Rabu, 09 Agustus 2017

Menumbuhkan Rasa Cinta Kepada Allah dan Rasulullah



Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.

أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.

اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى أما بعد...

Menumbuhkan Rasa Cinta Kepada Allah dan Rasulullah

Puji dan syukur kehadiran Allah Swt,. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, khususnya nikmat cinta kepada Allah yang mendorong kita melaksanakan seluruh perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Sholawat dan salam keharibaan junjungan alam Baginda Rasulullah Saw,. semoga dengan memperbanyak sholawat kepada beliau Allah kuatkan cinta kepadanya sehingga ringanlah segala bentuk kesusahan dalam beribadah. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Sebelum khatib memulai khutbah ini, terlebih dahulu khatib berwasiat kepada jama’ah sekalian khususnya diri pengkhatib sendiri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt,. taqwa yang dengannya bertambahlah rasa cinta akan keagungan, rahmat dan karunianya sehingga kita senantiasa tergolong hamba Allah yang bersyukur.

Hadirin sidang jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,..

Adapun judul Khutbah yang akan khatib sampaikan pada kesempatan kali ini ialah “Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt”.

Hadirin sidang jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,..

Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya menaati dan mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi berbagai laranganNya. Semua itu dilakukan semata mata sebagai perwujudan dari ketaqwaan yang akan membuahkan mahabbah/cinta yang mendalam kepada Allah Swt,.

Ciri utama seorang yang beriman adalah adanya rasa cinta kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini sebagaimana firman Allah : والذين آمنوا أشد حبا لله " “dan orang orang yang beriman itu memiliki rasa cinta yang mendalam kepada Allah”.

Secara umum bentuk nyata dari cinta kepada Allah ialah “Ridho dengan segala hal yang ditetapkan oleh Allah, baik berupa nikmat, ujian, maupun musibah yang datang menimpa”. Atau bisa juga didefenisikan “Memberikan perhatian hati sepenuhnya kepada Allah semata tanpa bergantung kepada siapapun selain Allah”. Hal ini sebagaimana ikrar tiap-tiap orang mukmin :

رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا ورسولا...

Artinya : Aku ridho Allah sebagai tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad sebagai Nabiku...

Ikrar diatas memberikan gambaran bahwa Ridho kepada Allah Sebagai Tuhan, berarti Ridho kepada segalam macam ketetapanNya. Sebab selayaknya seorang hamba mematuhi tuhannya. Bukti lain kecintaan kepada Allah adalah mencintai Rasulullah dengan mengikuti ajarannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt,.

قل إن كنتم تحبون الله فالتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم...

Katakanlah (hai muhammad), jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, maka Allah pun akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu....

Ayat diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa mencintai Rasulullah merupakan salah satu jalan yang paling baik dalam rangka menggapai mahabbah kepada Allah. Sebab Rasulullah adalah kekasih Allah, Sayyidul Basyar (Penghulu sekalian manusia).

Lalu bagaimana cara menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah ? diantaranya ialah memperbanyak membaca sholawat kepada bagianda Rasulullah Saw,. dengan memperbanyak membaca sholawat kepada baginda Nabi, maka Rasuullah akan semakin mudah mengenali kita sebagai hambanya.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam al-Ghazali didalam kitab Mukaasyafatul Qulub juz 1 hal 30. Bahwa ada seorang pemuda yang senantiasa melazimkan sholawat kepada Nabi Saw,. suatu ketika ia bermimpi bertemu Rasulullah, namun Rasulullah enggan melihat sipemuda itu. Melihat hal ini sang pemudapun heran seraya berkata : “yaa Rasulullah... apakah engkau marah kepadaku ?” lalu Rasulullah menjawab, “tidak, aku tidak marah kepadamu, namun aku tidak mengenalmu”, sontak pemuda itupun berkata “Yaa Rasulullah, bagaimana mungkin engkau tidak mengenalku sedangkan aku adalah salah seorang umatmu ?”. lalu kisah ini dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama, bahwa dekatnya Rasulullah dengan umatnya ibarat kedekatan orang tua dengan anaknya sendiri. Dan kenalnya Rasulullah dengan ummatnya tergantung seberapa banyak ummatnya bersholawat kepada Rasulullah Saw,.

Didalam sebuah hadits Rasulullah bersabda :

الصلاة علي نور الصراط ومن صلى علي يوم الجمعة ثمانين مرة غفرالله ذنوبه ثمانين عاما

Sholawat kepadaku ibaratkan lentera yang menerangi sepanjang titian shiroth. Barang siapa yang bersholawat kepadaku pada hari jum’at 80 kali, maka Allah akan ampunkan dosa-dosanya selama 80 tahun. (Ditakhrij oleh Al-Khotib dalam kitab At-Taarikh, Ibnul Jauzi didalam kitab al-‘Ilal dari Anas bin Malik).

Hadirin sidang jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,..

Jika kita bersholawat kepada Nabi 80 kali saja pada hari jum’at, maka Allah akan ampunkan dosa-dosa kita, bagaimana pula jika setiap hari kita dapat membaca sholawat kepada bagianda Nabi hingga sampai 100 bahkan seribu kali lebih setiap hari. Tentulah bibit-bibit kecintaan kepada Nabi yang telah ditanamkan oleh Rasulullah 14 abad yang lalu akan tumbuh subur layaknya pohon yang disirami, dipupuk dan dirawat setiap hari, tentu akan menghasilkan buah yang baik dan berkualitas tinggi. Demikian juga mahabbah kita kepada Rasulullah, jika dirawat setiap hari dengan sholawat, mengerjakan amalan-amalan sunnah, meningkatkan rasa rindu ingin berjumpa baginda Nabi, tentu rasa mahabbah itu akan semakin tumbuh dengan baik dan berbuah kecintaan yang mendalam kepada Allah, Tuhan sekalian manusia yang tiada hal yang lebih baik selain daripada mendapatkan ridhoNya di dunia maupun akhirat. Rasulullah Saw,. bersabda.

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله , مَتَى السَّاعَةُ قَائِمَةٌ ؟ قَالَ : وَيْلَكَ ! وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا ؟ قَالَ : مَا أَعْدَدْتُ لَهَا إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ الله وَرَسُولَهُ , قَالَ : إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Artinya : bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi, Yaa Rasulullah, kapankah kiamat ? celaka engkau.. apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi kiamat ? lalu pemuda itu berkata : Tidak ada yang aku miliki selain rasa cintaku kepada Allah dan Rasulnya, lalu Rasululah bersabda : Sesungguhnya engkau kelak akan bersama dengan orang yang engkau cintai. (HR.Bukhari dan Muslim).

Lalu apakah hakikat daripada cinta itu sendiri ? dalam hal ini Sayyidah Rabi’ah al ‘Adawiyyah mengungapkan dala sebuah sya’ir :

لو كان حبك صادقا لأطعته * إن المحب لمن أحب مطيع

Kalau sekiranya cintamu kepada Allah itu benar, pastilah engkau akan menta’atinya. Karena seyogyanya pecinta akan patuh dan ta’at pada yang ia cintai. Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwirul Qulub juz 1 hal.485 menyatakan :

لاتحصل حقيقة المحبة من العبد لربه إلا بعد سلامة القلب من الكدورات النفس فإذا استقرت المحبة الله في القلب خرجت محبة الغير.

Seseorang tidak akan mendapatkan hakikat cinta sejati kepada Allah Swt,. kecuali hatinya telah selamat dari berbagai hal yang mencelakakan hati. Jika cinta kepada Allah telah menduduki hati manusia, maka kecintaannya terhadap yang lain akan sirna, semata-mata yang tertinggal hanya cinta kepada Allah.

Berkata Imam Sahl bin Abdullah :

ما من يوم إلا والجليل سبحانه وتعالى ينادى

tidak akan terlewat satu haripun kecuali Allah telah menyeru Hambanya seraya berfirman:

يا عبادي ما أنصفتني :

Wahai hambaKu... mengapa engkau tidak berlaku adil kepadaKu...

اذكرك وتنساني

Aku mengingatmu sedangkan engkau melupakanKu...
وأدعوك إلي وتذهب إلى غيري

Aku menyeru agar engkau datang kepadaku namun engkau malah datang kepada yang lain selain Aku,

وأذهب عنك البلايا وأنت معتكف على الخطايا

Aku singkirkan musibah dan bala darimu namun engkau senantiasa senang melakukan kesalahan-kesalahan,

يا عبادي ماذا تقول غدا عند جئتني ؟



Wahai Anak Adam... apa yang kelak akan engkau katakan saat engkau hadir bertemu dengan ku (kematian) ?
عبدي خلقت الأشياء كلها من أجلك وخلقتك من أجلي فاشتغلت بما خلقته لك عني

Hambaku... kuciptakan segala sesuatu untukmu, namun engkau malah sibuk dengan hal itu sehingga engkau semakin jauh dariku,

فإذا اشتغلت بالنعمة عن المنعم

Jika nikmat yang aku berikan membuatmu semakin sibuk,

وبالعطايا عن المعطي فما أديت شكر نعمته ؟
Jika segala pemberian ku justru membuat mu sibuk lalu kapan lagi engkau akan bersyukur kepadaku ? lalu untuk apa Allah berikan segala sesuatunya kepadamu jika semua itu hanya akan mencelakakakan mu, melalaikanmu, dan membuatmu semakin jauh dariku ? jangankan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, bibit-bibit cinta yang telah disemai Allah melalui Rasulullah dihati tiap-tiap ummatnya pun mati, habis terbakar oleh panasnya api dosa-dosa yang kita perbuat. Na’uzubillah min Zaalik. Jika Rasulullah menyatakan bahwa kita akan dikumpulkan di mahsyar kelak bersama orang yang kita cintai ? maka bersama siapakah kita akan berkumpul jika tidak ada rasa cinta sedikitpun kepada Allah dan Rasulnya ?

Akhirnya, sebagai penutup dari khutbah siangkat ini, marilah kita tingkatkan rasa cinta kita kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, dengan melaksanakan sebaik baiknya segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. Semoga kita semua termasuk golongan hamba Allah, Ummat Rasulullah yang Allah beri hidayah untuk senantiasa dekat denganNya, senantiasa mencintaiNya. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.

أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.

اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا . بارك الله لي ولكم في القرأن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم...



Khutbah 2

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن

ياايها الناس إتقوا الله ما استطعتم وسارعو إلى مغفرة من رب العالمين.

اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات برحمتك يا أرحم الراحمين...

اللهم اعز الإسلام والمسلمين وأذل الشرك والمشركين

اللهم انصر المجاهدين فى فلسطين اللهم انصر المجاهدين فى كل مكان

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

فاذكرالله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكر الله أكبر.

Kamis, 27 April 2017

ADA APA DIBULAN SYA’BAN ?

Seri 1: Perpindahan Arah Kiblat

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram… (Qs.At-Taubah : 36)

Ayat al-Qur’an diatas menjelaskan bahwa dalam rentang satu tahun ada dua belas bulan yang ditentukan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi. Diantra dua belas bulan tersebut ada empat bulan yang diagungkan dan dimuliakan. Imam Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan bahwa empat bulan yang dimuliakan itu ialah bulan Rajab, Zulqo’dah, Zulhijjah, dan Muharrom. Keempat bulan ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu. Karena kemuliaan bulan-bulan tersebut, maka orang jahiliyah mengharamkan perang, dan membunuh didalamnya. (Jami’ul Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 14 hal 234)

Tidak berhenti sampai disitu, ketika Rasulullah diutus, beliau juga merekomendasikan bulan-bulan tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; “…dalam satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya ada 4 bulan haram, tiga diantaranya berturut-turut yakni Zulqo’dah, Zulhijjah, dan Muharram, dan bulan Rajab..” (Shahih Al-Bukhari No 3197, Juz 4 hal.107). 

Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir jahiliyah tidak boleh diikuti, kita perlu melihat apakah ada rekomendasi dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw., terkait perbuatan tertentu yang sempat dilakukan oleh orang kafir jahiliyah. Namun, keberadaan rekomendasi ini tidaklah berarti membenarkan cara-cara orang jahiliyah dalam mengagungkan bulan haram. Namun tetap harus mengikuti pedoman dan petunjuk Syari’at dalam mengagungkannya. Adapun cara mengagungkannya ialah dengan memperbanyak ibadah terkhusus pada bulan-bulan tersebut, menjauhi ma’siat dan larangan Allah Swt,. baik dilakukan dengan berpuasa, bersedekah dan amal-amal kebaikan lainnya. Namun bukan berarti selain bulan yang empat itu boleh melakukan maksiat, namun perlu ditekankan bahwa kemaksiatan yang dilakukan pada empat bulan haram jauh lebih besar dosanya, demikian juga kebaikan yang dilakukan didalam bulan haram, tentu ganjarannya lebih besar.

Selain keempat bulan tersebut, Rasulullah juga memuliakan bulan lainnya. Diantaranya ialah bulan Sya’ban. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Imam an-Nasa’i dari Usamah bin Zaid; “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa di suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban, lalu Rasulullah bersabda: Bulan ini banyak dilupakan manusia ia adalah bulan diantara Rajab dan Ramadhan, ia adalah suatu bulan dimana pada saat itu amal perbuatan manusia dilaporkan kepada Allah Swt., dan aku ingin ketika amal perbuatanku dilaporkan, aku dalam keadaan berpuasa”. (Sunan al-Kubro, No.2676, Juz 3 hal.176)

Pertanyaannya, mengapa Rasulullah berpuasa pada bulan Sya’ban ? Tentulah karena pada bulan tersebut selain diangkatnya amal kepada Allah Swt., juga ada peristiwa-peristiwa agung lainnya yang terjadi. Diantara peristiwa-peristiwa tersebut ialah : 

Perpindahan arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah

Dahulu pada awal Rasulullah hijrah ke Madinah, umat Islam masih melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis sebagai qiblat, menurut imam Al-Busthi, lebih kurang hal ini berlangsung selama 17 bulan 3 hari. (Maaza fi Sya’ban, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki). Masalahnya, Baitul Maqdis adalah kota yang sejak lama sudah diagungkan dan menjadi sumber kehidupan kaum Yahudi Madinah. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ajaran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak lain hanya jiplakan dari ajaran Nabi terdahulu, sehingga mereka tidak menghormati Nabi Muhammad. 

Dalam riwayat lain, seperti yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalhah: “ketika Rasulullah tiba di Madinah, kebanyakan penduduk Madinah adalah orang Yahudi, lalu Allah memerintahkan baginda Nabi agar menghadap Baitul Maqdis Sebagai Qiblat, sontak melihat hal tersebut orang yahudi Madinah merasa senang. Namun Rasulullah lebih menyukai Qiblat Ibrahim (Masjidil Haram) (Bisa jadi disebabkan karena ejekan dan olokan orang Yahudi *pen) (Al-Wahidi, Asbabun Nuzul al-Qur’an, Juz 1 hal.39). 

Hal ini tentu menimbulkan rasa gelisah dalam hati Nabi Saw., sehingga beliau bermunajat kepada Allah agar menurunkan wahyu untuk menghilangkan kegelisahannya. Hingga akhirnya Allah Swt menurunkan wahyu Q.s al-Baqarah 144; “Sesungguhnya kami sering melihat wajahmu menengadah ke-langit, maka kami sungguh akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”. 

Setelah wahyu terkait pemindahan arah qiblat ini diterima Nabi Muhammad, orang-orang yahudi dan munafik mengatakan bahwa ajaran Baginda Nabi tidak teguh pendirian sehingga arah qiblat bisa dipindah-pindahkan, berbagai macam tudingan lain juga disematkan kepada agama Islam dan Nabi Muhammad Saw,. Hingga Allah turunkan wahyu Q.s al-Baqarah 115; “Kepunyaan Allah-lah Barat dan Timur, maka kemanapun engkau menghadap maka engkau tetap menghadap Allah, sesunguhnya Allah Maha luas rahmatnya lagi Maha mengetahui”, untuk meneguhkan hati Baginda Nabi Saw,. 

Demikian juga Qs. Al-Baqarah ayat 142; “Akan berkata orang-orang safih/bodoh, dari manusia itu: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat yang telah ada mereka padanya ?”, katakanlah; “kepunyaan Allah Timur dan Barat. Dia memberi petunjuk siapa yang dia kehendaki kepada jalan yang lurus”. 

Soal : Bagaimana status ibadah dan iman orang-orang yang meninggal ketika qiblat Rasulullah masih menghadap baitul maqdis ? 

Jawab : Berkata Ibnu Abbas dari riwayat Al-Kalbiy, ada beberapa sahabat Rasulullah yang wafat sebelum perpindahan qiblat ke Masjidil Haram, diantara mereka ialah As’ad bin Zurarah, Abu Umamah dari Bani Najjar, Bara’ bin Ma’rur dari Bani Salamah dan beberapa lainnya, maka ketika perpindahan arah qiblat, datanglah seorang utusan mereka bertanya kepada Rasulullah terkait status ibadah dan iman saudara mereka yang sudah wafat tersebut. Maka Rasulullah menjawab dengan firman Allah Swt, “dan Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan keimanan kamu semua” (Qs.Al-Baqarah, 143). Berdasarkan riwayat ini jelaslah bahwa orang yang wafat sebelum perpindahan qiblat tetap wafat dalam Islam dan Allah tidak menyia-nyiakan iman mereka. (Al-Wahidi, hal.43)

Akhirnya, pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini ialah, Rasulullah tidak akan mengamalkan sesuatu jika memang tidak ada arti dan manfaatnya. Khusus untuk puasa pada bulan Sya’ban, perpindahan arah qiblat merupakan peristiwa besar bagi Nabi dan Umat Islam, yang tentu harus diperingati dengan hati yang bahagia sebagai rasa syukur atas berkah dan rahmat Allah Swt. demikian juga dengan membesarkan hari-hari atau bulan lainnya dengan ibadah, hal itu adalah salah satu bukti kita mengikuti petunjuk Rasulullah Saw,. Wallau A’lam. 

Selasa, 28 Maret 2017

Bagaimanakah Cara Melakukan Takbir Intiqal (perpindahan dari satu rukun ke rukun lain) Dalam Shalat?



Masalah : Dalam shalat, setelah tasyahud Awal kan di sunnatkan takbir ketika hendak bangkit. Nah sunnah nya kapan kita bertakbir, apakah ketika duduk bertakbir, ketika bangkit takbir atau setelah kita berdiri baru takbir? Mohon penjelasan dalilnya 

Jawab : 


Berkata Imam Al Bukhari (H.No752) dan Imam Muslim (H.No392) Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a, Bahwasanya Abu Hurairah Shalat bersama para sahabat maka ia bertakbir (takbir intiqol/ perpindahan rukun) setiap kali hendak rujuk, sujud dan bangkit dari keduanya. setelah selesai shalat mak Abu Hurairah berkata: "Sungguh shalatku adalah shalat yang paling serupa dengan Shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. 

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap kali hendak pindah rukun, misal dari berdiri ke rukuk dan seterusnya disunnatkan mengucap takbir الله اكبر yang dikenal dengan takbir intiqol. 
Nah lalu bagaimana cara melakukannya? 


Al Imam Al Habib Zein bin Sumaith didalam kitabnya تقريرة السديدة في مسألة المفيدة juz 1 hal 242 menyebutkan: 
ويسن مد التكبير إلى ان يصل إلى الركن الذي بعده... 

Dan sunnat membentangkan/memanjangkan takbir "mulai dari awal hendak pindah rukun sampai sempurna rukun berikutnya".

Kemudian Imam al Baijuri didalam Hasyiah al Baijuri Juz 1 hal 169. 

ويسن مدها حتى يصل الى الركن المنتقل اليه وإن اتى بجلسة الإستراحة. "لأن لا يخلو جزء من صلاته عن الذكر...ولا يقوم ساكتا لأن الصلاة لا يطلب السكوت فيها حقيقة وهذا في تكبيرة الإنتقالات. 

Sunnah membentangkan/memanjangkan takbir sampai sempurna rukun berikutnya. Meskipun sekadar takbir untuk duduj istirahat sebelum berdiri kembali (dalam shalat). Hal ini bertujuan agar aktifitas sholat tidak kosong dari zikrullah, sebab dalam shalat tidak dianjurkan diam saja, melainkan harus senantiasa berzikir (untuk mengisi waktu selain sunnat bacaan shalat). 

Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa cara takbir intiqol yang benar adalah mengucap takbir dimulai sejak hendak bangkit sampai sempurna berdiri. 

Adapun masa tasmi' atau mendengar bacaan fatihah imam ketika shalat jama'ah, maka disunnatkan berzikir didalam hati smmbil tetap menyimak bacaan imam sebagaimana dijelaskan syaikhna Syaikh Nuruddin Banjar. 
Semoga bermanfaat. Wallahu A'lam....

Bolehkah Mewasholkan Bacaan Fatihah Dalam Shalat ?


Masalah : Apa hukumnya jika didalam shalat terawih imam membaca surah al-fatihah dengan mewasholkannya (yakni menyambungkan bacaan dari bismillaahirrahmaanirrahim sampai kepada iyyakana'budu tanpa di waqofkan ?

Jawab :  Dalam masalah ini, al Habib Zein Bin Sumayth menjelaskan, bahwa syarat-syarat sah nya bacaan fatihah dalam shalat sebagai berikut:

1. Tertib: ayatnya harus sesuai urutan, tidak boleh terbalik balik.

2. Muwalat: tidak ada jeda antar tiap ayat lebih dari sekedar tarik nafas.

3. Menjaga huruf hurufnya: jika gugur satu saja hurufnya, maka batal shalatnya. Demikian juga kalau berubah hurufnya.

4. Menjaga tasydid pada ayat tertentu.

5. Membaca seluruh ayatnya termasuk basmallah.

6. Tidak merubah baris ayat.

7. Membaca fatihah sampai tuntas ketika berdiri.

8. Ia sendiri mendengar bacaan fatihah yg dibacanya.

9. Tidak membaca bacaan lain yg dapat merusak shalat ketika membaca fatehah. (Misalnya bersin lalu ucap alhamdulillah...)

10. Meniatkan membacanya sebagai rukun shalat

11. Membacanya dengan bahasa arab.

berdasarkan syarat diatas dapat diambil kesimpulan :   Jika orang membaca fatihah dengan diwashalkan, maka boleh saja selama syarat sah fatihah diatas terpenuhi. Jika salah satu saja tertinggal maka batal fatihahnya, bahkan bisa batal shalatnya. Kendatipun demikian, membaca dengan mewashal kurang afdhal sebab ketika membca fatihah itu kita sedang berkomunikasi dengan Allah, alangkah kurangnya adab menghadap Allah bi Qashdi "balapan" atau mau cepat saja.

sumber : 
تقريرة السديدة في مسألة المفيدة جزء الواحد صفحة 218 

Apakah Orang Yang Mengqadha Puasa Ramadhan di Bulan Rajab Mendapatkan Pahala Puasa Sunnat Rajab ?


Berikut Jawaban Syaikhul Akbar, Syaikh Dr.'Ali Jum'ah (Mufti Mesir)

 هل يجوز صيام القضاء وستة أيام من شوال بنية واحدة؟
أجاب الدكتور علي جمعة محمد، قائلا:
يجوز عند كثير من الفقهاء اندراج صوم النفل تحت صوم الفرض، وليس العكس؛ أي لا يجوز أن تندرج نية الفرض تحت نية النفل.
وبناءً عليه: يجوز للمرأة المسلمة أن تقضي ما فاتها من صوم رمضان في شهر شوال، وبذلك تكتفي بصيام قضاء ما فاتها من رمضان عن صيام الأيام الستة، ويحصل لها ثوابها؛ لكون هذا الصيام قد وقع في شهر شوال، وذلك قياسا على من دخل المسجد فصلى ركعتين قبل أن يجلس بنية صلاة الفرض أو سنة راتبة، فيحصل له ثواب ركعتي تحية المسجد؛ لكون هذه الصلاة التي أداها قبل أن يجلس.
قال البجيرمي في حاشيته: "وتحصل بركعتين فأكثر، أي يحصل فضلها ولو كان ذلك فرضا أو نفلا آخر، سواء أنويت معه أم لا؛ لخبر الشيخين: ((إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين))؛ ولأن المقصود وجود صلاة قبل الجلوس وقد وجدت بذلك".
وفي مسألة الصوم قال السيوطي في الأشباه والنظائر ص22: "لو صام في يوم عرفة مثلا قضاء أو نذرا أو كفارة، ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية". اهـ.
على أننا ننبه أن المراد بحصول الثواب عن الأيام الستة إنما هو ثواب أصل السُّنَّة فيها دون الثواب الكامل، فقد قال الرملي في نهاية المحتاج (3/ 208، 209): "ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غيرهما أو في نحو يوم عاشوراء حصل له ثواب تطوعها، كما أفتى به الوالد -رحمه الله تعالى- تبعا للبارزي والأصفوني والناشري والفقيه علي بن صالح الحضرمي وغيرهم، لكن لا يحصل له 
الثواب الكامل المرتَّب على المطلوب". إتباع رمضان بستة من شوال. والله سبحانه وتعالى أعلم.
 
Teks fatwa Syaikh Dr.'Ali Jum'ah. 

Kalau seseorang berniat qodho puasa dibulan rajab, maka ia dapat pahala qadha sekaligus pahala puasa dibulan rajab. (dengan catatan Niatnya tetap niat qadha). hal ini disebabkan karena bolehnya seseorang berniat qadha puasa dihari ang disunnatkan berpuasa. contoh puasa qadha di bulan syawwal maka dengan niat qadha ramadhan, ia juga mendapatkan pahala puasa sunnat syawwal. demikian juga dengan puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan dibulan Rajab. 

Namun kalau kita perhatikan, tentulah pahala puasa tersebut tidak sama dengan mengkhususkan puasa sunnat rajab dan qadha ramadhan secara terpisah.  

Intinya, kalau dalam prinsip ibadah, semakin banyak ibadah maka semakin besar pahalanya. 

Logika syaikh Ali diatas jika seseorang masuk masjid, lalu langsung shalat fardhu atau shalat qabliyah sebelum duduk, maka otomatis ia dapat juga pahala sunnat tahiyyatul masjid. Jika shalat fardhu itu dilaksanakan sebelum duduk. Wallahu A'lam.

Bolehkah Makmum Memanjangkan Do'a di Sujud Terakhir ?


Bismillahirrahmanirrahim. 

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh makmum dalam shalat berjama’ah. Dan ini dikenal dengan sebutan “Syarat Sah Shalat Berjama’ah”. Diantara syarat tersebut ialah : 

1. Makmum tidak boleh berdiri dengan posisi melewati imam. (tetap harus dibelakang imam)

2. makmum harus mengetahui pergerakan imam (bole dengan melihat, mendengar dari speaker/suara imam) 

3. hendaklah makmum berniat “makmuman” ketika takbiratul ihrom. 

4. Bentuk shalat makmum dan imam harus sama nazhomnya. Maka tidak sah bermakmum zhalat fardhu kepada imam yang sedang shalat jenazah. 

5. Makmum harus “mengikuti gerakan imam”. Maka makmum tidak boleh mendahului atau terdahului oleh imam sampai dua rukun fi’li jika tidak ada ‘uzur. Jika ada ‘uzur maka dibolehkan sampai 3 rukun panjang (ruku’, sujud pertama,sujud kedua). 

Adapun ‘uzur yang dimaksud dalam hal ini yaitu : 

1. makmum yang sulit membaca fatihah (baru hafal/lidah kelu) 

2. makmum ragu sudah membaca fatihah atau belum

3. makmum lupa membaca fatihah

4. makmum masih membaca do’a iftitah sementara imam sudah ruku’. 

Jika seorang makmum mengalami uzur diatas, maka boleh dia ketinggalan sampai maksimal 3 rukun fi’li yang panjang. 

Masalah : jika makmum membaca do’a setelah sujud terakhir yang panjang, apakah boleh ia tetap sujud dan berdo’a sedangkan imam sudah takbir duduk tasyahud akhir ? 

Jawab : berdasarkan keterangan diatas, perlu kita lihat, bahwa rukun fi’li yang akan dilaksanakan imam hanya tinggal “Duduk Tasyahud Akhir" (satu rukun). Sehingga jika makmum melamakan bacaan do’a setelah sujud terakhir, maka “tidak mengapa”. Karena ia hanya akan ketinggalan 1 “rukun fi’li” dari imam dan ini tidak termasuk hal yang melanggar syarat sah shalat berjama’ah, baik makmum dalam kondisi ‘uzur ataupun tidak. Wallahu A’lam.

Scan Kitab :


Sumber : Kitab Taqrirat Sadidah, Juz 1 hal 296-300. 



Senin, 06 Maret 2017

Macam-Macam Orang Yang Menempuh Jalur Tasawuf

(Diterjemahkan dari kitab Tanwir al-Qulub karangan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi an-Naqshibandi)

Murid (orang-orang yang berhajat) kepada akhirat, dan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat masing-masingnya akan mengalami salah satu diantara enam kondisi / keadaan. Adakalanya orang yang mencari akhirat itu menempuh jalan sebagai seorang (1) ‘Abid (Orang yang senantiasa beribadah), (2) ‘Alim (orang yang berilmu pengetahuan), (3) Muta’allim (orang yang senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan), (4) Wali (Orang yang mengabdi pada masyarakat), (5) Muhtarif (orang yang hatinya selalu condong kepada Allah Swt), (6) Muwahhid (orang yang larut dalam samudera tauhid). Untuk lebih terperinci, berikut uraian terkait masing-masing kondisi diatas : 

  1. Abid : Adalah sebutan bagi orang yang senantiasa melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. Ia tidak pernah menyibukkan dirinya selain untuk ibadah kepada Allah Swt,. Hal ini menyebabkan ia akan merasa sangat rugi dan sangat bersalah jika satu ketika ia meninggalkan ibadah yang biasa dilaksanakannya. Orang yang disebut sebagai ‘abid ini senantiasa rajin beribadah dan istiqomah dalam ibadahnya, disamping ia juga rajin hadir di majelis ilmu dan majelis zikir. Sebagaimana sabda Nabi Saw : “Jika kalian melewati taman-taman surga, maka ikutlah duduk disitu”, lalu para sahabat bertanya : “apakah yang Engkau maksud dengan taman surge itu wahai Rasulullah ?” Lalu Rasulullah bersabda : “Taman surga itu ialah majelis Zikir dan Majelis ilmu”. (HR.Imam Turmudzi). 
  2. ‘Alim : Ialah orang yang berilmu dan ilmunya bermanfaat untuk orang lain. Umpamanya untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, mengajarkan ilmu pengetahuan, atau mengarang buku-buku/ kitab yang akan berguna bagi masyarakat. Maka jika memungkinkan, menyibukkan diri dengan ilmu yang semacam ini lebih utama baginya setelah menyibukkan diri dengan ibadah fardu dan sunnat rawatib, tentunya jika kegiatan mengajarkan ilmu tersebut diniatkan untuk menolong sesama manusia agar mudah dalam beribadah. Adapun yang dimaksud “ilmu lebih utama daripada ibadah” ialah ilmu yang jika dipelajari atau diajarkan membuat orang mengharapkan akhirat, menjadikannya zuhud di dunia, dan bukan ilmu yang menjadikan orang cenderung lebih mengharapkan kekayaan, pangkat an jabatan. 
  3. Muta’allim : Ialah orang yang senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan keridha’an Allah Swt,. maka kesibukannya dalam menuntut ilmu pengetahuan ini lebih afdhal baginya dibandingkan menyibukkan diri dengan berzikir dan shalat-shalat sunnat mutlaq. Kendatipun demikian, alangkah baiknya ia menuntut ilmu namun tidak meninggalkan wirid-wirid/zikir-zikir setiap hari. Karena zikir-zikir itu nantinya akan membantu memudahkan urusannya dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dan orang yang menghadiri majelis ilmu meskipun ia tidak faham maka itu lebih baik baginya dibandingkan menghadiri yang bukan majelis ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Ka’ab al-Ahbar : “kalaulah pahala menuntut ilmu di majelis ilmu itu ditunjukkan kepada manusia, maka mereka akan bersaing dan meninggalkan kepentingannya yang lain demi menghadiri majelis ilmu”. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Abu Bakr : “Sesungguhnya seorang yang keluar dari rumahnya dengan dosa sebesar gunung, jika ia mendengarkan nasihat orang yang berilmu sehingga ia menjadi takut kepada Allah dan berharap ampunan Allah, maka ia ketika ia pulang kerumah ia tidak lagi membawa sebutir dosa-pun”. Oleh sebab itu janganlah menjauhkan diri dari mejelis ilmu pengetahuan, sebab tidak ada sesuatu yang lebih ampuh dan bermanfaat untuk melepaskan ikatan dunia didalam hati, selain majelis yang didalamnya berisi nasihat agama, shalat-shalat sunnat, dan ibadah serta ilmu pengetahuan. 
  4. Wali :Ialah orang yang senantiasa mengutamakan maslahat/kebaikan masyarakat Seperti imam (Ulama) dan Qadhi (Hakim). Ia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan pilar-pilar dan semangat beragama kaum muslimin. Ia senantiasa ikhlas melakukan upaya-upaya tersebut. orang menempuh kegiatan yang berpuncak pada maslahat muslimin disiang hari, dan menyibukkan diri dengan wirid dan ibadah dimalam hari. 
  5. Muhtarif : Ialah orang ang hatinya senantiasa condong kepada Allah meskipun ia tetap melakukan pekerjaan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia berharap kebaktiannya memenuhi tanggung jawab menafkahi keluarga menjadi jalan yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, hatinya tidak luput dari berzikir dan membaca wirid-wirid bahkan ketika berdagang di pasar-pun ia tidak lupa berzikir. Dan ketika ia merasa kebutuhannya dan keluarga telah tercukupi, maka ia segera menghabiskan waktunya untuk beribadah totalitas. 
  6. Muwahhid : Ialah orang yang tenggelam dalam samudera keesaan Allah Swt,. ia tidak mencintai selain Allah dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah Swt,. ia tidak pernah menyandarkan rezekinya kecuali kepada Allah Swt,. Oleh sebab itu, siapapun yang telah mencapai derajat ini, ia tidak lagi disibukkan dengan amalan-amalan yang berbeda dan bermacam-macam. Namun amalannya setelah amalan fardhu dan rawatib hanya satu, yakni, “Menghadirkan hati kepada Allah Swt dalam setiap situasi dan kondisi”. Ia tidak merasa khawatir, tidaklah apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat melainkan tersimpan didalamnya ibroh (pembelajaran), dan penambah keimanan. Inilah seluruh relung hidupnya dan inilah puncak derajat siddiiqiin, dan tidak akan bisa sampai kepada derajat ini melainkan telah melazimkan dan mengistiqomakan amalan-amalan yang dianjurkan oleh agama. 
Oleh sebab itu tidak sebaiknya seorang murid yang hendak menempuh jalan akhirat mengosongkan dirinya dari hal iwal dan keadaan diatas. Apalagi sampai malas dalam melaksanakan ibadah dan amalan sunnah. Karena tanda tanda orang yang telah mencapai derajat ini ialah hilangnya rasa khawatir dan was-was didalam hatinya. Sebagaimana firman Allah Swt :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa ketakutan dan kesedihan diati mereka” (Q.s Yunus : 62) Wallahu A’lam…

Kamis, 02 Maret 2017

MENJADI MUSLIM SEJATI, MERAIH KEBAHAGIAAN DUNIA AKHIRAT...!!


“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke Agama Islam secara sempurna, dan janganlah kalian mengikuti langkah syaithan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu”(Al-Baqarah :208)

Tidak dapat dipungkiri, bahwa semakin hari umat Islam semakin malu dengan identitasnya sebagai seorang Muslim. Hal ini tidak lain disebabkan banyaknya tudingan-tudingan miring yang disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada umat Islam, dan yang lebih disayangkan, umat Islam sendiri dengan mudahnya membenarkan dan mengikuti begitu saja tudingan-tudingan tersebut. 

Sikap umat Islam yang menerima begitu saja terhadap tudingan musuh Islam, berdampak negatif terhadap perkembangan Islam dewasa ini. Umat Islam hari ini lebih banyak yang malu mengenakan simbol-simbol Islami, baik dari segi cara berpakaian, pola hidup, dan prinsip dalam menatap masa depan. Kebanyakan pemuda-pemuda Muslim menjadikan Islam bukanlah hal yang penting untuk diperjuangkan. oleh sebab itu, perlu peranan dan dukungan orang tua dan pemuka Agama untuk kembali membangkitkan kesadaran ber-Agama didalam relung jiwa seluruh pemuda-pemudi Islam. 

Secara bahasa kata Agama Islam berasal dari bahasa Arab, yakni Dīn al-Islam. Yang tersusun dari dua kata yakni Dīn yang artinya “hutang” dan al-Islam yang artinya “Tunduk dan patuh (Hamid Fahmy, Peradaban Islam)”. Sedangkan menurut istilah, Dīn al-Islam ialah, “Sekumpulan ketetapan Allah yang ditetapkan melalui Rasulullah Saw,. Yang wajib diikuti dan dita’ati oleh setiap mukallaf (Al-Jurjani, al-Mu’jam al-Ta’rifat, hal.105”). lebih lanjut dijelaskan bahwa Dīn al-Islam ialah “ketundukan secara totalitas, baik jasmani maupun rohani terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt yang diturunkan melalui Rasulullah Saw. (K.H.Najih Maemon, Aqidah Ulama Azhar Syarif, hal.6)”. 

Soal : Siapakah yang wajib mengikuti Agama Islam ? 

Jawab : Syaikh Abdullah Ba-‘Alawi, pengarang matan kitab Sullam at-Taufiq menyatakan bahwa, “Wajib Bagi tiap-tiap mukallaf masuk Islam dan melaksanakan seluruh ketetapan dan menjauhi larangan yang termaktub didalamnya (Sullam al-Taufiq, hal.3). Artinya, setiap orang yang disebut mukallaf ortomatis wajib masuk dan mengikuti Agama Islam. 

Soal : Siapakah yang disebut sebagai mukallaf ? 

Jawab : Habib Salim al-Hadromi menjelaskan bahwa mukallaf adalah sebutan bagi orang yang memenuhi empat persyaratan, (1) Baligh, ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, atau haid khusus bagi perempuan di usia 9 tahun, atau berusia 15 tahun berdasarkan hitungan tahun hijriyah, jika sampai pada usia tersebut ia belum mengalami mimpi basah atau haid. (2) Berakal, yakni sehat akalnya atau tidak gila. (3) Sehat salah satu atau kedua indera penerima informasi, yakni mata dan telinga, yang memungkinkan seseorang untuk mengetahui sesuatu, yakni Agama Islam. (4) mengetahui keberadaan Agama Islam. Jika seseorang memenuhi keempat syarat ini, maka ia wajib masuk Islam dan melaksanakan syari’at Islam (Habib Salim al-Hadromi, Safinatun Najaa, hal.3)

Soal : Bagaimana dengan orang yang dilahirkan dan mati dalam keadaan kafir ? 

Jawab : Setiap manusia yang dilahirkan pada dasarnya ber-Agama Islam, karena ketika ditiupkan ruh kedalam jasadnya, ia dimintai perjanjian dan persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. (Q.s al-A’raf 172). Namun orang tuanya-lah yang membawanya kepada Agama selain Islam, (Imam Malik, al-Muwatta, Juz 2, hal.338). dengan demikian, seseorang yang kafir pada dasarnya tetap dikenai tuntutan melaksanakan syari’at Islam, namun harus terlebih dahlu masuk Islam, karena ajaran Islam berlaku bagi seluruh manusia, termasuk orang kafir sekalipun, (Yusuf Qorodhowi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid II, GIP, Jakarta, 1998, hal.1023). Kewajiban ini-pula yang menyebabkan orang kafir kekal di Neraka, karena secara tidak langsung orang kafir melanggar dua kewajiban, yakni kewajiban masuk Islam dan kewajiban melaksanakan syari’at Islam. 

Soal : Lalu bagaimanakah kriteria Muslim yang sejati itu ? 

Jawab : Sesuai dengan prinsip dasarnya, seorang Muslim sejati adalah Muslim yang melaksanakan tugas-tugas kehambaannya dengan baik dan benar. Sebab tujuan utama Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk mengabdi kepadaNya (Qs. Az-Zariyat 56). Disamping itu mengingat defenisi Agama yang bermakna “hutang” yang harus dilunasi dengan cara melaksanakan ketundukan jasmani dan rohani (Islam), maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Muslim yang mampu melaksanakan tugas kehambaannya dengan sempurna, dan mampu membebaskan diri dari berbagai perkara yang menjauhkannya dari kewajiban tersebut adalah Muslim sejati (SMN al-Attas, Konsep Kebahagiaan dalam Islam). 

Sebagai sebuah penutup, seorang yang berhutang akan merasakan kelegaan dan kebahagiaan tatkala hutangnya telah terbayar lunas dan dengan jalan yang baik, demikian juga dengan seorang Muslim, ia akan mendapatkan kebahagiaan sejati dunia dan akhirat jika ia melaksanakan kewajiban yang menjadi hutang-nya kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, orang yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba, tentu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati, sebab ia bukan Muslim yang sejati. Sesuai dengan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 208, “Laksanakanlah kewajiban dalam Islam dengan menyeluruh), artinya, jangan setengah-setengah menlaksanakan tuntutan Agama Islam, jika ingin menjadi Muslim sejati dan mendapat kebahagiaan di dunia hingga akhirat. Wallahu A’lam. 

Selasa, 21 Februari 2017

Membangkitkan Tradisi Keilmuan Dalam Masyarakat Islam

Dewasa ini, masyarakat muslim dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan yang menyerang berbagai sisi kehidupan. Masyarakat muslim dihadapkan dengan berbagai isu-isu kontemporer yang membingungkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh informasi media yang mengisukan kondisi sosial dan politik yang berbeda-beda antara satu media dengan media lainnya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar media yang ada di Indonesia, baik media elektronik maupun media cetak lebih banyak yang memojokkan islam, dibanding yang membela dan menguatkan islam. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian besar masyarakat muslim terbawa arus dan mempercayai isu-isu yang memojokkan islam tersebut. Akhirnya, umat islam kebanyakan menjadi malu dengan statusnya sebagai muslim, dan merasa bangga dengan lable modern yang dibawa oleh musuh-musuh Islam. 

Soal : Apakah yang menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam ? 

Jawab : Salah satu penyebab mundurnya umat Islam ialah hilangnya semangat untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa tanda wujudnya sebuah peradaban ialah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmatik, astronomi, optic, kedokteran dan sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban diukur dari maju mundurnya tradisi keilmuan. Ilmu pengetahuan tidak akan mungkin bisa berkembang tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. 

Oleh karena itu peradaban harus dimulai dari komunitas kecil sampai menjadi komunitas besar. Hal ini terbukti dengan Madinah, Makkah, Mesir dan Negara-Negara Islam yang dahulunya kecil menjadi kawasan yang besar dan makmur. Seperti kesultanan Abbasiyah dan ‘Usmaniyah yang mengangkang di atas selat Bosporus dengan wilayah kekuasaan mencakup benua Asia dan Eropa. Semua prestasi tersebut bisa tercapai karena peradaban Islam memiliki asas yang Absolut. Menjadikan agama sebagai ukuran segala tindakan, menjadikannya sebagai asas peradaban yang menolak kebiadaban. 

Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (Bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan atau manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut dengan peradaban itu. Jika agama menjadi asas peradaban dan tolak ukur segala tindakan, maka jelaslah bahwa agama Islam yang berpegang pada Alqur’an dan Hadits merupakan pandangan hidup atau dikenal dengan istilah Worldview peradaban Islam. Maka selama peradaban Islam berpegang pada worldview yang benar maka peradaban juga akan semakin maju, demikian pula sebaliknya. 

Soal : Bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam memajukan umat Islam ? 

Jawab : Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol, orang-orang Kristen tenggelam dalam arus MozArabic Culture (Ter-Arabkan). Kultur Islam yang dominan inilah yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Keingintahuan orang-oang Barat muncul ketika menyadari bahwa muslim memiliki pandangan hidup yang canggih dan ilmu pengetahuan yang kaya dan tak dimiliki belahan dunia lain. Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari muslim bagi perkembangan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan terpecahnya kalangan teologi Kristen menjadi kalangan Averoism (Pengikut Ibn Rusyd) dan Avicennian (Pengikut Ibnu Sina). 

Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke kebudayaan Barat ada lima, yakni : Pertama, cerita-cerita dan sya’ir di transmisikan secara oral oleh orang Barat. Kedua, dengan kunjungan turisme pada abad ke 7 M ke Cordoba sebagai ibukota peradaban Islam yang menonjol, maka mereka datang untuk belajar peradaban kepada Islam. Ketiga, terdapat hubungan dagang dan politik yang resmi melalui utusan yang dikirim kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan menterjemahkan karya karya ilmiah Islam, buktinya di Santa Marie de Rippol terdapat ruangan khusus untuk manuskrip-manuskrip Islam yang akan mereka terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penerjemahan, raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk para penerjemah di Toledo, tepat setelah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085, yang tujuannya adalah menggali ilmu dari perpustakaan Islam bekas jajahan muslim itu. 

Keterangan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa Islam pernah maju karena umat Islamnya berpegang teguh pada agama islam, dan bangga dengan statusnya sebagai seorang muslim. Namun jika dilihat kondisi dan situasi yang terjadi hari ini, jika umat Islam terus menerus bermalas-malasan dalam menimba ilmu pengetahuan, maka Islam akan semakin bobrok, dan tidak lagi memiliki kekuatan, sebagaimana islam pada masa Rasulullah sampai Dinasti Utsmaniyah. 

Soal : Bagaimana cara membangkitkan semangat keilmuan umat islam ditengah kondisi masyarakat yang kompleks seperti sekarang ini ? 

Jawab : untuk membangkitkan tradisi keilmuan ditengah kondisi masyarakat yang kompleks seperti saat ini, maka hal pertama ang harus diupayakan ialah membuat inovasi-inovasi baru yang bertujuan menjadikan masyarakat mencintai ilmu pengetahuan. Langkah berikutnya ialah memperbanyak majelis kajian ilmu agama yang berkaitan dengan ilmu Al-Qur’an, Hadis, Sejarah Islam, Fikih, dan berbagai macam cabang ilmu lainnya yang mudah diamalkan oleh masyarakat. Senada dengan ungkapan Imam al-Ghazali, untuk menumbukan rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, cara yang paling baik adalah mengamalkan tiap-tiap ilmu yang didapat dengan istiqomah. Wallahu A’lam. 



Jumat, 17 Februari 2017

Bolehkah Melakukan Perjalanan Jauh Dengan Niat Ziarah Kubur ?


Problematika seputar ziarah kubur adalah masalah fiqhiyah yang sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum syari’at, yakni halal, haram, makruh, ataupun sunnah. Seperti ungkapan didalam sabda Nabi Saw لا تشد الرحال)[1], bukanlah masalah yang berkaitan dengan aqidah. 

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian kalangan (semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka menuju kebenaran) yang mengkategorikan permasalahan ini kedalam ranah aqidah. Sama halnya seperti apa yang terjadi dalam permasalahan tawassul dengan perantara Baginda Nabi Saw., yang akhirnya bermuara pada tudingan-tudingan “syirik” bahkan mereka tidak enggan mengkafirkan sesama muslim, hanya karena berbeda dengan mereka dalam urusan tawassul dan ziarah kubur Nabi Saw. Padahal, penghulu pemahaman mereka yakni Syaikh Ibn Abdil Wahhab-pun mengkategorikan permasalahan ini dalam ranah fiqhiyah, bukan I’tiqodiyah. 

Seperti yang diungkapkan oleh beliau bahwa “Adapun sebagian orang yang meringankan hukum bertawassul dengan orang shalih, atau sebagian orang yang mengkhususkan kepada Nabi Saw, sedangkan sebagian besar ulama ada yang melarang dan memakruhkannya, ketahuilah bahwa masalah ini hanyalah masalah fiqhiyah, dan yang benar menurut kami adalah pandangan jumhur yang memakruhkannya. Namun kami tidak mengingkari kalangan yang tetap melakukannya, karena tidak ada pengingkaran dalam urusan ijtihadiyah".[2]

Namun sangat disayangkan bahwa ada sebagian kalangan yang menisbahkan dirinya kepada golongan “salafiyah” yang menggolongkan perkara ziarah atau melakukan perjalanan jauh untuk berziarah di makam Nabi Saw kedalam urusan “iman atau kafir, bertauhid atau syirik”. Alhasil mereka terburu-buru dalam menuding sesat, kafir dan sirik kepada sesama muslim yang melakukan perjalanan jauh untuk berziarah tersebut, padahal didalam fatwa-fatwanya mereka sepakat membolehkan (masyru’) melakukan perjalanan jauh jika menziarahi masjid Nabawi, padahal Makam Baginda Nabi-pun di lokasi dan tempat yang sama. 

Karena pandangan yang salah dalam memposisikan urusan tawassul dan ziarah tersebut, mereka dengan mudahnya mereka menuding orang yang mengatakan: “aku mengadakan perjalanan jauh dengan niat menziarahi Nabi Saw, untuk bershalawat dan menyampaikan salam kepada beliau, melihat fakta sejarah tempat turunnya Wahyu pertama, melihat tanah dimana jihad dan keimanan bergemuruh”, serta merta mereka mengatakan itu adalah niat yang salah dan sama saja melakukan kesyirikan dan bid’ah. 

Bersamaan dengan itu mereka juga mengatakan, “sesungguhnya niat yang dibenarkan oleh syari’at adalah menziarahi masjid Nabi, maka jangan sekali-kali mengatakan bahwa aku berziarah kepada Nabi Saw, namun katakanlah; aku berziarah ke masjid Nabi untuk melakukan shalat”. 

Sungguh sangat mengherankan, bukankah masjid Nabawi itu adalah masjid Nabi Saw ? bagaimana mungkin mereka memisahkan antara Nabi Saw dan masjid yang didirikan bahkan tempat dimana Nabi Saw dimakamkan ? jika memang ziarah ke masjid Nabi memiliki fadhilah besar, bagaimana mungkin menziarahi pemilik sekaligus pendiri masjid tersebut dihukumi haram dan kufur ? 

Akhirnya, perlu difahami bahwa perbedaan pandangan dalam masalah ziarah kubur hanyalah sebatas masalah furu’ fiqhiyah, maka bukan merupakan tindakan dan sikap yang baik bila kalangan yang tidak memahami permasalahan ini dengan mudahnya menuding buruk, sesat bahkan kufur bagi kalangan yang melakukan safar untuk berziarah kepada Nabi Saw., dan bertawassul kepada Nabi Saw., ahli kubur Baqi’, Ma’la dan lainnya. Karena perbedaan dalam masalah furu’ tidak boleh disandingkan dengan tudingan yang tidak lain merupakan “konsekuensi I’tiqodiyah”. Semoga Allah melindungi kita semua dari jalan yang sesat dan penuh tipu daya. Wallahu A’lam. 

[1] Hadits ini terdapat didalam Shahih Imam Bukhari No 1189, juz 2 hal 60 dan Imam Muslim No 115, Juz 2 hal.1014. dengan lafaz Shahih al-Bukhari : 

- حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى " (رواه البخاري). 


[2] Fatawa Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab didalam Majmu’at al-Mu’allafat, Juz 3 hal.68. 

MENGEMBALIKAN KEJAYAAN ISLAM DAN MENINGGIKAN MARTABAT KAUM MUSLIMIN


Istilah Izzul Islam wal-Muslimin merupakan semboyan yang kerap digunakan untuk mendasari sebuah pergerakan dan pembelaan terhadap agama Islam. Disamping itu, semboyan ini juga selalu digunakan dalam upaya menyadarkan umat Islam dan menyelamatkannya dari keterpurukan, baik keterpurukan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik maupun keagamaan. 

Secara umum, Izzul Islam wal-Muslimin merupakan sebuah istilah yang bermakna “Menjayakan Agama Islam dan Meninggikan Martabat Kaum Muslimin” (Toto Tasmara, Menuju Muslim Kāffah, 2004). Semboyan ini tidak lain adalah respon terhadap keterpurukan umat Islam di era modern dan nyaris terkepung dalam buaian globalisasi. Dengan kata lain, semboyan ini merupakan gebrakan yang bertujuan membangunkan umat Islam dari tidur panjang untuk melakukan perlawanan terhadap keterpurukan umat Islam yang hari ini “nyaris” kembali kepada orde jahiliyah. 

Kondisi Jahiliyah Modern yang dihadapi umat Islam hari ini adalah kondisi dimana umat Islam tidak mengetahui kebenaran sehingga terjerumus kedalam kebatilan. Umat Islam dihadapkan dengan hidangan media masa bahwa umat Islam adalah “teroris, anarkis” dan tudingan-tudingan lain yang menyudutkan Islam. Hidangan hidangan ini adalah penebab utama munculnya penyakit Islamophobia (alergi Islam), sehingga umat Islam hari ini mulai malu dengan identitasnya sebagai umat muslim. 

Sebuah gambaran sederhana yang patut direnungkan, dizaman globalisasi era modern ini, ketika umat Islam dihadapkan dengan dua pilihan menghadiri majelis pengajian ilmu agama atau menyaksikan rilis film terbaru di bioskop. Kebanyakan umat Islam khususnya generasi muda jauh lebih banyak memilih menonton film di bioskop. Padahal generasi muda Islam adalah kekuatan besar untuk menopang dan melanjutkan perjuangan para ulama dan generasi diatasnya. Lalu apakah mungkin generasi muda muslim yang lemah itu mampu menjaga Izzah Islam wal-Muslimin ? 

Soal: Apakah unsur-unsur yang menjadi landasan kekuatan umat Islam ? 
Jawab: Indonesia adalah Negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, yakni mencapai jumlah 95% dari total 237.641.326 Juta penduduk Indonesia. Namun, dari tahun ketahun jumlah tersebut terus menurun, hingga pada tahun 2010 prosentase umat Islam di Indonesia menjadi 87% dari jumlah total penduduk Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan jumlah umat Islam disebabkan upaya kristenisasi dan upaya pemurtadan yan dilakukan oleh para misionaris dan kolonialis yang ingin kembali menjadikan Umat Islam “Hanya” sebagai tamu di Negeri sendiri. (Republika Online 9 Januari 2016). 

Hari ini umat Islam bisa melihat dengan jelas, siapa yang mendominasi berbagai sektor kehidupan di Indonesia, mulai dari sektor perdagangan, perusahaan besar, proyek Tol, dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa umat Islam tidak mendominasi sektor-sektor tersebut, tetapi justru menjadi “budak” asing dalam melancarkan misinya menjadi Penguasa Super Power. Satu hal yang perlu diketahui dan ditekankan adalah bahwa umat Islam yang hari ini lemah akan mampu bangkit kembali jika generasi mudanya mampu mendominasi sektor- sektor yang dikuasai oleh asing tersebut, diantaranya yakni sektor pendidikan, ekonomi, politik dan keagamaan. (Didin Hafiduddin Solusi Islam atas problematika ummat, 1998)

Soal: Mengapa kekuatan Islam itu perlu dikibarkan kembali ? 
Jawab: Belajar dari sejarah pada zaman penjajahan, tentu dapat dilihat fakta bahwa mayoritas pejuang yang berhasil merebut kemerdekaan Indonesia adalah para Ulama, Kyai dan Santri. Mulai dari K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan dan para santri seperti Bung Tomo dan lainnya. Tokoh-tokoh ini adalah perwakilan dari jutaan kaum muslimin yang memiliki semangat membara untuk melawan kekafiran dan penjajahan di Ibu Pertiwi. Oleh sebab itu, jika kaum muslimin lemah dan bersikap lentur sehingga para penjajah di era globalisasi ini menguasai umat Islam, maka tidak memungkiri kemungkinan bahwa penjajahan besar-besaran akan kembali terjadi. Oleh sebab itu umat Islam harus kembali membangun kekuatan dari berbagai segi kehidupan, keilmuan, intelektualitas, ekonomi, politik dan keagamaan untuk menjaga kelangsungan hidup yang damai dan sejahtera. 

Soal : Bagaimana cara musuh Islam menghancurkan umat Islam ? 
Jawab : Dalam upaya menghancurkan kekuatan umat Islam, musuh-musuh Islam memulai aksinya dengan menyulut api perang pemikiran. Umat Islam sengaja dibuat bingung dengan informasi-informasi media massa yang berbeda dari fakta. Dunia pendidikan Indonesia mulai disekulerkan (memisahkan pendidikan dengan agama). Dan menjajah ekonomi masarakat muslim. Sebagai sebuah contoh, berapa banyak persentase masyarakat muslim yang ketergantungan dengan “mart-mart” milik asing ? dan berapa banyak umat Islam memilih berhutang di warung tetangga dan membayar cash di alfmart dan sebagainya. Inilah cara musuh Islam memiskinkan dan membodohi umat Islam, yakni dengan “membuat umat Islam terpesona dengan kemegahan dan fasilitas yag nyaman”, dan ketika umat Islam sudah ketergantungan, maka disaat itu mereka akan menghabisi umat Islam. Wal’iazubillah. 

Soal : Bagaimana cara membangkitkan izzul Islam wal muslimin sebagai solusi problematika umat islam di era modern ini ? 
Jawab : Adapun cara ampuh untuk kembali membangkitkan Izzul Islam wal-Muslmin diantaranya ialah sebagai berikut : 

Memahami Kondisi umat Islam 

Sejatinya, umat Islam masih mungkin untuk bangkit menuju kejayaan kembali, ekonomi masih memadai dan memiliki sumber yang kuat. Namun permasalahannya iala tingkat intelektualitas generasi muslim yang semakin lemah sehingga lebih banyak mengadopsi peradaban dari luar Islam, yakni Barat. 

Mengidentifikasi Masalah Ummat 

Merosotnya prestasi cendikiawan muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam mengakibatkan merosotnya intelektualitas dibidang ekonomi, politik dan budaya. Inilah yang melatarbelakangi para cendikiawan muslim menawarkan solusi untuk kemajuan Islam, cendikiawan ini dibagi kepada dua bagian : pertama, cendikiawan yang berusaha memperbaharui bidang social budaya dan politik sebagaiana dilakukan oleh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Sanhuri Pasha, dan al-Maududi. Kedua, kelompok cendikiawan yang menitikberatkan pada bidang pendidikan dan pemaaman ulang ajaran Islam. Inilah yang dilakukan oleh Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, dan para ulama lainnya. Dan dalam pengembangan intelektual Islam mislanya Sultan Mahmud II, Pasha Muhammad Ali diMesir dan lainnya. Dan sisanya cendikiawan yang berkonsentrasi pada bidang ekonomi seperti Umer Chapra, Kursyid Ahmad dan sebagainya. 

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Izzul Islam wal-Muslimin dapat dibangkitkan dengan mengembangkan tradisi keilmuwan, agama, ekonomi dan aspek lainnya yang dimulai dari generasi muda atas dukungan para orang tua. Wallahu A’lam.