Jumat, 09 September 2016

LANGIT, BUMI, DAN FILOSOFI KESEIMBAGAN


Mungkin bisa dikatakan kita tidak perlu mengadakan perjalanan ke langit untuk mengenal langit, dan tidak perlu menggali bumi untuk mengetahui hakikat bumi. Sebab hakikat bukanlah sebuah hal yang fisik, namun hakikat sesuatu lebih kepada nilai terdalam dari sesuatu. Artinya, bukan hal yang mustahil bagi kita yang tidak memiliki kesempatan terbang ke langit angkasa atau menggali kedalaman permata bumi, untuk mengetahui hakikat dan merasakan betapa agungnya sebuah petunjuk yang kemudian melahirkan wisdom (hikmah). Untuk lebih mudah dalam memahami tulisan ini, mungkin akan lebih baik jika diawali dengan sebuah kemutlakan, yakni “keberpasangan” dalam kehidupan. 

Bicara mengenai langit dan bumi, maka kita akan langsung berfikir mengenai berbagai hal yang ada diantara keduanya. Siang dan malam, gelap dan terang, baik dan buruk, laki-laki dan perempuan, halus dan kasar, dosa dan pahala, serta segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi memiliki kemutlakan yang tidak bisa dihindari, yakni “Keberpasangan”. Belajar dari kajian alam semesta, tanpa disadari kita sebagai manusia telah menikmati rasa ketenangan dengan adanya keberpasangan tersebut. Bayangkan, apa yang terjadi bila di alam ini hanya ada siang ? atau hanya ada malam ? dan betapa absurd nya kehidupan jika hal itu terjadi. Maka dengan adanya pergantian yang teratur antara siang dan malam, kehidupan manusia menjadi bermakna, nah sampai disini sedikit demi sedikit hikmah itu mulai terbuka. Mungkin ini pula maksud dari firman Allah “dan segala-galanya kami ciptakan berpasang-pasangan” dan tentunya kalimat Azwaja didalam ayat tersebut memiliki orientasi “Litaskunuu Ilaihaa”, ya supaya mendapatkan ketenangan. Artinya, ketenangan itu akan didapatkan selama kedua unsur yang berpasangan melaksanakan fungsinya masing-masing dan saling melengkapi. Ini adalah salah satu refleksi dari firman Allah, “Allah lah yang menciptakan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada didalamnya dalam enam masa (Q.s 32 : 4). 

Kalimat “diantara keduanya” inilah yang mencakup berbagai aspek berpasangan yang disebutkan diatas. Tentunya semua itu diciptakan oleh Allah supaya dapat difahami esensi sebenarnya, yakni lahirnya kesadaran dalam diri kita bahwa segala sesuatu itu memiliki hikmah yang sangat berharga, sehingga ketika kita menyadari hal ini maka akan muncul rasa syukur didalam hati yang kemudian direfleksikan dengan perbuatan. Agaknya ini maksud firman Allah “Dan Dia tidak menciptakan langit dan bumi kecuali untuk tujuan yang sebenarnya (Qs. 30: 8)”. 

Belajar dari keberpasangan ini, maka alangkah bijaksananya jika filosofi langit dan bumi ini dikaitkan dengan hubungan Allah dengan Hamba. Seorang manusia dalam hal ini disebut hamba, sudah menjadi fitrahnya agar berTuhan dan mengabdi pada sang pencipta yakni Allah Swt. Namun perlu difahami terlebih dahulu bahwa hubungan filosofis langit dan bumi hanya bagian kecil yang tidak dapat secara penuh mewakili hubungan Allah dengan HambaNya. Maksudnya supaya tidak disamakan antara sifat langit secara mutlak kepada sifat Allah Swt,. 

Akhirnya, berbicara keseimbangan, maka hal tersebut akan dirasakan jika masing-masing pasangan berada pada posisi dan tugasnya. Dalam hal hubungan Allah dengan manusia, maka manusia harus menempatkan dirinya sebagai hamba yang bertugas menghidupkan cahaya kecenderungan berTuhan yang ada dalam dirinya kepada Allah Swt,. Allah telah memberi anugrah kepada manusia berupa kesempatan untuk hidup dengan berbagai aspeknya, maka sudah saatnya manusia melaksanakan tugasnya sebagai hamba dengan mendalami dan menjalin hubungan yang erat dengan Allah Swt,. Untuk apa ? untuk mendapatkan keseimbangan dan ketenangan baik di dunia dan akhirat, sebagai perwujudan dari tujuan penciptaan manusia, yakni “Menghamba kepada Allah Swt,. (Az-Zariyat 56) WAllahu Waliyyuttaufiq….

0 komentar:

Posting Komentar