIK HADIS RIWAYAT ABDURRAHMAN BIN ZAID BIN ASLAM DIDALAM MUSTADRAK IMAM AL-HAKIM

A. Pendahuluan
Setiap amal ibadah yang dilaksanakan oleh seorang muslim, sudah semestinya memiliki dasar hukum yang kuat dan terpercaya sebagai landasan dari amal tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari diri dari kesalahan-kesalahan dalam tatacara melakukan suatu amal ibadah.
Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa dasar hukum islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas disamping dalil-dalil yang mukhtalaf. Dan para ulama telah menjelaskan bagaimana metode dan cara pengambilan hukum dari nash atau dalil hukum sehingga menghasilkan produk-produk hukum yang baik.
Mengenai tatacara pengambilan dan penggunaan dalil hukum tersebut para ulama berbeda pendapat, hal ini disebabkan proses pengambilan hukum dari dalil merupakan ijtihad yang sangat besar didalamnya peluang berbeda pendapat. Terlepas dari perbedaan tersebut, agaknya umat islam diperbolehkan memilih pendapat atau hasil ijtihad yang memenuhi persyaratan sebagai pondasi dan dasar hukum ibadah yang dilakukan. Umpamanya perbedaan pandangan ulama hadis mengenai kedudukan hadis riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, mengenai tawassul yang dilakukan oleh Nabi Adam as., kepada Nabi Muhammad Saw., padahal ketika itu Nabi Muhamad Saw., belum dilahirkan. para ulama hadis ada yang menilai hadis ini sahih, hasan, da’if bahkan maudu’. Oleh sebab itu didalam makalah ini penulis ingin membuka cakrawala berfikir dengan tujuan mencari syahid-syahid dari hadis tersebut sehingga ditemukan alasan mengapa hadis tersebut digunakan oleh para ulama sebagai dalil dan mengapa hadis tersebut dimuat oleh para ulama didalam kitab-kitab hadis yang derajatnya sahih.

B. Defenisi Tawassul
Tawassul secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kalimat توسل- يتوسل- توسلا yang memiliki makna “Perantara”. Sedangkan wasilah (الوسيلة) ialah : segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri dengan sesuatu. Adapun secara terminologi, tawassul ialah segala sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepadaNya. Para ulama telah sepakat mengenai kebolehan bertawassul dengan perantara amal salih, asma’ dan sifat Allah, dan lainnya. Namun para ulama berbeda pendapat ketika tawassul itu menggunakan perantara makhluk seperti Nabi, Wali, dan orang–orang salih.
Ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi telah banyak menerangkan seputar masalah tawassul ini, diantaranya yakni sebagaimana tertera didalam Q.s Al-Maidah ayat 35 sebagai berikut :

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِة لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(المائدة :35)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.s Al-Maidah : 5: 35)

Kalimat wasilah menurut para ulama tafsir memiliki banyak makna yang saling berkaitan, imam Ibnu Kasir didalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat ini ialah al-qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt,. Tidak ada ulama yang memperselisihkan makna wasilah ini, namun hanya berbeda pendapat mengenai sarana dan jalan yang digunakan dalam berwasilah kepadaAllah Swt,. Demikian pula dapat dilihat bahwa ada sebagian ulama yang membatasi wasilah pada hal-hal yang berkaitan dengan amal saja, dan ada yang memaknainya dengan makna yang lebih luas.
Imam ‘Ali al-Sabuni menjelaskan bahwa makna wasilah dalam ayat tersebut ialah sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, berupa keta’atan dan amal salih . Hal ini sebagai refleksi dari rasa takut terhadap azab Allah Swt,. dalam hal ini Qatadah berkata “Dekatkanlah dirimu kepada Allah Swt, dengan perantara keta’atan dan amal-amal yang diridhai Allah Swt,.”

C. Landasan Hukum Tawassul
Bertawassul atau mengambil perantara dalam berdo’a adalah salah satu amal yang dianjurkan oleh agama, baik didalam al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sebagaimana yang terdapat didalam al-Qur’an sebagai berikut :
- Q.s Al-Maidah ayat 35
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة : 35)
Artinya: Hai orang orang yang beriman, betaqwalah kamu kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.

- Q.s Al Isra’ ayat 57
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Artinya : Orang –orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepaa Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.

Syaikh ‘Ali Jum’ah menyatakan bahwa ayat pertama berisi perintah kepada orang-orang beriman utuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang lazim digunakan, dan perintah untuk mengambil perantara (wasilah) kepada Nabi Muhammad Saw., dalam berdo’a, sebab tawassul merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,. Adapun ayat kedua menjelaskan gambaran yang diberikan Allah Swt., bahwa ada orang orang yang memohon kepada Allah dengan cara bertawassul dalam berdo’a. hal ini menunjukkan bahwa tawassul dalam berdo’a, baik dengan perantara makhluk, maupun perantara lainnya dibenarkan dalam al-Qur’an.

Disamping itu Rasulullah Saw., juga bersabda :

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ البَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهْ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ (رواه الترمزي

Artinya: Dari ‘Usman bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang mengalami kebutaan datang kepada Rasulullah Saw., seraya berkata : “Do’akanlah kepada Allah Swt., agar aku disembuhkan”. Rasulullah bersabda, “jika engkau mau, aku do’akan, namun jika engkau mau, buta akan lebih baik bagimu” lalu ia berkata Do’akan saja ya Rasulullah. Lalu Rasulullah menyuruhnya mengambil air wudhu dengan sempurna, lalu membaca do’a “ya Allah sesungguhnya aku meminta dan menghadapkan wajah kepadamu dengan perantara Nabi Muhammad Saw., sungguh aku meminta kepada Allah Swt., dengan perantra Nabi Muhammad Saw., agar Dikabukan hajatku, ya Allah sembuhkanlah aku..” (HR.Turmuzi)

Hadis ini juga tidak mengandung arti bahwa do’a tersebut khusus hanya untuk ‘Usman bin Hunaif, dan tidak pula terbatas pengamalannya ketika Rasulullah masih hidup, sebab berdasarkan tinjauan dan pandangan hukum syari’at lafadz do’a ini bersifat mutlaq dan umum sehingga berlaku untuk umum dan tidak dibatasi waktu. Berdasarkan kedua dalil hukum diatas, telah menunjukkan legalitas tawassul baik secara umum maupun khusus, melalui perantara amal, para wali, maupun kepada Nabi Muhammad Saw., ketika masih hidup ataupun setelah meninggal dunia sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., dan dijelaskan oleh para Ulama mengenai hadis diatas.

D. Pembagian Tawassul
Untuk memahami dengan jelas bagaimana pembagian tawassul yang dijelaskan oleh para ulama sebagai refleksi dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi mengenai tawassul, maka akan lebih baik jika pembagian tawassul tersebut diuraikan sebagai berikut: 

a. Bertawassul dengan perantara amal salih
Bertawassul kepada amal salih adalah amalan yang disepakati oleh seluruh ulama akan kebolehannya, hal ini sebagaimana diungkapkan didalam Q.s Al-Baqarah ayat 45 sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya : Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya hal itu sangat sulit kecuali bagi orang-orang yang khusu’ (Q.s Al-Baqarah 45). 

Ayat diatas secara langsung menunjukkan bahwa pada hakikatnya ibadah yang dilaksanakan seperti salah dan lain-lain merupakan perantara yang digunakan untuk mendapatkan ridho Allah Swt,.

b. Bertawassul dengan perantara makhluk
Bertawassul dengan perantara makhluk sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan amal yang biasa dilaksanakan umat muslim dunia sebagai refleksi dari ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 35. Adapun makna dari kalimat Wasilah didalam ayat tersebut sudah barang tentu bermakna umum yang meliputi tawassul kepada amal salih, para Nabi dan orang-orang salih. Adapun pembagian tawassul ini secara ringkas yakni sebagai berikut: 

- Bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad Saw., dan orang salih
Bertawassul kepada Nabi Muhammad dan Orang salih secara gamblang dapat diterima kebolehannya sebagai mafhum dari Q.s al-Maidah ayat 35. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki sebagai berikut:
ولفظ الوسيلة عام في الاية كما ترى. فهو شامل للتوسل بالذوات الفاضلة من الانبياء والصالحين في الحياة وبعد الممات...
Artinya: Dan lafaz was³lah itu umum berdasarkan ayat, sehingga meliputi tawassul kepada zat (diri) para Nabi atau orang £alih ketika hidup maupun setelah wafat.

Disamping itu, beliau juga mengungkapkan pendapat secara lugas mengenai kebolehan bertawassul kepada makhluk yakni : 

ولا شك ان التوسل باالصالحين انما يتوسل بهم من حيث انهم صالحون, فيرجع الامر الى الاعمال الصالحة المتفق على جواز التوسل بها.
Artinya: Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa bertawassul dengan orang ¡alih dilakukan disebabkan mereka merupakan orang yang salih , maka sama saja hal nya dengan bertawassul kepada amal salih yang disepakati kebolehannya. 

- Bertawassul dengan perantara Haq Rasulullah Saw dan Orang salih
Bertawassul dengan perantara haq Rasulullah maksudnya ialah bertawassul dengan perantara kebenaran, keagungan dan kedudukan Rasulullah. Tawassul jenis ini biasanya dengan menggunakan lafaz “بحق محمد” dan seterusnya. adapun dasar dari tawassul jenis ini selain hadis yang diriwayatkan oleh Usman bin Hunaif, juga berlandaskan hadis berikut:
...دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فاضْطَجَعَ فِيهِ، وَقَالَ: «اللَّهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، اغْفِرْ لِأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ، ولَقِّنْهَا حُجَّتَهَا، وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا، بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي، فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (رواه الطبراني)
Artinya: …Rasulullah masuk kedalam lahad Fatimah binti Asad kemudian berjongkok seraya bersabda : “Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Ia maha hidup dan tidak mati. Ampunkalah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, bimbinglah untuknya hujjahnya, luaskanlah kuburnya, dengan haq Nabimu dan Nabi-Nabi sebelum aku, sungguh Engkau maha pengasih lagi maha penyayang (H.R Tabrani).

Berdasarkan hadis diatas, Rasulullah menunjukkan adanya kebolehan bertawassul dengan perantara Haq nya dan Nabi-Nabi sebelumnya yang kala itu sudah meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tawassul ini diperkenankan meskipun pemilik haq tersebut telah meninggal dunia.

- Bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., sebelum dilahirkan.
Adapun Bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad sebelum dilahirkan akan dibahas pada sub-bab berikut ini.

E. Bertawassul kepada Nabi Muhammad Sebelum Dilahirkan
Secara umum, terdapat beberapa dalil hadits Nabi Muhammad Saw., yang menerangkan tawassul yang dilakukan oleh Nabi Adam as., kepada Nabi Muhammad ketika beliau diturunkan dari surga padahal ketika itu Nabi Muhammad Saw., belum dilahirkan. Jika ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw., sebelumnya telah menerangkan dengan jelas akan kebolehan bertawassul kepada Nabi Muhammad ketika masih hidup dan setelah meninggal dunia, lalu bagaimana hukum bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., sebelum beliau dilahirkan kemuka bumi ? hal ini sebagaimana diungkapkan didalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam didalam kitab Mustadrak karangan imam al-Hakim sebagai berikut :
قال الحاكم حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَنْصُورٍ الْعَدْلُ، ثنا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، ثنا أَبُو الْحَارِثِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُسْلِمٍ الْفِهْرِيُّ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْلَمَةَ، أَنْبَأَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ اللَّهُ: يَا آدَمُ، وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَىَ قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوبًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللَّهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأُحِبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ(رواه الحاكم)
Artinya : Berkata Al-Hakim menceritakan kepada kami abu Sa’id Umar bin Muhammad bin Mansur al-‘Adl, menceritakan kepada kami Abu Hasan bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali, menceritakan kepada kami Abu al-Harits Abdillah bin Muslim al-Fihriy, menceritakan kepada kami isma’il bin Maslamah, memberitakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Umar bin Khattab r.a, berkata : Rasulullah Saw., bersabda : manakala Sayyidina melakukan kesalahan ia berkata : Wahai Tuhanku, aku meminta kepadamu dengan perantara Muhammad Rasulullah Saw., agar Engkau mengampuniku. Lalu Allah berfirman : wahai Adam, bagaimana engkau bisa mengenal Muhammad sementara ia belum diciptakan ? wahai Tuhan, tatkala engkau menciptakanku dengan kekuasaan Mu, serta engkau tiupkan ruh kepadaku, seketika itu aku melihat ke ‘arsy tertulis “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah”. Maka aku mengetahui bahwa tidak akan mungkin Engkau menyandingkan nama seseorang dengan namamu kecuali ia adalah makhluk yang paling engkau kasihi. Lalu Allah berfirman : Engkau benar hai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Kukasihi, berdo’alah dengan perantara Muhammad maka pasti engkau Kuampuni, kalaulah bukan karena Muhammad, maka tidaklah aku menciptakan engkau. (HR.al-Hakim)

a. Kedudukan Hadis
Imam al-Hakim menjelaskan bahwa hadis ini dinilai sahih berdasarkan sanadnya, dan hadis ini merupakan hadis pertama yang desebutkan kepada Abd Rahman bin Zaid bin Aslam didalam Mustadrak al-Hakim. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki mengemukakan alasan pensahihan hadis ini dengan pertimbangan sebagai berikut : 

1. Setiap hadis yang sanadnya sahih sudah barang tentu matannya juga sahih,
2. Semua hadis yang dimuat didalam kitab al-Mustadrak sepenuhnya sahih dengan persyaratan dari imam Bukhari dan Muslim,
3. Bahwa para ulama dari kalangan ahli hadis banyak yang menukil hadis dari imam al-Hakim seperti al-Imam al-Qas¯all±ni, az-Zarq±ni, dan imam as-Subki. Dan mereka menyertakan penilaian imam al-Hakim didalam kitab mereka dengan ungkapan “disahihkan oleh al-Hakim” inilah jalan yang dipakai sebagian besar ulama sehingga penilaian imam al-Hakim terhadap suatu hadis dapat diperpegangi kebenarannya berdasarkan pengakuan para ulama hadis terhadap penilaian imam al-Hakim.
Adapun Al-Zahabi menilai bahwa hadis ini maudu’ sebagaimana yang diungkapkan didalam talkhis terhadap kitab mustadrak karangan imam al-Hakim. Al-Ajuri juga meriwayatkan Hadis yang semakna dengan hadis diatas didalam kitab al-Syari’ah, namun hadis dengan sanad ini dinilai mauquf. Dan ada pula ulama hadis yang menilai bahwa hadis ini daif sebagaimana yang diungkapkan oleh imam al-Baihaqi disebabkan menyendirinya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. 

b. Pembelaan Ulama Terhadap Hadis Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh menjelaskan takhrij hadis ini sebagai jawaban dari komentar para ulama hadis yang melemahkan hadis ini. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap suatu hadis merupakan hasil ijtihad dari masing-masing ulama hadis, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam memang menuai banyak kritik pedas dari para ulama hadits, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada syahid lain yang menguatkan hadis tersebut, diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Thabrani didalam kitab Mu’jam al-Saghir sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ أَسْلَمَ الصَّدَفِيُّ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْمَدَنِيُّ الْفِهْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْمَدَنِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ , فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلَّا غَفَرْتَ لِي , فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ , «وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ؟» فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ، لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ، فَإِذَا فِيهِ مَكْتُوبٌ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا مِمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ , فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ: «يَا آدَمُ , إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ , وَإِنَّ أُمَّتَهُ آخِرُ الْأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ , وَلَوْلَاهُ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ (رواه الطبراني).
Artinya : menceritakan kepada kami Muhammad bin Daud bin Aslam al-Sadafi al-Misri, menceritakan kepada kami Ahmad bin Said al-Madani al-Fihri, menceritakan kepada kami Abdullah bin Isma’il al-Madanidari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ayahnya, dari Kakeknya, dari Umar bin Khattab ra. Rasulullah Saw., bersabda : “ manakala Nabi Adam merasa berdosa disebabkan pelanggaran yang dilakukannya, ketika itu beliau mendongak dan melihat ke ‘Arsy seraya berdo’a : tidaklah aku meminta kepadaMu dengan perantara Muhammad, melainkan Engkau ampuni aku” maka Allah berfirman : apa dan siapakah Muhammad ? maka Nabi Adam menjawab : maha suci engkau dengan namamu yang mulia, manakala Engkau telah menciptakan aku, klihat di ‘arsy tertulis “tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” maka seketika itu aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan meletakkan nama seseorang bersamaan dengan namaMu melainkan orang yang paling mulia disisiMu. Lalu Allah berfirman, wahai Adam, sesungguhnya dia (Muhammad) adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, dan umatnya adalah umat terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karenanya, maka tidaklah aku menciptakanmu. (HR.Tabrani)

Mengenai penilaian terhadap hadis ini, imam al-Tabrani berkomentar sebagai berikut :
لَا يُرْوَى عَنْ عُمَرَ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ تَفَرَّدَ بِهِ أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ
Artinya : Tidaklah diriwayatkan dari umar kecuali dengan sanad ini, namun hanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Sa’id. 

Syaikh Sa’id Mamduh mengatakan bahwa maksud perkataan imam thabrani mengenai Ahmad bin Sa’id tidaklah menunjukkan bahwa Ahmad bin Said merupakan perawi yang buruk, namun hal ini hanya disebabkan imam Thabrani tidak mengenal siapa Ahmad bin Sa’id. Hal ini sebagaiman diterangkan oleh al-Haisami didalam kitab Majma’ al-Zawaid ketika menukil perkataan al-Tabrani didalam al-Ausath dan al-Saghir dengan ungkapan “aku tidak mengenalnya”.
Dengan demikian, berdasarkan keterangan diatas, Ahmad bin Sa’id bukanlah perawi yang buruk, namun hanya biografinya saja yang tidak diketahui. Dengan demikian jika disandingkan kedua hadis diatas, maka titik masalah hanya pada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang dinilai sebagai perawi yang daif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Meskipun demikian, didalam al-Kamil dijelaskan mengenai periwayatan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebagai berikut :
وَعَبد الرحمن بن زيد بن أسلم له أحاديث حسان
Artinya: Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam juga pernah meriwayatkan hadits dengan kualitas baik.
Imam al-Hakim juga di akhir kitabnya menyatakan bahwa “dan seluruh perawi hadits yang telah aku sebutkan didalam kitab ini, telah jelas bagiku jarh nya, namun setiap rawi yang dilemahkan (di jarh) tidak menutup kemungkinan masih bisa diikuti periwayatannya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan didalam al-Fatawa bahwa hadis yang kedua menguatkan kedudukan hadis yang pertama dengan ungkapan:
…فَهَذَا الْحَدِيثُ يُؤَيِّدُ الَّذِي قَبْلَهُ وَهُمَا كَالتَّفْسِيرِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
Artinya: … dan hadis ini menguatkan hadis sebelumnya, dan keduanya seperti penafsiran terhadap hadis yang sahih. 

Ibnu Taimiyah lebih lanjut menyatakan pembelaan terhadap hadis diatas dengan mengungkapkan pendapatnya bahwa bertawassul kepada Nabi Muhammad sebelum dilahirkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Adam as., adalah berdasarkan pengetahuan Nabi Adam as ketika itu.
Nabi Muhammad adalah penghulu sekalian alam, dan merupakan seorang yang paling dicintai oleh Allah Swt., hal ini sebagaimana ungkapan “kalaulah bukan karena Muhammad maka tidak akan Kuciptakan engkau”. Allah Swt., telah mentakdirkan hal tersebut, dan tidak mungkin Nabi Adam yang ma’sum melakukan kesalahan apatah lagi kesyirikan. Inilah bukti bahwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam diperbolehkan dan diperkenankan sebab ketika itu juga Allah mengampunkan kealpaan Nabi Adam yang telah melanggar larangan Allah Swt,.
Tawassul yang dilakukan Nabi Adam dengan Haq atau kedudukan Nabi Muhammad tidak serta merta menunjukkan pembatalan Nabi Adam sebagai manusia dan Nabi pertama dimuka bumi. Sebab secara logika, tidak mungkin ada kedudukan namun orang yang memiliki kedudukan tidak ada. Hal ini secara tidak langsung berupaya membimbing pola fikir menuju penafian Nabi Adam sebagai manusia dan Nabi pertama. Untuk menjawab hal ini, agaknya dapat ditinjau dari kajian Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut :
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ...
Artinya : dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya... (Q.s Al-Baqarah 31)

Berdasarkan ayat ini, dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa Allah telah mengajarkan kepada Nabi Adam mengenai Nabi Muhammad, baik namanya, kedudukannya, dan kemuliaannya. Adapun cara yang digunakan Allah untuk mengajarkan kemuliaan dan kedudukan Nabi Muhammad dapat dilihat sebagaimana hadis diatas, yakni dengan menyandingkan nama Nabi Muhammad disamping Nama Allah Swt,. hal ini bertujuan memberikan berita kepada Nabi Adam bahwa Nabi Muhammad telah ditaqdirkan kelak akan memiliki kedudukan tinggi sebagai Rasul terakhir dari keturunan Nabi Adam. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ بُدَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَجْرِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَتَى كُتِبْتَ نَبِيًّا؟ قَالَ: " وآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ (رواه احمد)
Artinya : Menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, Menceritakan kepada kami Mansur bin Sa’di, dari Budail, dari Abdullah bin Syaqiq, dari Maisarah al-Fajr berkata : Aku bertanya, Wahai Rasulullah, sejak kapan engkau menjadi Nabi ? Rasulullah bersabda: Ketika Adam diantara Ruh dan Jasad. (H.R. Ahmad). 

Hadis diatas menunjukkan bahwa Allah telah menunjukkan sebagian dari kekuasaanNya, yakni dengan menunjukkan kepada Nabi Adam bahwa kelak akan lahir dari keturunan Nabi Adam seorang yang mulia, seorang Rasul yang kehadirannya telah dinantikan seluruh alam. Maka dengan pengetahuan yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam, tidaklah mengherankan apabila Nabi Adam akan bertawassul dengan perantara Nabi Muhammad yang ia ketahui kemuliaan dan keagungannya.
Jika difahami dengan makna lain, maka hadis mengenai tawassul Nabi Adam kepada Nabi muhammad bisa difahami bahwa yang ditawassuli ialah kedudukan atau kemuliaan Nabi Muhammad yang telah dipersiapkan oleh Allah Swt,. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa bertawassul dengan haq atau jahh seseorang yang mulia terutama Rasulullah dibenarkan dan dilegalitaskan oleh Alqur’an dan Hadis.
Dengan demikian, dapat difahami dengan jelas bahwa bertawassul dengan jahh dan kedudukan para Nabi, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggal dunia diperbolehkan dengan landasan dalil-dalil yang kuat. Demikian pula mengenai peristiwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam kepada Nabi Muhammad sebelum diciptakan adalah benar terjadi sesuai dengan dalil yang kuat serta alasan logis yang dapat diterima sebab kala itu sudah barang tentu Nabi Adam mengetahui siapa dan apa kedudukan Nabi Muhammad Saw,.

C. Kesimpulan
Tawassul ialah salah satu cara yang digunakan dalam berdo’a yang dilegislasi oleh dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw., disertai dengan kekuatan hujjah yang tidak diragukan lagi. Adapun dalil-dalil tersebut diantaranya ialah Q.s al-Maidah ayat 35, Hadis Riwayat Usman bin Hunaif, dan hadis riwayat Abdurrahman bin Aslam serta dalil-dalil lainnya yang bersangkutan. Secara umum, tawassul dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yakni tawassul yang dilakukan dengan perantara amal salih, Nabi dan Rasul, orang-orang salih dan bertawassul dengan haq, jahh atau kedudukan Nabi dan Rasul. Adapun hukum bertawassul kepada Nabi Muhammad sebelum diciptakan, maka hal ini diperbolehkan oleh para ulama hadis terkemuka. Hal ini terbukti dengan dicantumkannya hadis yang menerangkan hal tersebut didalam kitab-kitab hadis dan fatwa. Secara objektif, dapat dipandang bahwa Tawassul yang dilakukan Nabi Adam bisa dimaknai sebagai tawassul yang dilakukan dengan perantara diri Nabi Muhammad, maupun dengan perantara kedudukan dan kemuliaan Nabi Muhammad Saw,.


Daftar Kepustakaan


Al-Baihaqi, Abu Bakar Dalail al-Nubuwah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1405 H.

Al-Hakim, Abu ‘Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdawiyah bin Nu’aim. Al-Mustadrak ‘ala al-sahihain. Lubnan : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990.

Al-Maliki, Muhammad bin ‘Alawi. Mafahim Yajibu an-Tusahhah. Kairo: Dar al-Jawami’ al-Kalim, t.th.

Al-mubarakfuri, Abu al-‘Ala Muhammad bin Abdurrahman. Tuhafah al-ahwazi. Libanon: Dar al-kutub al-‘ilmiah,t.t.h.

Al-Sabuni, Ali. Sofwah al-Tafasir. Kairo: Dar-Al-Sabuni, 1399 H

Al-Tabari, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an. t.t: Muassasah al-Risalah, 1420 M.

Al-Tabrani, Abu al-Qasim. al-Mu’jam al-Saghir. Oman: al-Maktab al-Islami,1985.

Departemen Agama. Alqur’an dan Terjemahannya . Bandung: Gema Risalah Press, 1989 M.

Hanbal, Ahmad bin. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. t.t: Muassasah al-Risalah, 2001.

Jum’ah, Ali. Al-Bayaan Lima Yusyghalu Al Azhan. Kairo: Al-Moqattam, 2005.

Kasir, Abu al-Fada’ Isma’il bin Umar. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. t.t: D±r-al-°aibah, 1999.

Maqatil, Abu Hasan. Tafsir Maqatil bin Sulaiman. Beirut: Dar al-Ihya’ wa al-Turas,1423 H.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesntren al-Munawwir, 1984.

Taimiyah, Taqiyuddin Ibnu. Majmu’ Fatawa. Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995.

JANGAN SEMBARANG TAFSIR....!!!



JANGAN SEMBARANG TAFSIR....!!!


Ayat – ayat alqur’an terdiri dari dua bagian, diantaranya adalah ayat yang muhkamat dan mutasyabihat. Hal ini senada dengan firman Allah Swt, didalam Alqur’an surat ali Imran sebagai berikut :

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلُُّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Artinya :
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (Q.s. Ali Imran 3:7)

Soal : Apakah yang dimaksud dengan ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat ? dan bagaimana contoh nya…

Jawab : Ayat Muhkamat adalah ayat yang jelas maksud dan tujuannya, misalnya seperti ayat
ليس كمثله شيء
ولم يكن له كفوا احد
Ayat –ayat Muhkamat merupakan ayat yang paling banyak didapati didalam Alqur’an. Bahkan termasuk ummul Qur’an dikategorikan sebagai ayat muhkamat. Sedangkan ayat yang Mutasyabihat merupakan ayat yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Salah satu contoh dari ayat mutasyabihat ini yaitu :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Artinya :
…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. … (Q.s. Fathir : 10)

Didalam ayat ini dijelaskan bahwa “KepadaNya lah naik perkataan-perkataan yang baik. Dan Amal yang shaleh dinaikkannya. Secara zahir, ayat ini memunculkan indikasi bahwa adanya tempat bagi Allah Swt., yakni diatas. Disebabkan adanya kalimat naik pada ayat tersebut. Hal inilah yang sering difahami oleh kalangan yang hanya menggunakan zahir ayat dalam memahami Alqur’an. Wal-‘Iyazubillah.

Soal : lalu bagaimana jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk memahami ayat mutasyabihat ?

Jawab : Dalam memahami ayat mutasyabihat, para ulama kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah memiliki dua jalan yang apat ditempuh. Adapun kedua jalan tersebut yakni dengan menemput metode ta’wil dan tafwidh. Ta’wil yakni memindahkan satu makna kepada makna yang lain jika didapati kemungkinan makna zahir ayat mutasyabihat dapat merusak esensi ayat muhkamat. Umpamanya lafaz ayat كل شيء هالك الا وجهه. Kalimat “Wajhah” didalam ayat ini merupakan ayat mutasyabihat. Sehingga secara zahir dimaknai “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Nya”. Pemahaman demikian sugguh sangat berbahaya, disebabkan beberapa faktor sebagai berikut :
1. Jika kalimat wajhah tidak dita’wil, maka menimbulkan perngkaan bahwa Allah memiliki wajah, dan defenisi wajah merupakan satu bagian yang terletak dikepala manusia yang didalamnya terdapat mata, hidung, bibir dan lain sebagainya.
2. Jika kalimat ini tidak di ta’wil maka akan menimbulkan persangkaan bahwa hanya wajah Allah saja yang tidak binasa, adapun tangan dan lainnya akan binasa. Sebab di ayat lain terdapat kalimat يد الله.
3. Jika ayat tersebut tidak di ta’wil, maka akan menimbulkan persangkaan bahwa Allah memiliki organ yang sama seperti manusia atau makhluk pada umumnya. Padahal Aqidah kita Ahlussunnah wal-Jama’ah yang berpegang pada Imam Asy’Ari dan Al-Maturidi dengan tegas menyatakan bahwa “Mustahil Allah bersifat dengan sifat yang baharu (makhluk/ berubah-ubah)”
Untuk mengantisipasi hal ini, maka para ulama melakukan ta’wil terhadap ayat tersebut. Imam Al-Bukhari seorang imam Muhadditsin menyatakan bahwa kalimat Wajhah tersebut ditakwil dengan makna Mulkah (Kekuasaan Allah).
Metode kedua yang digunakan adalah metode tafwidh. Atau membiarkan makna ayat tersebut tanpa menterjemhkan atau mentakwilkannya. Dengan keyakinan bahwa “hanya Allah lah yang maha mengetahui maksud dari ayat tersebut”. Hal ini senada dengan ungkapan imam Syafi’i sebagai berikut :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله
Artinya :
“Aku beriman kepada apa-apa yang datang dari Allah dengan Makna yang dikehendaki Allah”

Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya ada dua metode dalam memahami ayat mutasyabihat sehingga maknanya tetap sejalan dengan ayat muhkamat. Yakni bagi orang yang memiliki ilmu yang cukup dan mumpuni maka boleh menempuh metode ta’wil. Namun bagi yang tidak mumpuni boleh menggunakan metode tafwidh. Tafwidh dngan jalan tidak menterjemahkan ayat tersebut. Bukan dengan jalan menterjemahkan kemudian mengatakan “tidak tau bagaimana” dan sebagainya.

Dalam hal ini sering sekali terdapat kekeliruan dikalangan umat islam, seperti kalangan Talafi (Salafi), yang mengatakan bahwa yang melakukan ta’wil adalah orang yang tersesat, sehingga pada kalimat يد الله mereka tetap mngartikan dengan tangan Allah, namun tidak mengetahui bagaimana tangan Allah. Hal ini pula yang ditentang oleh guru kami Kyai Muhammad Syafi’i Umar Lubis dan Syaikh Muhammad Husni Ginting, beserta ulama Ahlussunnah wa-jama’ah lainnya. Sebab, mengartikan kalimat يد dengan “tangan” sudah cukup menimbulkan gambaran di fikiran manusia akan bagian tubuh yang letaknya diatas dan memiliki lima jari, sebab jika letaknya dibagian bawah, itu disebut kaki. Padahal Syaikh ‘Abdullah Al-Harari didalam syarh Aqidah at-Thahawi menyatakan bahwa :
مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذالك
Artinya :
Seketika tergambar oleh akalmu mengenai bentuk Allah, maka Allah berbeda dengan gambaran itu.

Soal : lalu bagaimana dengan ungkapan sebagian kalangan bahwa Ta’wil yang dilakukan pada ayat mutasyabihat sama halnya dengan Ta’thil yang dilarang dalam agama ?

Jawab : Perlu dipahami bahwa Ta’wil jauh berbeda dengan Ta’thil. Ta’wil adalah memindahkan makna ayat mutasyabihat agar tetap selaras dengan ayat muhkamat. Sedangkan Ta’thil yakni memindahkan makna ayat agar selaras dengan hawa nafsu atau akal fikiran. Disamping itu, tindakan ta’thil merupakan kebiasaan orang orang Mu’tazilah, atau sekarang sering dikenal dengan kalangan Liberal / Sekuler. Maka jika dilihat, kaum liberal sangan suka mengomentari ayat Alqur’an sekehendak nafsu dan akalnya. Sebab dihatinya ada keinginan memperbuat fitnah dengan mengatasnamakan Alqur’an. Inilah yang dimaksud oleh Ayat 7 Surat Ali Imran diatas. Wallahu A’lam.
Semoga bermanfa’at...

Baca Juga :http://muhammadopik.blogspot.co.id/search?updated-max=2014-11-26T16:55:00-08:00&max-results=7

DONGENG-DONGENG SETAN DAN ORANG ‘ALIM




Selamat malam, mungkin malam ini menjadi malam yang indah bagi sebagian orang, dan bisa saja menjadi malam yang tak berarti bagi yang lain. Malam ini aku mau mengangkat sebuah tema pembahasan (Baca:Cerita-cerita) tentang sesuatu yang mungkin akan bermanfaat bagi diri pribadi, dan tentunya jangan sampai menjadi bumerang buat semua orang.

Tema yang aku ambil malam ini (Baca: Siang)[1] tentang “Dongeng-Dongeng Setan dan Orang ‘Alim”. Mungkin judul ini agak kontroversial sehingga bisa buat orang lain mikir yang macem-macem tentang tulisan ini atau bahkan tentang penulis sendiri. Terlepas dari semua itu, tulisan ini hanya sebagai refleksi dari kitab Maraqil ‘Ubudiyyah karangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi(Baca: Al-Bantani)[2] yang merupakan penjabaran dari kitab Bidayatul Hidayah karangan al-Imam al-Ghazali Rahimahullah.

Kenapa aku angkat judul ini ? barangkali ada yang nanya. Mungkin diawali dari pemahaman pribadi yang apa adanya, dengan harapan tulisan ini diminati oleh orang-orang supaya pesan didalamnya bisa tersampaikan. Mungkin kalian pernah dengan istilah al-Akhsariin (Baca: orang-orang yang merugi) ? yang sepanjang hidupnya Cuma berkutat didalam tipuan dan godaan-godaan setan ?. perlu diketahui juga, bahwa setan itu bukan hanya menggoda manusia kepada hal-hal yang buruk pada zahirnya[3], malahan setan lebih sering ngegoda dengan cara mengajak orang berbuat baik namun dengan niatan yang buruk.

Ini tentang seorang penuntut ilmu, jadi dalam tulisan ini khusus membahas orang ‘alim yang ketipu dengan ilmunya sendiri akibat keseringan didongengin sama setan. Ih,, ngeri juga ya... jaman sekarang setan udah modern... profesinya jadi tukang dongeng.

Pada dasarnya, banyak orang ‘alim atau orang yang menuntut ilmu dengan mengandalkan semangatnya, maksud semangat disini bukan dalam makna umum, namun dalam pengertian “Nafsu al-Ammaarah” simpel nya kebanyakan orang yang menuntut ilmu dengan nafsu ini cenderung mengedepankan menuntut ilmu disertai dengan berbagai fadhilah-fadhilah ilmu yang dengan fadhilah atau keutamaan tersebut dia lupa, sebenarnya kenapa harus menuntut ilmu. Kesalahan terbesar kita ialah menganggap bahwa setan itu hanya berdalil dengan “asyiknya berzina, kaya dengan mencuri, atau bahagia dengan nipuin orang walau dengan topeng bantuin orang” dan lain sebagainya. Setan juga mampu berdalil dalam menggoda manusia, artinya, ketika yang digoda adalah orang ‘alim, maka setan akan memanfaatkan sebagian ilmu orang tersebut untuk membuatnya lupa dengan ilmu yang lain. Gimana bisa ? ya bisa aja, dengan cara mendongeng orang ‘alim. Inilah yang penuntut ilmu sering lupakan.

Jadi, terkadang kebanyakan orang yang menuntut ilmu bukan didasari keta’atan pada Allah, namun didasari keta’atan pada setan (disebabkan nuntut ilmu dengan nafsu ammarah bi al-Suuuk....!!!) berikut dialog nya :

Setan:

lim (Baca: Orang ‘Alim) gimana lo hari ni udah ngaji belum ?

Lim :

belum tan, ya ngapai juga gua ngaji, hidup gua gini-gini aja kok.

Setan:

ah, bego amat lo. Lo tau gak kalo orang yang nuntut ilmu itu derajatnya bisa lebih tinggi dibanding orang kayak elu sekarang ?

Lim:

Enggak, emang gimana ? siapa yang bilang gitu ?

Setan:

yeee yang bilang mah Rasulullah, ini sabdanya “Memandang orang ‘Alim lebih disukai dibandingkan beribadah puasa dan qiyamullai nya selama satu tahun.

Lim:

Wih, serius lo ?

Setan:

laaah. Lu gak percaya sama gua, ni nih, liat kitab hadis “ Keutamaan orang ‘alim dibandingkan orang ‘Abid tujuh puluh derajat yang setiap derajatnya seperti jarak antara langit dan bumi.

Lim:

terus-terus .... ?

Setan:

dan lu tau gak, “Barang siapa yang Tidak bersedih atas kematian orang ‘Alim, maka ia seperti orang munafiq, karena tidak ada musibah yang lebih besar dibandingkan kematian orang ‘alim.

Lim:

terus inti permasalahannya apa ?

Setan:

Rasul Bersabda “Amal yang sedikit namun dilakukan oleh orang ‘Alim jauh lebih baik dibandingkan amal yang banyak namun dilakukan oleh orang bodoh”.

Lim:

ya –ya ya.... gua faham sekarang, kalo gitu jadi orang ‘alim aja udah cukup hebat. Tanpa beramal pun bakal dapat kemuliaan disisi Allah. Lumayan juga dongeng lu Tan, bisa jadi bahan ceramah gua nter malam sama ibuk ibuk yasinan. Dari pada gua mesti ibadah ini dan itu, mending gua ngaji aja, ibadah seadanya juga gak jadi ukuran, soalnya gua kan orang ‘alim, semua orang bakal hormat sama gua. Hahahaha.... Makasih Tan, lo memang pendongeng yang baik (Baca: loh ??)

Inti dari dongeng diatas adalah, bahwa setan akan selalu menggoda manusia bukan hanya untuk berbuat buruk, namun ia juga akan berusaha menggoda orang-orang untuk berbuat baik pada zahirnya, namun buruk pada bathinnya. Dia akan berusaha menghembuskan angin segar akan keutamaan ilmu sehingga menyebabkan sang penuntut ilmu lupa, untuk apa ia menuntut ilmu. Sebab Rasulullah Saw., bersabda : “Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tidak kunjug bertambah hidayah didalam dirinya, maka tidak lah ia dan Allah bertambah, melainkan bertambah jauh”. Dan sabda Rasulullah : “Seburuk-buruk azab yang akan menimpa manusia dihari kiamat adalah azab bagi orang yang berilmu tapi ilmu itu tidak bermanfaat bagi dirinya”.

Maka hendaknya ketika menuntut ilmu. Niatkan suapa bisa lebih baik dalam beramal, sebab keseimbangan antara keduanya akan membawa manusia pada pintu gerbang yang dinamakan “Bidaayatul Hidaayah” atau gerbang pertama dalam perjalanan mendapatkan hidayah Allah Swt. jangan sampai ilmu yang dituntut dengan harapan mendapat ridho Allah Swt., justru malam menjadi bumerang yang membuat kita lupa apa dan mengapa kita dituntut agar menimba ilmu dengan berbagai fadhilah dan keutamaan yang dijanjikan Rasulullah. Terakhir, Dua orang yang tidak akan pernah merasa puas “Ahli Ilmu dengan ilmunya, dan ahli dunia dengan dunianya”

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat, jika ada persepsi pembaca mengatakan “Penulis juga kayak gitu” (Baca: kayak orang yang didongengin setan) maka itu benar adanya. Semoga kedepannya kita semakin baik, dan diampuni Allah semua salah dan khilaf, semakin rajin beribadah, rajin menuntut ilmu, diberi tambahan rezeki dan kesehatan. Aamiin...

#SaveHatimu

Kunjungi Juga Blog Lama Saya : muhammadopik.blogspot.com

[1] Karena nulisnya siang-siang tapi postingnya malem... hehehe

[2] Sering disebut orang dengan nama SyeilhbNawawi al-Bantani. Menurut informasinya beliau dan keluarga sempat mengalami kejaran-kejaran aliran Wahabi Makkah hingga terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal di Makkah. Keturunan beliau masih ada di Indonesia, dan beliau juga merupakan Ulama Indonesia yang karangannnya berbahasa Arab dengan pendekatan pemahaman yang bisa diterima semua kalangan. Semoga Allah membukakan jalan agar kita senantiasa dekat dengan Ulama, bisa menjadi orang ‘Alim dan tentunya bukan orang ‘Alim yang dijadiin dongeng sama setan.

[3] Sebab kalau yang zahirnya buruk, itu sudah biasa, namanya juga menggoda ya biasanya kepada hal buruk. hehehe