Kamis, 27 April 2017

ADA APA DIBULAN SYA’BAN ?

Seri 1: Perpindahan Arah Kiblat

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram… (Qs.At-Taubah : 36)

Ayat al-Qur’an diatas menjelaskan bahwa dalam rentang satu tahun ada dua belas bulan yang ditentukan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi. Diantra dua belas bulan tersebut ada empat bulan yang diagungkan dan dimuliakan. Imam Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan bahwa empat bulan yang dimuliakan itu ialah bulan Rajab, Zulqo’dah, Zulhijjah, dan Muharrom. Keempat bulan ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu. Karena kemuliaan bulan-bulan tersebut, maka orang jahiliyah mengharamkan perang, dan membunuh didalamnya. (Jami’ul Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 14 hal 234)

Tidak berhenti sampai disitu, ketika Rasulullah diutus, beliau juga merekomendasikan bulan-bulan tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; “…dalam satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya ada 4 bulan haram, tiga diantaranya berturut-turut yakni Zulqo’dah, Zulhijjah, dan Muharram, dan bulan Rajab..” (Shahih Al-Bukhari No 3197, Juz 4 hal.107). 

Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir jahiliyah tidak boleh diikuti, kita perlu melihat apakah ada rekomendasi dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw., terkait perbuatan tertentu yang sempat dilakukan oleh orang kafir jahiliyah. Namun, keberadaan rekomendasi ini tidaklah berarti membenarkan cara-cara orang jahiliyah dalam mengagungkan bulan haram. Namun tetap harus mengikuti pedoman dan petunjuk Syari’at dalam mengagungkannya. Adapun cara mengagungkannya ialah dengan memperbanyak ibadah terkhusus pada bulan-bulan tersebut, menjauhi ma’siat dan larangan Allah Swt,. baik dilakukan dengan berpuasa, bersedekah dan amal-amal kebaikan lainnya. Namun bukan berarti selain bulan yang empat itu boleh melakukan maksiat, namun perlu ditekankan bahwa kemaksiatan yang dilakukan pada empat bulan haram jauh lebih besar dosanya, demikian juga kebaikan yang dilakukan didalam bulan haram, tentu ganjarannya lebih besar.

Selain keempat bulan tersebut, Rasulullah juga memuliakan bulan lainnya. Diantaranya ialah bulan Sya’ban. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Imam an-Nasa’i dari Usamah bin Zaid; “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa di suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban, lalu Rasulullah bersabda: Bulan ini banyak dilupakan manusia ia adalah bulan diantara Rajab dan Ramadhan, ia adalah suatu bulan dimana pada saat itu amal perbuatan manusia dilaporkan kepada Allah Swt., dan aku ingin ketika amal perbuatanku dilaporkan, aku dalam keadaan berpuasa”. (Sunan al-Kubro, No.2676, Juz 3 hal.176)

Pertanyaannya, mengapa Rasulullah berpuasa pada bulan Sya’ban ? Tentulah karena pada bulan tersebut selain diangkatnya amal kepada Allah Swt., juga ada peristiwa-peristiwa agung lainnya yang terjadi. Diantara peristiwa-peristiwa tersebut ialah : 

Perpindahan arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah

Dahulu pada awal Rasulullah hijrah ke Madinah, umat Islam masih melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis sebagai qiblat, menurut imam Al-Busthi, lebih kurang hal ini berlangsung selama 17 bulan 3 hari. (Maaza fi Sya’ban, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki). Masalahnya, Baitul Maqdis adalah kota yang sejak lama sudah diagungkan dan menjadi sumber kehidupan kaum Yahudi Madinah. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ajaran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak lain hanya jiplakan dari ajaran Nabi terdahulu, sehingga mereka tidak menghormati Nabi Muhammad. 

Dalam riwayat lain, seperti yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalhah: “ketika Rasulullah tiba di Madinah, kebanyakan penduduk Madinah adalah orang Yahudi, lalu Allah memerintahkan baginda Nabi agar menghadap Baitul Maqdis Sebagai Qiblat, sontak melihat hal tersebut orang yahudi Madinah merasa senang. Namun Rasulullah lebih menyukai Qiblat Ibrahim (Masjidil Haram) (Bisa jadi disebabkan karena ejekan dan olokan orang Yahudi *pen) (Al-Wahidi, Asbabun Nuzul al-Qur’an, Juz 1 hal.39). 

Hal ini tentu menimbulkan rasa gelisah dalam hati Nabi Saw., sehingga beliau bermunajat kepada Allah agar menurunkan wahyu untuk menghilangkan kegelisahannya. Hingga akhirnya Allah Swt menurunkan wahyu Q.s al-Baqarah 144; “Sesungguhnya kami sering melihat wajahmu menengadah ke-langit, maka kami sungguh akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”. 

Setelah wahyu terkait pemindahan arah qiblat ini diterima Nabi Muhammad, orang-orang yahudi dan munafik mengatakan bahwa ajaran Baginda Nabi tidak teguh pendirian sehingga arah qiblat bisa dipindah-pindahkan, berbagai macam tudingan lain juga disematkan kepada agama Islam dan Nabi Muhammad Saw,. Hingga Allah turunkan wahyu Q.s al-Baqarah 115; “Kepunyaan Allah-lah Barat dan Timur, maka kemanapun engkau menghadap maka engkau tetap menghadap Allah, sesunguhnya Allah Maha luas rahmatnya lagi Maha mengetahui”, untuk meneguhkan hati Baginda Nabi Saw,. 

Demikian juga Qs. Al-Baqarah ayat 142; “Akan berkata orang-orang safih/bodoh, dari manusia itu: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat yang telah ada mereka padanya ?”, katakanlah; “kepunyaan Allah Timur dan Barat. Dia memberi petunjuk siapa yang dia kehendaki kepada jalan yang lurus”. 

Soal : Bagaimana status ibadah dan iman orang-orang yang meninggal ketika qiblat Rasulullah masih menghadap baitul maqdis ? 

Jawab : Berkata Ibnu Abbas dari riwayat Al-Kalbiy, ada beberapa sahabat Rasulullah yang wafat sebelum perpindahan qiblat ke Masjidil Haram, diantara mereka ialah As’ad bin Zurarah, Abu Umamah dari Bani Najjar, Bara’ bin Ma’rur dari Bani Salamah dan beberapa lainnya, maka ketika perpindahan arah qiblat, datanglah seorang utusan mereka bertanya kepada Rasulullah terkait status ibadah dan iman saudara mereka yang sudah wafat tersebut. Maka Rasulullah menjawab dengan firman Allah Swt, “dan Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan keimanan kamu semua” (Qs.Al-Baqarah, 143). Berdasarkan riwayat ini jelaslah bahwa orang yang wafat sebelum perpindahan qiblat tetap wafat dalam Islam dan Allah tidak menyia-nyiakan iman mereka. (Al-Wahidi, hal.43)

Akhirnya, pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini ialah, Rasulullah tidak akan mengamalkan sesuatu jika memang tidak ada arti dan manfaatnya. Khusus untuk puasa pada bulan Sya’ban, perpindahan arah qiblat merupakan peristiwa besar bagi Nabi dan Umat Islam, yang tentu harus diperingati dengan hati yang bahagia sebagai rasa syukur atas berkah dan rahmat Allah Swt. demikian juga dengan membesarkan hari-hari atau bulan lainnya dengan ibadah, hal itu adalah salah satu bukti kita mengikuti petunjuk Rasulullah Saw,. Wallau A’lam.