Menyingkap kekacauan berfikir Kaum Liberal
Tidak ada kitab suci yang sedemikian besar pengaruhnya terhadap masyarakat dan begitu penting perannya dalam sejarah peradaban manusia selain Al-Qur’an. Dari abad ke abad, kitab suci ini telah menjadi sumber inspirasi para penuntut ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya, para Ulama tak habis-habis membahasnya. Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab suci yang menyatakan bahwa dirinya bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhan isinya (wa inna lahu lahafizun), dan tidak akan mungkin dibuat tandingannya (Laa ya’tuuna Bimitslihi). Ia ibarat kompas pedoman arah dan petunjuk jalan, laksana lentera penerang jalan. Barangkali keistimewaan inilah yang membuat para Orientalis (Orang yang mengkaji Islam dengan Ideologi Barat), Non-Muslim, Yahudi,Liberal dan Kristen menjadi iri dan dengki sehingga berupaya merusak nilai-nilai al-Qur’an.
Soal : Bagaimana Kedudukan Al-Qur’an dimata kaum Liberal ?
Jawab : Bermula dari Liberalisasi pemikiran, dimana manusia dituntut untuk berfikir bebas tanpa keterikatan dengan apapun. Bebas berbicara, bertindak dan bebas menafsirkan teks-teks agama. Semua tindakan ini dinaungi oleh payung HAM yang tidak lain merupakan program universal, (Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional,2012). Dari Liberalisasi berlanjut ke sekularisasi, dimana agama tidak lagi bisa dibawa dalam ranah akademik dan pemerintahan, termasuk dalam menafsirkan teks-teks agama-pun tidak lagi boleh melibatkan Tuhan. Alasan yang digunakan sangat klasik, “karena urusan Tuhan adalah perkara metafisik” dan tidak dapat diterima secara empiris (nalar). Dengan demikian, adalah sebuah ketidak mungkinan mengkaji al-Qur’an dengan melibatkan Tuhan, sedangkan Tuhan tidak dapat djangkau akal. Inti dari sekularisasi pemikiran islam adalah “desakralisasi teks agama”, dan yang pertama terkena imbasnya adalah al-Qur’an.
Desakralisasi adalah memandang bahwa tidak ada yang suci dan perlu disucikan di dalam dunia, termasuk segala aspek agama (Hamid Fahmy: Misykat,2012). Jadi titik dasar pengkajian al-Qur’an diakalangan orientalis Barat adalah menghilangkan kesucian al-Qur’an dengan cara menjadikannya sebagai teks sastra sejenis puisi dan lain-lain (Islamlib.com/al-Qur’an Teks Sastra). Dengan demikian, al-Qur’an dimata kaum liberal tidak lain daripada teks biasa yang tidak memiliki kesucian /sakralitas sama sekali. Maka bukan hal yang mengherankan bila kaum liberal dengan seenak perutnya menafsirkan al-Qur’an, bahkan bukan hal yang sulit bagi mereka berbicara buruk tentang al-Qur’an.
Soal : Mengapa penistaan agama (misal: menghina al-Qur’an) menjadi hal biasa bagi kaum liberal ? padahal mereka muslim …?
Jawab : sebagaimana keterangan diatas, bahwa dimata kaum liberal al-Qur’an tidak lebih dari teks sastra. Maka menghina al-Qur’an dimata mereka sama saja seperti menghina sya’ir lainnya. Brad Thor, salah seorang penulis novel yang cukup produktif pernah menulis “The Last Patriot, Triller”. Novel ini berisi tudingan miring terhadap al-Qur’an dan agama Islam yang dibuat dalam bentuk fiksi. Salah satu point didalam novel ini ialah ungkapan, “pada bulan juni 632 M, Nabi Muhammad menerima wahyu terakhir, beberapa hari kemudian Ia terbunuh, dan wahyu terakhir itu-pun hilang. Robert Spencer didalam Islam Unveiled (Islam Ditelanjangi, Paramadina) menggambarkan bahwa al-Qur;an adalah kitab yang tidak memiliki konsep damai dengan kafir musyrik. Bahkan nyaris memusuhi orang kafir, dan al-Qur’an adalah sumber kekerasan.
Karena pandangan ini, mereka mengambil kesimpulan bahwa membakar al-Qur’an adalah solusi terbaik untuk menghilangkan sikap Intoleransi Islam kepada orang kafir. Untuk memuluskan misi ini maka mereka harus memBaratkan atau mensekulerkan orang muslim. Upaya ini telah berhasil sehingga banyak pemikir muslim yang justru dengan mudahnya mencaci bahkan mengamini upaya penistaan terhadap al-Qur’an, melempar, bahkan membakar al-Qur’an. Dan orang-orag seperti ini saat ini banyak di institusi pendidikan tinggi.
Soal : Siapakah tokoh studi al-Qur’an dari kalangan liberal yang paling dikenal dalam Institusi Pendidikan Tinggi Islam ?
Jawab: Nashr Hamid Abu Zaid, seorang cendikiawan asal mesir adalah salah satu diantara ribuan tokoh liberal yang sangat dikenal di kalangan institusi pendidikan tinggi islam. Khususnya fakultas-fakultas studi al-Qur’an yang menggunakan hermeneutika sebagai salah satu metodenya. Nashr Hamid adalah seorang doktor lulusan Universitas Kairo yang divonis murtad oleh pengadilan Negara Mesir . Al-Qur’an dalam pandangan Nashr Hamid adalah teks sastra, lebih dari itu ia adalah produk budaya Arab (Muntij Thafaqi). Ia mendasari pandangan nya dengan mengatakan bahwa periode antara turunnya al-Qur’an, pembukuan dan pemberian harkat memakan waktu yang terpisah dengan rentang cukup lama. Dalam rentang tersebutlah al-Qur’an difahami sesuai dengan aspek budaya masyarakat. (Nashr Hamid, Voice of fan Exile, /reflections of Islam).
Berdasarkan alasan inilah ia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Karena menurutnya al-Qur’an adalah teks sastra, maka metode yang digunakan dalam mengkaji al-Qur’an-pun adalah metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nushus al-lughawiyyah al-adabiyyah). Metode ini adalah salah satu dari metode hermeneutika. Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya metode yang unggul dalam “memanusiawikan” teks-teks al-Qur’an. Jadi, pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur’an harus diadaptasikan dengan kebutuhan manusia, karena ia sendiri diturunkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Tokoh lain yang terkenal dengan metode ini ialah Muhammad Arkoun. Ia memandang bahwa kajian tafsir al-Qur’an adalah metode kuno yang sangat ketinggalan dari metode studi bible (Biblical Criticism). Baginya melakukan dekonstruksi (merombak ulang) al-Qur’an adalah sebuah ijthad. Sebelum mereka berdua, penghujatan al-Qur’an telah didahului oleh Leo III, seorang kaisar Bizantium (717-741), Johannes dari Damaskus (652-750), ‘Abdul Masih al-Kindi (873), Petrus Venerabilis (1094-1156), Ricoldo da Monte Croce (1243-1546) dan Martin Luther (1483-1546).
Soal : Apakah metode yang ditawarkan Barat dalam mengkaji al-Qur’an ?
Jawab : Diantara metode yang ditawarkan dalam mengkaji al-Qur’an ala Barat yang paling pouler ialah metode Hermeneutika, atau bisa juga disebut metode kritik bible (Biblical Criticism). Para sarjana Barat, sudah mulai menggunakan metode ini dalam studi al-Qur’an sejak abad ke- 19 M. Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan biblical criticism kedalam al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m.1874), seorang pendiri yahudi liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis sebuah buku berjudul what hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen ? (Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi ?). dalam buku tersebut ia mengungkapkan bahwa sumber-sumber agama islam dapat ditemukan didalam agama Yahudi. Inti dari metode yang mereka pergunakan dalam mengkaji al-Qur’an adalah metode “kritik teks” sebagaimana yang mereka lakukan terhadap “Bilble”.
Soal : Dimanakah letak kerancuan metode yang digunakan Barat dalam mengkaji al-Qur’an dan apa implikasinya bagi umat islam ?
Jawab : Desakralisasi adalah poin utama yang penting dibahas. Karena semua permasalahan ini bermula dari upaya menghilangkan kesakralan/kesucian al-Qur’an. Wacana ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari pemikiran islam Postmodernisme, dimana mereka sudah tidak lagi mempercayai kebenaran mutlak, namun entah kenapa mereka merasa bahwa postmodernisme adalah sebuah kebenaran yang mutlak dan patut dibenarkan. Islam berangkat dari yang absolut (Wahyu Allah) melalui jalan metafisika yang jelas. Sedangkan postmodernisme berangkat dari peniadaan absolutism dan penolakan seluruh hal yang metafisik (diluar nalar). Pertanyaannya, bagaimana mungkin Barat dapat mengkaji al-Qur’an dengan benar, sementara mereka tidak lagi meyakini keberadaan “kebenaran” itu sendiri.
Artinya, “kebenaran” di alam pikiran Barat pun menuai problematika. Maka bukanlah hal yang mengherankan bila mereka meragukan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang suci. Problematika ini mendorong mereka menggunakan metode studi Bible dalam mengkaji al-Qur’an. Padahal Bible dan al-Qur’an tentulah berbeda. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan sampai kepada kita saat ini. Dimanapun, al-Qur’an tetap sama dan tidak terdapat perbedaan selain qira’ah yang masyhur. Sedangkan Bible tidak lain adalah penafsiran Paus/Bulish yang merupakan gabungan dari kitab-kitab terdahulu yang “diinterpretasi” dengan akal sendiri hingga menghasilkan Bible. Maka bukan hal yang mengherankan bila Bible itu sendiri berbeda-beda dan banyak macamnya. Jika Bible tidak lagi Sakral dan memang tidak pernah sakral, maka layakkah metode studi bible yang dikenal dengan hermeneutika diterapkan pada al-Qur’an yang jelas kesakralannya ?.
Petama : Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan (rasm/writing) tetapi merupakan bacaan (qira’ah/recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. Demikian juga cara penyampaian dan periwayatannya pun dengan bacaan dan hafalan. Adapun teks yang tertulis hanya berfungsi sebagai penunjang belaka. Meskipun demikian, karena mushaf adalah lambang dari al-Qur’an, maka kesucian, kesakralan dan kemuliaannya sama dengan al-Qur’an dalam makna bacaan itu sendiri. Kesalahan utama dari kaum liberal adalah mendudukkan al-Qur’an sebagai teks. Mereka memandang al-Qur’an diturunkan dalam bentuk teks, sehingga merasa metode Bible adalah metode canggih dan modern dalam mengkaji al-Qur’an.
Kedua : kesalahpahaman orientalis dan sarjana Barat mengenai rasm dan qira’at. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tulisan Arab mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca walau sedikitpun. Meskipun demikian, rasm ‘Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat para sahabat belajar al-Qur’an langsung kepada Rasulullah. Dan kaum muslimin belajar dari para Sahabat dan seterusnya dengan metode qira’ah, yang diaplikasikan dengan rasm.
Akhirnya, Imam Ibnu Katsir (w.774 H) menjelaskan bahwa kodifikasi al-qur’an tidaklah semata-mata hasil karya sayidina ‘Usman, melainkan hasil dari kesepakatan sahabat seluruhnya, bahwa seperti itulah yang diajarkan dan diriwayatkan dari Rasulullah Saw,. Baru setelah itu al-Qur’an diperbanyak dan disebarkan keseluruh kawasan islam hingga yang ada ditangan kita saat ini pun adalah sama dengan apa yang diwahyukan Allah Kepada Rasulullah. (Ibn Katsir, Fadhailul Qur’an didalam Tafsir Qur’an al-‘Azhim, juz 7. h.450). dengan demikian, metode studi al-Qur’an ala Barat adalah sebuah “Kecelakaan Intelektual yang direncanakan dan dirancang” sedemikian mungkin untuk mengancurkan Islam. Wallahu A’lam…