Kamis, 13 Oktober 2016

Download Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA (Rubrik Pemikiran Islam)


Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA adalah rubrik di majalah REPUBLIKA yang membahas tentang pemikiran Islam dan isu-isu kontemporer. Isu-isu tersebut dikaji dari sudut pandang Islam. Tentunya Rubrik ini sangat bermanfaat untuk membentuk wawasan baru mengenai wacana pemikiran Islam. disamping sebagai respon dan kounter dari pemikiran Barat. Segera download Rubrik ISLAMIA REPUBLIKA dalam bentuk PDF Disini

ILMU DAN URGENSI SANAD DALAM TRADISI INTELEKTUAL ISLAM


Tradisi keilmuan Islam memiliki banyak keistimewaan dibandingkan tradisi keilmuan Agama lain. Diatara keistimewaan tersebut ialah adanya tradisi pemberian sanad dari guru kepada murid berkaitan dengan ilmu yang dipelajari. “Sanad” secara etimologi berasal dari kata dasar sanada, yasnudu(يسند سند), artinya: “sandaran” atau “tempat bersandar” atau “ tempat berpegang” atau berarti “yang dipercaya” atau "yang sah”.(Ibnu Mundzir, Lisan al’Arab, Juz: VII,hal: 85). Adapun secara istilah, Sanad ialah silsilah matarantai orang-orang yang menyampaikan pada matan atau ilmu. (Thahan, Tasyiir Mushtalahul Hadist, hal: 16). Sanad merupakan salah satu upaya agar ilmu Islam tetap terjaga kemurnian dan pemahamannya dari perkara-perkara yang merusak ilmu itu sendiri. Habib Jindan Bin Novel dalam salah satu majelisnya menjelaskan bahwa setidaknya sanad dalam tradisi keilmuan Islam dibagi kepada dua kategori, yakni sanad kitab dan sanad pemahaman. Sanad kitab ialah sanad yang menghubungkan seseorang kepada sebuah kitab, misalnya sanad kitab At-Tibyan karangan Imam an-Nawawi. Sedangkan sanad pemahaman ialah silsilah yang menghubungkan seseorang yang mempelajari suatu ilmu agar pemahaman terhadap ilmu tersebut sama dengan pengarang kitab atau pencetus ilmu terkait. Dengan demikian seseorang belum boleh mengajarkan kitab atau ilmu tertentu kepada orang lain sebelum mendapat sanad pemahaman dari guru yang memiliki silsilah atau belajar kepada pengarang sebuah kitab tertentu. 

Sanad dalam kaitannya dengan pemeliharaan pemahaman Agama merupakan representasi dari riwayat Imam Ibnu Al-Mubarak. Riwayat tersebut kemudian dinukil oleh Imam Muslim didalam muqaddimah Sahih Muslim, beliau mengatakan,“Sanad itu bagian dari Agama, kalaulah tidak dengan sanad maka siapapun akan berkata sesuka hatinya” (Sahih Muslim, Juz I. h.15). Ungkapan ini merupakan penguat bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, sanad memiliki urgensi yang sangat penting, karena dengan adanya sanad maka pemahaman mengenai ilmu-ilmu Agama akan tetap sesuai dengan sumbernya. 

Lebih lanjut Sayyid Alwi As-Saqqaf didalam Fawaid al-Makiyyah menjelaskan bahwa, dalam pemberian sanad pemahaman maupun sanad kitab, setidaknya ada empat cara yang biasa digunakan para ulama. Diantaranya yakni, (1) Pemberian sanad dari khusus kepada umum. Misalnya, Saya ijazahkan kepada seluruh mahasiswa UNIDA sanad kitab Tuhfatul Murid karangan imam Al-Baijuri. (2) Pemberian sanad dari umum kepada umum. Misalnya, Saya Ijazahkan sanad seluruh kitab karangan Syaikh Nawawi Banten kepada seluruh mahasiswa UNIDA. (3) Pemberian sanad dari khusus kepada khusus. Misalnya, Saya Ijazahkan kepadamu Ahmad kitab Sabilal Muhtadin karangan Syaikh Arsyad Al-Banjari. (4) Pemberian sanad dari umum kepada khusus. Misalnya, Saya ijazahkan kepadamu Ahmad, seluruh kitab karangan Syaikh Nuruddin Al-Banjari”. Dari beberapa cara pemberian sanad diatas jika diurutkan, pemberian sanad yang paling kuat ialah dari khusus kepada khusus, umum kepada khusus, khusus kepada umum dan umum kepada umum. 

Salah satu cara para ulama menjaga ilmu adalah dengan memperkuat sanad. Artinya, tidak menutup kemungkinan seorang ulama memiliki puluhan sanad yang berbeda untuk satu kitab sekaligus pemahamannya. Hal ini terus berlangsung hingga saat ini didalam multaqo dan majelis ilmu baik di Nusantara maupun di berbagai Negara di Dunia, dan selama tradisi ini tetap terjaga, maka kualitas keilmuan seseorang akan teruji dan memiliki landasan yang kuat. Inilah mengapa otoritas keilmuan para ulama terahulu masih terus terjaga, karena masih saja ada murid dan ahli sanad yang memeliharanya. 

Tradisi semacam ini di era modern telah mendapat tantangan dan hambatan besar. Tidak banyak generasi muslim yang tertarik meneruskan tradisi ini. Alhasil, kebanyakan dari pemuda muslim tidak mengetahui dari mana ia mendapatkan suatu ilmu dengan jelas. Maka bukan hal yang mengherankan jika banyak generasi muda yang keilmuannya tidak membawa berkah, sebagaimana perkataan Imam Ibnu al-Mubarak diatas “Siapapun akan mengatakan apa yang dia kehendaki”, alhasil, kualitas ilmu generasi muda sudah sangat jauh dari kriteria otoritatif. Sama halnya dengan hadits Nabi Saw,. Jika sanadnya tidak jelas, maka kualitas hadits itu bisa menjadi dha’if bahkan maudhu’, meskipun hadits yang diriwayatkan benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw,. 

Meskipun demikian, generasi intelektual muda harus kembali membangkitkan tradisi keilmuan bersanad dimanapun ia belajar. Hal ini demi tujuan mulia menjaga otentisitas keilmuan Islam agar terjaga dari fitnah dan tudingan, baik dari dalam maupun luar Islam. Perkembangan kajian-kajian pemikiran Barat yang semakin hari terus meresahkan, tampaknya melalaikan generasi muda untuk mempertahankan peradabannya sendiri, padahal disamping pengkajian yang bertujuan mengkounter pemikiran Barat, umat Islam juga perlu didekatkan dengan tradisi turath, tradisi sanad, multaqo fiqih, hadis, tauhid dan lainnya dengan menerapkan sistem yang beradab. Senada dengan ungkapan Syed Naquib Al-Attas, bahwa hilangnya identitas peradaban Islam disebabkan pudarnya Adab dalam diri setiap muslim. Adab dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali didalam Ihya’ ‘Ulumuddin yang meliputi adab kepada diri sendiri, guru, lingkungan dan adab kepada ilmu. Jika salah satu pondasi adab ini hilang, maka berkurang pula kualitas dan otoritas keilmuan seseorang. 

Jika ditelusuri sejarah Imam Al-Ghazali, seorang Sufi sekaligus Filosof masyhur di dunia Internasional ternyata mendirikan dua madrasah di kediamannya, yakni madrasah Sufi dan madrasah Intelektual. Madrasah sufi diperuntukkan bagi ahli ibadah yang mengkhususkan diri untuh beribadah dan mendalami ilmu pensucian hati. Adapun madrasah intelktual diperuntukkan untuk orang-orang yang mendalami berbagai kajian keimuan Islam, ilmu alat, filsafat, kalam, dan lain sebagainya. Tindakan imam Al-Ghazali setidaknya memberikan dua pelajaran bagi generasi sesudahnya, pertama, tradisi intelektual harus tetap seimbang antara ilmu intelektual dengan penanaman ilmu tasawuf. Kedua, seorang intelektual muslim selain mumpuni dalam ilmu fardhu ‘Ain, juga harus menguasai Ilmu Fardu Kifayah agar dalam jiwa setiap muslim ada keseimbangan yang sulit digoyahkan musuh-musuh Islam. 

Akhirnya, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam hari ini berada ditengah berbagai macam tantangan dalam menjalani kehidupan berAgama. Artinya, umat Islam harus menyiapkan genrasi-generasi yang berkompeten dalam menghadapi berbagai tantangan tesebut dengan menghidupkan kembali tradisi keilmuan sebagaimana yang dilakukan para ulama terdahulu. Menciptakan keseimbangan dan menghilangkan berbagai dikotomi ilmu yang melemahkan intelektual genrasi muslim. Jika pada masa para ulama terdahulu, peradaban Islam berkembang pesat meskipun teknologi sangat minim, maka hari ini sudah saatnya umat Islam kembali bangkit, memanfaatkan berbagai fasilitas untuk menunjang kebangkitan peradaban Islam yang bergengsi, intelek, dan bermartabat. Wallahu A’lam.

Jumat, 07 Oktober 2016

FREE DOWNLOAD..!!!! E-Book "Ngeblog Seru Ala Mas Opik (Edisi Revisi)


Islam menuntut Umatnya untuk berfikir dan berbuat. berfikir memaknai arti kehidupan, berfikir mengenai problematika, serta menyibukkan diri melahirkan solusi dan gebrakan untuk membela Islam dari berbagai tudingan miring dalam dunia pemikiran. Buku ini saya kumpulkan dari tulisan Blogmasopik.blogspot.co,id khusus pada bagian Islamic Worldview. Silakan download disini dan selamat membaca ....!!!!