Senin, 19 September 2016

Orientalis, Al-Qur'an dan Tafsir Keraguan


1. Sekilas Epistemologi

Secara etimologi, Epistemologi berasal dari bahasa yunani “Episteme” yang artinya pengetahuan dan “Logos” dengan makna ilmu atau teori.[1] Dari dua rangkaian kata ini epistemologi dapat diartikan “Teori Pengetahuan”. Atas dasar makna ini, maka dapat disimpulkan bahwa Epistemologi adalah teori mengenai atau tentang pengetahuan.[2] Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam pengkajian sebuah ilmu, epistemology memiliki peranan yang sangat penting, yakni untuk mengetahui bagaimana seseorang mengetahui. Jika dalam tahapan ini gagal, maka seseorang akan terus mengalami kegagalan dalam memperoleh kesimpulan dari sebuah masalah yang dihadapi. 

Mengutip keterangan Dr.Syamsuddin Arif yang terkenal dengan teori Kanker Epistemologinya, setidaknya beliau membagikan patologi kanker ini dalam tiga bagian, yakni Skeptisme yang memandang bahwa tidak ada satupun kebenaran. Relativisme yang memandang bahwa semua orang benar, dan yang ketiga Agnostisme siapapun tidak bisa mengetahui kebenaran”.[3] Artinya, penderita kanker epistimologi selalu berangkat dari keraguan dan menetap pada keraguan tersebut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali, meskipun ia sama sama berangkat dari keraguan sebagaimana Descartes, namun Imam Al-Ghazali tidak duduk diam dalam keraguan, melainkan terus berjalan menuju keyakinan.[4]

Sangat disayangkan bahwa kebanyakan orientalis mengkaji suatu ilmu khususnya ilmu-ilmu islam, selalu berangkat dari epistimologi yang sudah terkena kanker. Baik itu relativist, skeptisist, maupun agnostics. Hasilnya adalah keracuan dan kebingungan intelektual, bisa juga dikatakan kebanyakan manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemology selalu terperosok dalam berbagai kesulitan.[5] Disinilah kemudian diperlukan Worldview yang benar dalam mengkaji islam, yakni Islamic Worldview. Sungguh tidak layak dan tidak sesuai jika ilmu islam dikaji dengan Western Worldview, diibaratkan seseorang yang menghitung harga sebatang kayu ukuran 2x3 dengan harga Pass Photo 2x3, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang rancu dan nyaris salah. 

2. Antara Keraguan dan Keyakinan

Jika Anda menanyakan pada seseorang yang memiliki keyakinan terhadap ideologi tertentu, tentu ia akan menjawab dengan alasan yang mungkin saja berbeda dengan Anda. lalu apakah penyebab perbedaan itu ? inilah yang disebut "pandangan alam", setiap orang yang berbeda pandangan alam, pasti akan menyimpulkan suatu masalah dengan kesimpulan berbeda, dan tentunya ia yakin dengan kesimpulan itu. Lalu ada apa dengan pandangan alam ? bisa dikatakan sebagian orang mungkin memandang alam sebagai satu bentuk, namun sebagian yang lain mungkin memandang dari berbagai bentuk dan sudut pandang, maka wajar kalau hasil nya berbeda.[6]

Lantas apa solusinya ? solusinya adalah, kita harus kembali kepada Epistimologi (Teory of Knowledge). dari sini kita bisa mengetahui mana epistimologi yang sehat, epistimologi yang sakit (terkena kanker epistimologi) dan epistimologi yang kurang sehat (tidak memahami ilmu dengan benar dan mendalam). setelah itu baru bisa ditarik mana epistimologi yang benar dan eistimologi yang salah. plus kita mengetahui apa itu epistimologi yang benar dan epistimologi yang salah, apakah mungkin kita bisa mengetahui sebuah kebenaran ? tentu saja mungkin. Jika Anda memulai dari Worldview dan epistimologi yang bersumber dari "Panca Indra, Akal, dan Khobar Shodiq" Anda akan bisa mengetahui sesuatu itu benar atau salah.

Lebih Lanjut Al-Attas mengungkapkan bahwa "Kebenaran ialah pengenalan dan pengakuan terhadap kebenanaran yang melazimkan seseorang mentahkikkannya dalam diri. dan mengenal kebenaran ini dapat diperoleh karena kebenaran itu jelas sebagaimana yang ditangkap oleh indera ruhani yang kita namai qalbu, yakni bersumber dari petunjuk Ilahi,yang dibuat dengan pertimbangan akal dan burhan istidlali, Bukan sebuah pengandaian.[7]

3. Orientalis dan Studi Alqur’an 

Dengan menggunakan Biblical kriticsm sebagai framework untuk mengkaji Alqur’an, maka para sarjana Barat menggugat Mushaf ‘Uthmani yang selama ini diyakini kebenarannya ole kaum muslimin. Dibawah ini akan dikemukakan secara detil bagaimana metode kritis historis yang sudah mapan didalam studi Bible diterapkan ke dalam studi Al-Qur’an. Diatara kajian utama yang dilakukan oleh para sarjana Barat ketika mengkaji Al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Salah seorang toko dalam studi kritis sejarah Al-Qur’an adalah Arthur Jeffery (m.1959), seorang orientalis berasal dari Australia. Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan sejara kitab-kitab suci yang lain. Alqur’an menjadi teks stAndard dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat, dan tindakan masing-masing komunitas agama. demikian pula yang dilakukan oleh Kristen, mereka menjadikan dan menciptakan sendiri beragam variasi teks untuk perjanjian baru. Teks perjanjian baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria, tex netral, teks barat, teks kaisarea, dan masing masing memiliki varian bacaan tersendiri.[8]

Sisi lain dari kajian orientalis adalah menngkaji Alqur’an sebagai “Teks Sastra”. Pendekatan Sastra Al-Qur’an dimotori oleh Amin al-Khuli paruh akhir abad ke 20. Keseriusannya dalam mengkaji Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan al-Khuli yang bicara tentang bahasa dan sastra. Karyanya yang paling penting dalam kritik sastra adalah al-Adab al- Mishri (1943) dan Fann al-Qaul (1947). Keduanya adalah upaya al-Khuli untuk mendekonstruksi wacana sastra Arab dimana point terpenting nya adalah ada dua metode sastra yang dikedepankan, ,etode kritik eksentrik (Naqd al-Khariji) dan kritik intrinsic (Naqd al-Dakhili). Hal ini lahir dari semboyan yang ia ciptakan yakni “awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara total dan menghidupkan budaya kritik terhadapnya”.[9]

4. Kekeliruan Orientalis Dalam Studi Al-Qur’an

Kitab suci Al-Qur'an menjelaskan secara rinci bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan untuk satu tujuan agar menyembah Allah, tetapi dalam mitologi Yahudi semua alam ini diciptakan untuk menghidupi anak cucu bani Israel saja. Selain itu, nabi-nabi bani Israel dianggap terlibat dalam membuat gambaran tuhan-tuhan palsu (Aaron) dan bahkan dalam skAndal perzinaan (David), sedangkan Islam menegaskan bahwa semua Nabi-Nabi memiliki sifat kesalehan. Sementara, konsep trinitas dalam agama Kristen-dengan anggapan Jesus seperti terlihat dalam gambaran ajaran gereja sama sekali bertentangan dengan keesaan Allah dalam ajaran Islam. Kita akan paparkan sifat kenabian dalam ajaran Islam yang akan jadi dasar utama adanya perbedaan nyata antara Islam dan kedua agama itu yang mengalami pencemaran dari konsep monoteisme. 

Kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan semua ayat-ayat Al-Qur'an mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasakan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada sekarang, kita sedang dikepung oleh badai- angin ribut yang mengerikan. Apa yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka melakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka mernbuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pembubaran [lembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'an tentang seruan jihad atau semua yang membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokoh tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya "pakar terorisrne" yang muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka mengenai teks-teks Islam.[10]

5. Kesimpulan 

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Orientalis mengkaji Al-Qur’an tidak menggunakan metode kajian yang diajarkan dalam islam. Bisa jadi karena metode penafsiran dan pengkajian Alqur’an dalam islam sarat dengan nilai-nilai keTuhanan yang dalam pandangan mereka disebut “Metafisik”. Ketidak yakinan terhadap perkara metafisik ini mendorong orientalis menggunakan kacamata empiris dalam mengkaji Alqur’an. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penyimpangan dalam tafsiran orientalis, sebab mereka telah memutuskan hubungan manusia dengan Tuhan dalam mengkaji Alqur’an. Analoginya sama seperti seseorang yang disuguhkan segelas minuman, lalu ditebak satu persatu unsure dan berbagai aspek terkait minuman tersebut tanpa merujuk pada penyedia minuman atau pabrik minuman tersebut. Alhasil kesimpulan yang diperoleh sangat besar kemungkinan salah dibanding benar. Wallahu A’lam. 



[1] William L.Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Book, 1998), h.198. 
[2] Muniron, Epistemologi Ikhwan As-Shafa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.35. 
[3] Syamsuddin Arif, Kuliah PKU X 
[4] Murthadha Muthahhari, Epistemilogi (Jakarta: Penerbit Lentera, 2001), h.25-30 
[5] Ibid,.h.27 
[6] Ibid,. h.17-19. 
[7] SMN.Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014), h.6. 
[8] Adnin Armas, Metodologi Bible Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.82-83 
[9] Amin Al-Khulli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa Al-Tafsir wa al-Adab, Cairo, Al-Hay’a al-Mishriyya al-‘Amma li al-Kitab, 1995, 4. Didalam hal 8-9. 
[10] Al-A’zami, The History of Quranic Text (Jakarta: Gema Insani, 2005) 



Sabtu, 17 September 2016

RESUME : Dilema Wanita Di Era Modern (Buku Kanan)



Judul Buku : Dilema Wanita Di Era Modern
Penulis : Muhammad Al-Ghazali (Terj.Heri Purnomo)
Penerbit : Mustaqiim
Tahun Terbit : 2003
Jlh.Halaman : 328 Halaman. 

Wanita Di Persimpangan Islam dan Tradisi

Suatu jema’ah kaum muslimin yang bermukim di Inggris pernah meminta para penguasa untuk mendirikan sekolah-sekolah khusus islam. Ini merupakan permintaan yanglumrah dan kami senang bila para pendatang di negeri kami mendirikan sekolah-sekolah khusus dimana mereka memperdalam agama mereka, mempelajari bahasa mereka disamping pengetahuan-pengetahuan umum. 

Namun hal ini selalu ditolak disebabkan ketakutan adanya pemisahan peranan pemuda dan pemudi. Jack Straw mengatakan didalam majalah time bahwa “sesungguhnya orang-orang yang menolak pendirian sekolah-sekolah tersebut adalah keliru. Bisa jadi karena mereka dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, dan mengklaim bahwa mereka tidak mengenal agama islam. Ketidak tahuan terhadap peran wanita dalam theology dan sejarah dapat menutupi kebenaran bahwa posisi wanita muslimah jauh lebih tinggi dibandingkan wanita yahudi pada zaman dahulu. 

Masalah Yang Diselewengkan

Ada banyak fakta-fakta tentang ajaran islam yang diselewengkan oleh sebgaian orang, sehingga islam itu sulit untuk diterima terutama di negaea-negara sekuler seperti Inggris. Seperti permasalahan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Sering sekali dimaknai bahwa kepemimpinan dalam hal ini ialah kepemimpinan yang dictator dan kekuasaan yang berpusat pada individu semata yang tidak menerima kesepakatan dan musyawarah. Pemimpin tidak menghargai pihak lain dan tidak menerima keinginan pihak lain. Inilah yang kemudian menjadi penyebab banyak wanita yag protes jika pemimpin rumah tangga diberikan pada laki-laki. 

Pada zaman kolonial modern, masih terfapat wanita buta huruf yang tidak bisa baca dan tulis, kebodohan ini selalu dialamatkan atas nama islam yang direkayasa. Kemudian tatkala kebudayaan materialism modern telah menguasai negeri kita, dibukalah peluang bagi wanita untuk belajar di sekolah-sekolah. Hal ini meruoakan propaganda agar umat islam melupakan sejarahnya sendiri, dan berterimakasih kepada pemerintahan colonial yang sudah member peluang besar kepada wanita. 

Disisi lain, banyak yang menyatakan bahwa islam tidak menghargai wanita, dan wanita hanya dijadikan barang dan bidak pemuas hawa nafsu. Padahal, sejak islam masuk ke tanah Arab, perbudakan perlahan dihentikan dengan adanya kafarat menebus budah perempuan, dan kebiasaan orang arab untuk menikahi 10 orang istri dikurangi hingga maksimal 4 saja dengan jalan ikatan pernikahan yang sah. pada kenyataan nya, orang arab dahulu sangat antusias pada wanita mereka rela mengorbankan darah dan harta untuk menyelamatkan wanita. Adalah Al-Mundzir Al-Lakhmi raja Hirah yang mempunyai anak laki laki bernama Huraqah dan anak perempuan bernama Huraiq. Manakala tahta nya jatuh sehingga kehidupannya tidak menentu. Ketika itu anaknya Huraqah meminta pertolongan pada Sa’ad bin Abi Waqash yang berhasil menaklukkan negeri Persia, ketika berjumpa maka Sa’ad memberikannya hadiah sebagai ungkapan kepedulian. 

Masalah lain yang sering diselewengkan adalah peranan ibu rumah tangga, wanita barat memprotes bahwa islam tidak adil karena hanya menempatkan perempuan sebagai pengurus anak, padahal jauh sebelum statement itu dikeluarkan, apalagi diikuti oleh feminis Indonesia, islam telah menjelaskan bahwa peranan ibu rumah tangga adalah proyek besar yang lebih sulit daripada sekedar mencari nafkah. Sebab ibu rumah tangga menciptakan generasi yang bermartabat, dan tentunya pekerjaan ini tidak bisa dilakukan setiap laki-laki. 

Kesilmpulan 

Aktivis feminis dan gender sebenarnya tidak memahami secara mendalam bagaimana islam mendidik perempuan yang bermartabat. Mereka selalu memandang bahwa islam hanya memojokkan dan mengurangi peranan perempuan dalam kehidupan social. Mereka memandang rendah tugas seorang ibu rumah tangga, dan menjadikan itu sebagai momok yang mengekang kebebasan. Padahal kebebasan itu bukan dikekang, melainkan diarahkan agar wanita yang dahulu duperjuangkan martabatnya ileh islam tetap menjadi wanita yang bermartabat, bukan wanita rendahan yang bebas dan tidak memiliki aturan.

RESUME : Amalisis Gender dan Transformasi Sosial (Buku Kiri)


Judul Buku    : Analisis Gender dan Transformasi Sosial
Penulis           : Dr.Mansour Fakih 
Penerbit         : Pustaka Pelajar
Tahun Terbit : 2007
Jlh.Halaman  : xviii +186 Halaman. 

GENDER DALAM PERBINCANGAN 

Defenisi Gender 

Gender berbeda dengan sex. Jika sex berbicaea mengenai jenis kelamin, yakni laki-laki dicirikan dengan adanya penis dan mengeluarkan sperma, dan perempuan ditandai dengan adanya vagina dan menghasilkan sel telur. Adapun gender, ialah suatu sifat yang dimiliki setiap orang, yakni feminis dan maskulin. Gender tidak memandang jenis kelamin, namun memandang sifat dari pribadi seseorang. Hal ini disebabkan adanya laki-laki yang bersifat maskulin dan feminis demikian juga dengan perempuan, ada yang bersifat feminis dan maskulin. 

Banyak orang yang menyamakan antara gender dan sex, padahal hal tersebut jauh berbeda. Inilah yang kemudian menimbulkan masalah baik bagi laki-laki dan kebanyakan terjadi pada perempuan. Artinya, perempuan yang memiliki bakat untuk berkarir selalu dikekang karena ia perempuan, sedangkan laki-laki yang tidak memiliki bakat dibiarkan berkarir, disinilah muncul rasa ketidak adilan dalam diskursus gender. 

Padahal, sepanjang sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan, missal seorang laki-laki yang bisa menjaga anak, dan merawat rumah sedangkan perempuan (istri) bekerja dan berkarier. Atau sama sama berkarier dan diberi kesempata yang sama didunia politik, ekonomi, social dan kemasyarakatan. 

Marginalisasi perempuan 

Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, melainkan juga dalam rumah tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan Negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjafi fi rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan, hal ini juga diperkuat oleh marginalisasi agama dan adat istiadat sehingga perempuan selalu berada di posisi bawah dan terkungkung dari dunia nyata, ditambah lagi banyak tafsir kitab suci yang menjelaskan bahwa harta waris laki-laki 2:1 dengan perempuan. 

Gender dan Kekerasan

Kekerasan terhadap gender terutama perempuan ini terjadi dalam beberapa hal, (1) dalam bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk dalam akad perkawinan. Pemerkosaan terjadi saat seorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kelrelaan yang bersangkutan. (2) tindakan pemukulan dan serangna fisik yang terjadi dalam rumah tangga termasuk kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak. (3) bentuk penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin misalnya penyinatan terhadap anak perempuan, (4) kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. (5) kekerasan dalam bentuk pornografi, yakni pelecehan terhadap perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek kepuasan seseorang. (6) kekerasan dalam bentuk sterilisasi keluarga berencana. (7) kekerasan terselubung, yakni memegang atau menyentuh bagian tubuh perempuan dengan berbagai cara tanpa kerelaan si pemilik tubuh. 

Gender dan Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok mencadi kepala rumah tangga berakibat bahwa semua pekerjaan domestic rumah tangga diseraklan pada perempuan. Akibatnya banyakj perempuan ayng hanya menghabiskan waktunya dirumah dengan membersihkan dan menyelesaikan perkerjaan rumah yang lain. Ini merupakan suatu bentuk penekanan terhadap gender. 

Analisis Gender dalam Gerakan Transformasi Perempuan. 

Gender sebagai analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu social konflik yang justru memusatkan perhatian pada ketidak adilan structural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Gender sebagaimana dikemukakan oleh Oakley danlam Sex Gender and Society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis disini maksudnya ialah perbedaan jenis kelamin, karena itu merupakan kodrat tuhan dan secara fisik memang berbeda. Gender lebih memusatkan pada karakter feminis dan maskulin yang ada pada seseorang. Intinya, harus dibuat gerakan khusus untuk memberdayakan perempuan agar tidak mendapat tekanan dan peranan yang monoton. Al-Qur’an pun telah menjelaskan bahwa derajat manusia itu ditentukan oleh ketakwaannya, bukan jenis kelamin nya. Maka penafsiran yang mendominasi laki-laki dlaam berbagai aspek seperti perkawinan, waris, karier dan yang lainnya harus direvisi ulang, sebab penafsiran tersebut sangat relative sehingga bisa saja dirubah agar sesuai dengan zaman modern dimana perempuan sudah harus memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

RESUME : PEREMPUAN DALAM (Buku Kiri)


Judul Buku   : PEREMPUAN DALAM PASUNGAN
Penulis          : Dr.Nurjannah Ismail
Penerbit        : LKiS
Tahun Terbit : 2003
Jlh.Halaman  : xv+357 Halaman.

Pemasungan Massal Terhadap Hak Perempuan

Banyak ayat Alqur’an membicarakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. (Qs.At-Taubah: 112, At-Tahrim: 5). Meskipun tidak dapat ditolakbahwa banyak juga ayat Alquran yang menyatakan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Ayat-ayat tersebut memang tidak dapat ditolak kebenarannya, namun bukan berarti penafsirannya tidak bisa ditolak, sebab penafsiran itu bersifat relative.
Objek Kajian

Sepanjang pembacaan penulis terhadap tulisan para feminis, muslim tentang persoalan perempuan, tampaknya yang mereka gugat bukan teks-teks alquran, namun yang digugat adalah penafsiran dari masing-masing teks tersebut. Hal ini tampak kurang memperdulikan hak perempuan akibat bias dominasi kaum laki-laki. Secara umum pembahasan yang ingin diutarakan dalam buku ini terdiri dari beberapa pokok bahasan yakni : Asal kejadian perempuan, kepemimpinan dalam rumah tangga, warisan, poligami. Pembahasan ini diutamakan karena isu inilah aygn sangat gencar dibicarakan oleh kebanyakan kalangan termasuk para mufassir. Maka bagi kaum perempuan, penafsiran terhadap masalah ini harus disesuaikan dengan zaman agar terwujud kesamarataan antara laki-laki dan perempuan.

Memahami Surat An-Nisa Tentang Poligami

Dalam memahami ayat al-Qur’an harus ditinjau dari segi historis. Demikianjuga dalam memahami Surat An-Nisa harus ditinjau berdasarkan aspek historisnya sehingga dapat diketahui apa dan bagaimana ayat-ayat tersebut difahami. Untuk memahami konteks historis surat an-Nisa, maka harus ditinjau dahulu situasi social budaya bangsa Arab menjelang dan ketika Alqur’an diturunkan. Hal ini untuk menghindari kesalahfahaman dalam memahami ayat-ayat berkaitan dengan perempuan.

Pada masa pra islam, perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa bahkan hanya diperlakukan layaknya seorang budak dan barang dagangan. Tidak hanya itu, mereka juga diwariskan apabila pemiliknya telah meninggal dunia. Dalam Alqur’an jelas Allah telah melarang praktik semacam ini. Seperti pembahasan mengenai bolehnya suami beristri lebih dari satu, maka harus dilihat dulu bagaimana kondisi bangsa arab ketika itu. Kebiasaan orang-orang jahiliyah memiliki istri sampai 10 bahkan 20 orang dalam waktu bersamaan, biasanya yang kaya maka istrinya lebih banyak. Ketika ayat Alqur’an turun, maka tidak mungkin pelarangan hal yang demikian itu secara spontanitas. Maka orang-orang Arab Islam masih dibolehkan beristri lebih dari satu dan maksimal empat orang. Namunjika ditinjau, tampaknya islam dengan Alqur’an sangat enggan membolehkan secara langsung seorang laki-laki beristri lebih dari satu. Sebab ada ungkapan “jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil” dututup dengan ungkapan yang menyatakan bahwa laku-laku sudah pasti tidak dapat adil meskupun ia sangat menginginkan hal itu. Maja secara historis sebenarnya Alqur;an hanya membolehkan satu istri saja, namunkarena kultur orang Arab tidak bisa dicegah secara spontanitas, maka dibolehkan maksimal 4 orang istri dengan sangat keberatan.

Melihat kontekstual penafsiran ayat diatas agaknya sama dengan periodeisasi pengharaman khomar yang dilakukan secara bertahap. Dan faktanya hari ini, laki-laki tidak dapat memberikan keadilan pada perempuan jika melakukan poligami, maka sudah selayaknya poligami itu diharamkan untuk melindungi hak asasi perempuan. Inilah yang melatar belakangi Mahmud menyatakan bahwa poligami bukan ajaran dasar islam. Sebab ajaran dasar islam, hanya diperbolehkan menikahi satu orang istri saja.

Penafsiran semacam ini bukan hanya dilakukan oleh pembaharu hukum islam, sebab pendahulu tafsir seperti at-Thabari juga menggunakan takwil pada ayat istiwa untuk menghindari tekstualitas pemahaman Alqur’an. Tindakan ini mendapatkan perlawanan dari golongan Hanabilah yang kedapatans sering menyerang At-Thabari berdasarkan fakta-fakta sejarah.

Demikian juga jika dilihat dalam tafsiran Muhammad Abduh, bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Inilah yang menyebabkan Abduh dikenal sebgaai peletak tafsir dengan metode Adabi wa Ijtima’I (Budaya dan Kemasyarakatan). Hal ini dilakukan Abduh dalam upaya memajukan masyarakat kearah kemajuan dan pembangunan. Abduh memandang bahwa ketertinggalan umat islam disebabkan kebiasaan mereka dalam bertaklid dan tidak mau melakukan ijtihad dalam memahami agama.

Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga

Peesoalan kedua ayng menjadi isu sentral ialah perdebatan dikalangan feminis masalah kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Mereka menggugat kepemimpinan laki-laki dalam keluarga yang selama ini sudah mapan dikalangan kaum muslim. Bagi mereka paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan itu, maka sudah saat nya kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga disejajarkan agar tidak terjadi kesewenangan laki-laki terhadap perempuan.
Namun saying sekali bahwa ajaran Al-Qur’an yang sudah sesuai dengan semangatzaman ini selalu disalah artikan oleh para mufassir yang didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga menurtu para feminis, para mufassir yang didominasi oleh laki-laki ini tidak adil dalam menafsirkan ayat A;Qur’an demi kepentingan pribadi.

Asal Kejadian Perempuan

Sebagian mufassir menyatakan bahwa perempuan pertama yakni Siti Hawwa diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam. Namun penafsiran ini tidak sesuai dengan penafsiran kaum feminis. Riffat Hasan misalnya, mengatakan bahwa pwewmpuan itu tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebab pandangan ini bersal dari injil. Demikian juga dengan Amin Wadud ia mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak menyatakan dengan jelas bahwa Allah menciptakan laki-laki dan asal usul manusia adalah dari Adam. Hal ini dirujuk dari kata nafs yang merupakan bentuk muannas dan bisa bermakna laki-laki atau perempuan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa asal usul penciptaan perempuan tidak benar dari tulang rusuk Adam, sebab Al-Qur’an tidak menerangkan dengan jelas, hanya saja para mufassir terpengaruh ungkapan Injil yang menyatakan demikian.

Hak Waris

Para ulama tafsir seperti Abduh, Ar-Razi dan lainnya menyatakan bahwa pembagian hak waris laki-laki 2:1 dengan perempuan adalah bentuk nyata bahwa peranan laki-laki lebih dominan dalam kehidupan dibandingkan perempuan, disamping kelebihan akal laki-laki juag mendukung hal demikian. Dalam hal ini Asghar Ali Engineer mnyatakan bahwa pewarisan sangat tergantung pada kondisi social budaya, ekonomi, dan fungsi jenis kelamin masing-masing.

Adapun Amina Wadud memandang bahwa pembagian waris harus dilihat dari berbagai factor lainnya. Seperti situasi dan kondisi pewaris dan ahli waris. Maka dengan demikian pembagian harta waris ini masih sangat fleksibel dan tidak bisa dipastikan dengan tekstual ayat semata.

RESUME : Gender Dan Strategi Pengarusutamaan Nya Di Indonesia (Buku Kiri)


Judul Buku   : Gender Dan Strategi Pengarusutamaan Nya Di Indonesia
Penulis          : Dr.Riant Nugroho 
Penerbit         : Pustaka Pelajar
Tahun Terbit : 2008
Jlh.Halaman  : xxv+265 Halaman. 

Kesetaraan Gender Sebagai Sebuah Misi

Defenisi Gender

Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa inggris yaitu gender. Jika dilihat dalam kamus bahasa inggris tidak ditemukan secara jelas perbedaan sex dan gender. Sehingga sering kali gender dan sex dimaknai dengan arti yang sama, yakni jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Istilah gebder pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian mansuia yang didasarkan pada pendefenisian yang bessifat social budaya dengan pendefenisian yang berasal dari cirri-ciri fisik biologis. Dalam ilmu social orang yang sangat berjasa memperkenalkan istilah gender ini adalah Ann Oakley (1972) dengan makna yang sama yakni atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. 

Ada banyak defenisi mengenai gender, namum dari semua defenisi tersebut dapat disarikan bahwa gender ialah : suatu bentuk social yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat diubah tergantung waktu dan tempat, zaman dan suku, dan seluruh aspek lainnya. Gender bukanlah kodrat tuhan, melainkan buatan mansia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relative. 

Ketimpangan Gender 

Perbedaan gender sebenarnya bukanlah sebuah masalah, selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Namun masalahnya perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidak adilan baik bagi kaum laki-laki dan utamanya bagi kaum perempuan. Adapun penyebab ketidan adilan tersebut diantaranya : (1) Marginalisasi : bentuk marginalisasi utamanya terjadi dalam keluarga. Hal ini diperkuat oleh penafsiran adat istiadat maupun tafsir agama itu sendiri seperti pembagian hak waris pada perempuan yang tidak seimbangdengan laki-laki. (2) Subordinasi : yakni anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya masuk dapur juga. (3) Stereotipe : adanya anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, maka setiap pencarian perempuan hanya sebagai tambahan saja. Jadi pekerja perempuan boleh dibayar lebih rendah dari laki-laki. Dan banyak faktor lainnya yang menyebabkan ketidak adilan gender. 

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah sebuah seperti sebuah frase suci yang sering diucapkan oleh para aktivis social, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat Negara. Istilah kesetaeaan gender ini sering sekali terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, kekerasan, penindasan dan lain sebgainya. Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan padahak-hak nya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, dan lain sebagainya. 

Sejarah Gerakan Gender

Berbagai problem yang menimpa kaum perempuan dalam masalah gender ini mendorong pembentukan United national in status of woman (CSW) pada sesi pertama siding Ecomomic and Social Council pada tahun 1946. Hal ini menyebabkan meningkatnya perhatian terhadap perempuan pada tahun 1960 an di bidang ekomnomi dan social dalam banyak kegiatan CSW. Namun seiring berjalannya waktu pada tahun 70-80 an perhatian tersebut kembali surut dtekan arus ekonomi dan perdamaian dunia yang terancam. Upaya ini terus berlanjut hingga dilaksanakan konferensi internasional tentang perempuan pad tahun 1975 di mexico. Topik utama yang dibicarakan adalah (1) peningkatan perempuan dalam ketenagakerjaan, (2) kesehatan dan pendidikan, (3) masalah social seperti kesempatan perempuan untuk mendapatkan pelayanan yang baik di lingkungan social dan lain sebagainya. Hal ini mendatangkan mindset bahwa beberapa konferensi ayng diadakan PBB itu tidaklah sia-sia. Inilah yang dinamakan upaya Gender Mainstreaming, yakni upaya pembelaan dari penindasan terhadap gender yang terjadi seanjang perang dunia dan konflik antar Negara. Di Indonesia, gerakan gender feminis ini ditandai dengan terbentuknya gerakan perempuan poetry mardika. Yang kemudian menghasilkan berbagai gerakan feminis lainnya. Namun gerakan ini kebanyakan mendorong bahwa perempuan juga harus memiliki hakutnu berjuang melawan penjajah dan bergabung dengan pasukan laki-laki. 

Feminis dan Genderis 

Memperjuangkan keadilan merupakan tugas yang intens dan membutuhkan solusi yang tepat, sehubungan dengan itu perlu ada upaya berkesinambungan demi pencapaian tujuan bersama. Meluasnya perjuangan gender yang didomnasi oleh feminis ini menyebabkan pejuangnya terpecah menjadi beberapa kelompik kecil yakni, (1)Feminisme Liberal, kelompok ini berpandangan bahwa untuk melindungi perjuangan feminis, maka perlu dibuat undang-undang yang melindungi hak-hak mereka. (2) Feminisme Radikal, (3) Feminisme postmodern, (4) Black Feminis dan (5) feminis islam, yang menyatakan bahwa gerakan feminis islam harus berdasarkan acuan agama agar tidak menjadi sekuler.

Gender Sebagai Agenda

Dalam pembanguna bahngsa, gender merupakan suatu strategi global yang berupaya untuk meningkatkan kepedulian dan aspirasi hakekan meningkatkan peran ialah meningkatkan kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian dan mental spiritual perempuan. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan mengadakan beberapa program yakni (1) Gender Mainstreaming (2)Gender Budget. Beberapa program ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yakni : melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Yang intinya perempuan harus berperan dalam bidang bidang tersebut sehingga kehidupannya tidak terkekang. Dan semua gagasan tersebut alangkah baiknya jika dilindungi undang-undang agar memiliki kekuatan hokum dan mencegah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan.

RESENSI : Internasionalisasi Pendidikan (Buku Kanan)


Judul Buku     : Internasionalisasi Pendidikan 
Penulis            : Drs.Abdurrachman Assegaf, M.Ag 
Penerbit          : Gama Media
Tahun Terbit   : 2003
Jlh.Halaman    : xiv+321 Halaman 

Pendidikan Dalam Kancah Internasional

Gaya hidup modern ditandai dengan serba canggihnya teknologi, dimulai dari teknologi komunikasi sampai transportasikini untuk mengadakan konferensi internasional pihak penyelenggara tidak lagi mesti menghadirkan para peserta untuk datang ke Negara tertentu., tapi cukup dengan tele-conference, masing masing peserta tetap ditempat asalnya, sementara setiap peserta dapat berkomunikasi langsung via monitor. Bagaimana teknologi modern bisa maju ? majunya teknologi tidak bisa lepas dari peran pendidikan. Pendidikan menyajikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya melalui proses pembelajaran penelitian, dan pengembangan. Karena sautu Negara memiliki keistimewaan sendiri, dalam hal pengetahuan dan teknologi, budaya dan hokum, maka Negara tertentu pun menjalim kerjasama dengan Negara lain secara mutual cooperation. Hubungan inilah yang tidak dapat terelakkan, sebab bila dicegah akan menyebabkan tekucilmya pendidikan di Negara tertentu. 

Sepanjang sejarah, pendidikan di indoensia mengalami kemajuan dan kemunduran, kemajuan dimulai dari masa orde baru dengan diberlakukannya aturan kebolehan memakai jilbab dab rok panjang di sekolah agama, hal ini berfampak positif bagi masyarakat muslim Indonesia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ketika ekonomi Negara anjlok maka puluhan ribu anak Indonesia terancam putus sekolah. Hal ini yang agaknya harus didiskusikan lebih lanjut. Sebab semakin mahal biaya sekolah maka semakin banyak anak bangsa yang tidak terdidik dengan baik. Pendidikan di Indonesia agaknya dapat dibagi kepada beberapa bagian, yakni pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Namun hal ini tidak cukup jika sumberdaya bangsa masih berkemampuan rendah untuk bersaing. Di era globalisasi dan pasar bebas ini perlu dijalin kerjasama yang lebih baik dengan pendidikan internasional sehingga akan melahirkan generasi abngsa yang lebih berkemampuan tinggi dan siap bersaing di dunia luar, untuk mendidik generasi selanjutnya. 

Buku ini snagat menarik sebab memberikan gambaran bagaimana pendidikan di luar negeri. Namun tetap harus difahami bahwa pendidikan luar negeri juga bisa memberi dampak negative selain nilai positifnya. Maka pelajar bangsa harus tetap waspada dan berpegang pada prinsip yang benar, sehingga tidak terpengaruh arus negative namun tetap mampu bersaing di era global.

RESENSI : Ilmu Pendidikan Islam (Buku Kanan)


Judul Buku      : Ilmu Pendidikan Islam
Penulis             : Dr.Zakiyah Drajat, dkk 
Penerbit           : Bumi Aksara
Tahun Terbit    : 2012
Jlh.Halaman     : xviii+152 Halaman 

Pendidikan Islam Berbasis Keilmuan

Pembahasan tentang ilmu pendidikan tidak mungkin terlepas dari objek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Dan karena yang menjadi topik pembahasan sekarang adalah ilmu pendidikan islam, maka secara filosofis harus mengikutsertakan objek utamanya yaitu manusia dalam pandangan islam. Manusia merupakan ciptaan Allah dan pelaksana ajaran, sehingga ditempatkan dalam posisi yang mulia (Qs.Isra’ 70). Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan akal pusatnya di otak, digunakan untuk berfikir. Perasaan pusatnya dihati dandigunakan untuk merasakan yang akhirnya akan melahirkan kata hati. Dengan adanya kemampuan berfikir yang dipadukan dengan kata hati serta dididik oleh agama maka seseorang otomatis akan memiliki kejiwaan yang siap untuk dididik dengan baik. 

Pendidikan akan berlangsung seumur hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan akhirnya yakni terbentuknya insane kamil dengan pola yang bertakwa. Hal inilah ayng kemudian dapat mengalami perubahan naik dan turun sehingga pendidikan harus tetap berjalan sampai kapanpun dan dimanapun. Seiring dengan kemajuan pendidikan, maka struktur pendidikan agaknya perlu dibuat dan ditingkatkan, sehingga memiliki daya saing dan kemajuan yang pesat. Bidang studi agama islam adalah istilah kurikulum 1975 (disekolah umum) dan 1976 (disekolah kejuruan). Artinya pemdidikan islam telah berhasil masuk dalam institusi pendidikan umum sehingga kiprahnya semakin luas dan semakin kuat. Hal ini tentunya tidak lepas dari upaya keras para pendidik dan peserta didik yang terus berkembang menanamkan pentingnya pendidikan islam di era global untuk menyaring terjadinya kerusakan moral dan mental anak-anak bangsa.

Secara umum buku ini sangat bagus dan memiliki ide-ide yang lugas dan baik. Penyajian materi dan metode penulisan juga merupakan suatu bentuk kecerdasan dalam dunia pendidikan sehingga informasi mudah dicerna dan dipraktekkan.

RESENSI : Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Buku Kanan)


Judul Buku   : Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat
Penulis          : Martin Van Bruinessen 
Penerbit        : Mizan
Tahun Terbit : 1999
Jlh.Halaman  : 382 Halaman 

Pesantren, Tasawuf dan Kiprahnya Dalam Pendidikan

Tradisi pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardhu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah dan zikir wirid serta ratib. Banyak kyai yang berafiliasi pada tarekat dan mengajarkannya pada murid-muridnya. Seperempat dari karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan akhlak.Peranan dan kepribadian kyai sangat menentukan dan kharismatik. Persis sebagaimana pengertian weberian. Sikap hormat, takzim dan penuh kepatuhan kepada kyai adalah salah satu nulai yang pertama ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi hingga penghormatan pada ulama sebalumnya dan ulama pengarang kitab-kitab yang dipelajari.

Inilah salah satu diantara ke khasan santri dibanding pelajar lainnya. Pesantren juga menawarkan pendidikan yang kompleks sehingga berkaitan dengan pembelajaran kehidupan santri. Disamping itu, pembelajaran fikih juga menjadi cabang ilmu yang menoonjol di sejumlah pesantren. Sebab lebih dari agama lainnya, fikih mengandung berbagai implikasi konkret dengan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat. Buku ini sangat menarik untukdibahas dan dipelajari. Sebenarnya ini merupakan hasil penelitian Martin di Indonesia mengenai pendidikan pesantren, tradisi shufiyah dan tarekat. Namun semua itu tidak terlepas dari dunia pendidikan. Sebab pendidikan mencakup berbagai aspek yang membentuk moral dan karakter bangsa. 

Namun kekurangan buku ini diantaranya dari sistem penulisan yang kurang nyaman dibaca, dan penilaian penulis akan adanya diskriminasi laki-laki dan perempuan dalam pesantren yang kurang layak untuk dibincangkan. Sebab pada dasarnya pandangan islam tidaklah dapat dikaji dari sudut pandang equality. Justru dengan membedakan kedudukannya akan memuliakan perempuan sehingga mereka tetap bermartabat.

RESENSI : Ilmu Pendidikan Islam (Buku Kanan)


Judul Buku    : Ilmu Pendidikan Islam
Penulis           : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. 
Penerbit         : Kencana 
Tahun Terbit  : 2010
Jlh.Halaman  : x +323 Halaman. 

PENDIDIKAN ISLAM DAN ASPEK-ASPEKNYA

Pendidikan islam adalah pendidikan yang seluruh komponen atau aspeknya didasarkan pada ajaran islam. Visi, misi, tujuan, proses belajar mengajar, peserta didik, pendidik, bahan ajar, dan komponen lainnya didasarkan pada ajaran islam, itulah yang disebut pendidikan islam atau pendidikan yang islami. pendidikan islam lebih cenderung menekankan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran syari’at islam dalam kehidupan sehari-hari. Disamping penekanan pada aspek rasio dan moral dan social kemasyarakatan. Karena itu, pendidikan islam harus dilaksanakan dengan ikhlas, penuh rasa tanggung jawab, dan dilaksanakan dengan program sederhana sampai kepada program berkualitas tinggi.

Pada dasarnya prinsip pendidikan islam sama dengan pendidikan umum, hanya ada perbedaan pada beberapa poin, yakni pendidikan untuk semua, pendidikan seumur hidup, wajib belajar dan mengajar, pendidikan yang seimbang, terbukam integralistik, sesuai perkembagna zaman, rasional, professional, berbasis masyarakat, berbasis riset, berorientasi pada mutu yang unggul dan pendidikan sehjak usia dini. Dalam prosesnya pendidikan islam juga membutuhkan kurikulum. Karena dengan kurikulum itulah kegiatan belajar mengajar dapat sesuai dengan harapan.

Secara umum, buku ini memberikan gambaran bahwa pendidikan islam adalah pendidikan yang bergengsi dan mampu mengalahkan pendidikan umum. Sebab saat ini pendidikan islam juga sudah banyak diminati oleh masyarakat karena aspeknya yang mencakup semua kalangan. Namun, ketika membahas mengenai kurikulum, penulis menyatakan bahwa kurikulum pendidikan islam harus bersifat terbuka dan dinamis sehingga dapat disesuaikan dengan zaman. Hal ini agaknya cukup mengganjal namun kedinamisan hendaknya dibingkai dengan nilai-nilai Alqur’an dan Sunnah serta tidak menyalahi nilai-nilai islam agar pendidikan islam tetap diridhoi oleh Allah Swt,.

RESUME : Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Buku Kanan)


Judul Buku    : Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat
Penulis           : Martin Van Bruinessen 
Penerbit         : Mizan
Tahun Terbit  : 1999
Jlh.Halaman  : 382 Halaman 

Pesantren, Tasawuf dan Kiprahnya Dalam Pendidikan

Unsur kunci islam tradisional adalah pesantren sendiri, peranan dan kepribadian kyai sangat menentukan dan kharismatik. Persis sebagaimana pengertian weberian. Sikap hormat, takzim dan penuh kepatuhan kepada kyai adalah salah satu nulai yang pertama ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi hingga penghormatan pada ulama sebalumnya dan ulama pengarang kitab-kitab yang dipelajari. Kepatuhan ini bagi pengamat luar jauh lebih penting daripada penguasaan ilmu tapi bagi kyai itu merupakan bagian integral yang harus dikuasai sebagai bagian dari ilmu itu sendiri. 

Tradisi pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardhu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah dan zikir wirid serta ratib. Banyak kyai yang berafiliasi pada tarekat dan mengajarkannya pada murid-muridnya. Seperempat dari karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan akhlak. Nabi dan ahlul bait sangat dimuliakan dan menjadi objek shalawat para wali pun sangat dimuliakan dan pertolongannya sering diminta. Mengunjungi para wali dan makam sejumlah kyai merupakan rutinitas yangtelap berjalan sepanjang tahun. 

Inilah salah satu diantara ke khasan santri dibanding pelajar lainnya. Pesantren juga menawarkan pendidikan yang kompleks sehingga berkaitan dengan pembelajaran kehidupan santri. Disamping itu, pembelajaran fikih juga menjadi cabang ilmu yang menoonjol di sejumlah pesantren. Sebab lebih dari agama lainnya, fikih mengandung berbagai implikasi konkret dengan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat. Dikihlah yang menjelkaskan kepada kita mengenai hal-hal yang dilarang dan tindakan yang dianjurkan. Dipesantren biasanya fikih meruoakan primadona diantara semua mata pelajaran. Disamping juga menerapkan pembelajaran akhlak dan tauhid, namun karya-karya besar merupakan pembidangan dalam ilmu fikih. 

Fikih pesantren biasanya menggunakan sumber berupa kitab kuning. Namun hal ini tidaklah berjalan lurus saja, melainkan memiliki kekurangan tersendiri. Kesulitan itu adalah ketika kajian kitab kuning membahas masalah perempuan. Cara pembahasannya baisanya cenderung mengutamakan kaum laki-laki sehingga perempuan Nampak disudutkan dari diskursus pembahasan fikih kalsik berbahan kitab kuning ini. Disamping itu, sedikitnya perempuan yang mengajarkan fikih mungkin menjadi salah satu factor yang mempengaruhi hal ini. 

Kembali ke pembahasan shufiyah, di sumatera sendiri terrdapat banyak tokoh tokoh sufi yang terkenal dan memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Sebut saja misalnya Hamzah Fansuri, Sayamsuddin Pasai, Murussin ar-Raniri, dan Abdurrauf Singkil. Semuanya menjadi ulama terkemuka aceh pada abad ke 16 dan 17. Aceh yang letaknya di ujung pulau sumatera merupakan wilayah penghasil lading yang penting dank arena perdagangan internasional menjadi kerajaan yang sangat kuat pada rentang waktu tersebut. 

Hamzah fansuri adalah pengarang pertama dikalangan sufi dan penyair diantara mereka. Namanya menunjukkan bahwa ia berasal dari fansur atau dikenal dengan Barus, wilayah pantai barat sumatera. Dia aktif paruh kedua abad 16, namun penanggalannya tidak diketahui. Dai mengungkapkan gagasan-gagasan sufi yang canggih dan sarat akan makna dalam bentuk saya’ir yang penuh perumpamaan. Barangkali dialah orang pertama yang menggunakan bentuk sya’ir dalam bahasa melayu. Sehingga keahliannya dalam bidang tersebut belum pernah tertandingi. 

Menjelang abad ke 18, berbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di nusantara. Orang-orang yang baru kembali dari mekah dan madinah mengembangkan tarekat syattariyah yang seringkali dipadukan dengan naqsyabandiyah dan khalwatiyah. Pemeluk tarekat tarekat ini mungkin menyebarkannya tidak lebih dengan metode zikir dan wieid yang diamalkan setiap hari secara pribadi. Sampai terbentuklah golongan golongan pengamal tarekat dan perguruannya masing masing. 

Belajar dari keterangan keterangan diatas agaknya dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki dua metode, yakni pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non formal seperti perguruan, pesantren tradisional dan lain sebagainya. Secara umum jenis pendidikan dengan berbagai pendekatan, baik syari’at, tasawuf dan pendidikan modern semuanya bertujuan untuk memajukan generasi bangsa sehingga menghasilkan generasi yang berbudi pekerti luhur. Agaknya hal ini tidak lain merupakan perwujudan dari ayat Alqur’an “kalau seandainya penduduk suatu kaum beriman dan bertaqwa, pasti akan kami bukakan pintu rezeki dari langit dan bumi”. Inilah esensi pendidikan yang saling memadukan antara berbagai aspeknya.

RESUME : Ilmu Pendidikan Islam (Buku Kanan)


Judul Buku    : Ilmu Pendidikan Islam
Penulis           : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. 
Penerbit         : Kencana 
Tahun Terbit : 2010
Jlh.Halaman  : x +323 Halaman. 

PENDIDIKAN ISLAM DAN ASPEK-ASPEKNYA

Defenisi Pendidikan Islam

Pendidikan islam adalah pendidikan yang seluruh komponen atau aspeknya didasarkan pada ajaran islam. Visi, misi, tujuan, proses belajar mengajar, peserta didik, pendidik, bahan ajar, dan komponen lainnya didasarkan pada ajaran islam, itulah yang disebut pendidikan islam atau pendidikan yang islami.

Visi Misi Pendidikan Islam

Pada dasarnya visi misi pendidikan islam lebih cenderung menekankan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran syari’at islam dalam kehidupan sehari-hari. Disamping penekanan pada aspek rasio dan moral dan social kemasyarakatan. pendidikan islam juga bisa dilaksanakan melalui peogram pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan global, kemasyarakatan yang lebih luas, penekanan bahasa, serta diselenggarakannya program PAUD juga menjadi bagian dari pendidikan era modern yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan. Dan pendidikan akan tetap maju jika tetap ditekankan aspek akhlak dan moral yang disiplin dalam kesehariannya. 

Tujuan Pendidikan Islam

Karena itu, pendidikan islam harus dilaksanakan dengan ikhlas, penuh rasa tanggung jawab, dan dilaksanakan dengan program sederhana sampai kepada program berkualitas tinggi. Dalam islam, tujuan pendidikan adalah terbinanya seluruh bakat dan potensi manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam, sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan. Sehingga keberhasilan dalam islam bukan hanya ditentukan oleh usaha guru, ;embaga, atau peserta didik, namun juga berdasarkan petunjuk Tuhan yang maha Esa. 

Sumber dan Bahan Ajar Pendidikan Islam

Yang dimaksud sumber dan bahan ajar pendidikan islam adalah bahan-bahan atau materi yang dapat dijadikan modal utama bagi penyusunan ilmu pendudukan islam. Didalam sumber tersebut terdapat bahan yang amat kaya akan pendidikan islam. Sumber ini diperlukan selain untuk mengarakjan tujuan yang ingin dicapau juga untuk membingkai seluruh konsep pendidikan serta menjadi tolak ukur dalam mengevaluasi kegiatan pendidikan. Adapun sumber-sumber tersebut ialah, Alqur’an dan sunnah sebagai sumber primer. Sejarah, pemikiran sahabat, ‘urf dan pemikiran para filsuf islam sebagai sumber sekunder dengan catatan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. 

Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Pendidikan islam adalah pendidikan yang memiliki prisip- prinsip yang kokoh. Pada dasarnya prinsip pendidikan islam sama dengan pendidikan umum, hanya ada perbedaan pada beberapa poin, yakni pendidikan untuk semua, pendidikan seumur hidup, wajib belajar dan mengajar, pendidikan yang seimbang, terbukam integralistik, sesuai perkembagna zaman, rasional, professional, berbasis masyarakat, berbasis riset, berorientasi pada mutu yang unggul dan pendidikan sehjak usia dini. Dimana seluruh prinsip ini tetap diukur dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta pendapat ahli yang sesuai dengan keduanya. Inilah kenapa pendidikanislam dikatakan memiliki watak dan karalter yang khas. 

Peranan Kurikulum Dalam Pendidikan Islam

Dalam prosesnya pendidikan islam juga membutuhkan kurikulum. Karena dengan kurikulum itulah kegiatan belajar mengajar dapat sesuai dengan harapan. Dalam kajian para ahli pendidikan, kurikulum senantiasa mengalami perkemabangan dari waktu ke waktu, sehingga cakupan kurikulum dari berbagai aliran, mazhab, pendekatan, dan coraknya amat beragam. Sebagai agama yang terbuka dan dinamis kurikulum pendidikan islam dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Intinya, kurikulum harus disesuaikan dengan tiga aspek, yakni hubungan Manusia dengan Tuhan, Hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. 

Pendidik dan Peserta Didik

Kegiatan belajar mengajar ini tentunya dilaksanakan oleh Pendidik dan peserta didik. Pendidik adalah actor utama yang merancang, merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Ia hanya berfungsi sebagai orang yang mengembangkan bakat dan minat, melainkan pengalaman dan kepribadian peserta didik. Ditangan pendidiklah kegagalan dan kesuksesan pendidikan. Karena demikian besarnya peran pendidik dalam proses pendidikan, maka pendidik menjadi komponen yang sangar menentukan. Andaikata komponen lain belum ada, maka kegiatan belajar mengajar tetap bisa dilaksanakan. Pendidikan islam sangat menekankan pendidik yang professional, yaitu pendidik yang selain memiliki potensi akademi, pedagogi, dan social juga kebudayaan. 

Selain itu pendidik juga harus memahami peserta didik. Kondisi peserta didik tidak hanya dapat dilihat dari usia, namun perlu diperhatikan perbedaan tingkat kecerdasan, perbedaan bakat, minat dan hobi, serta perbedaan latar belakang social ekonomi yang dimiliki peserta didik. Selain itu perlu juga diketahui akhlak mulia yang harus dilakukan peserta didik. Karen akhlak mulia akan berkaitan dengan dirinya sendiri, teman, guru dan dengan Tuhan. 

Lembaga Pendidikan

Kesatuan konsep diatas dapat diaplikasikan dengan baik apabila ada lembaga pendidikan, sejarahnyam umat islam merupakan pelopor pembangun lembaga-lembaga pendidikan. Sebab lembaga pendidikan islam tidak mengambil contoh lembaga pendidikan sebelumnya. Le,baga pendidikan islamjuga sangat variatif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, lembaga pendidikan islam sangat variatif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya berbagai lembaga pendidikan yang variatif itu, maka seluruh aspek masyarakat dapat manikmati pendidikan islam dengan mudah. 

Dalam manjalankan lembaga pendidikan, perlu dilakukan evaluasi dan penelitian mengenai perkembangan dunia pendidikan. Peningkatan sumber daya, kulaitas dan sistem pendisikan. Sebab jika hal ini tidak dilakukan, maka pendidikan islam akan tertinggal dan tidak diminati lagi.

RESUME : AL-QUR’AN, KIRAB SASTRA TERBESAR (Buku Kiri)


Judul Buku    : AL-QUR’AN, KIRAB SASTRA TERBESAR
Penulis           : Dr.phil.M.Nur Kholis Setiawan
Penerbit         : eLSAQ Press
Tahun Terbit : 2006
Jlh.Halaman  : xxxii +335 Halaman.




Dominansi Sastra Dalam Al-Qur’an

Inilah buku yang menganalisis akar sejarah metode susastra dalam tradisi islam, penulisnya mencoba membongkar khazanah klasik yang berbicara tentang susastra dan menemukan bahwa kedekatan sastrawi terhadap Al-Qur’an bukan saja sah, tapi juga sudah ada sejak era klasik islam.[1] Pendekatan Sastra Al-Qur’an dimotori oleh Amin al-Khuli paruh akhir abad ke 20. Keseriusannya dalam mengkaji Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan al-Khuli yang bicara tentang bahasa dan sastra. Karyanya yang paling penting dalam kritik sastra adalah al-Adab al- Mishri (1943) dan Fann al-Qaul (1947). Keduanya adalah upaya al-Khuli untuk mendekonstruksi wacana sastra Arab dimana point terpenting nya adalah ada dua metode sastra yang dikedepankan, ,etode kritik eksentrik (Naqd al-Khariji) dan kritik intrinsic (Naqd al-Dakhili). Hal ini lahir dari semboya yang ia ciptakan yakni “awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara total dan menghidupkan budaya kritik terhadapnya”.[2] Kritik eksentrik biasanya diarahkan pada kajian holistic terhadap factor-faktor eksternal munculnya sebuah karya, baik social-geografis, region cultural, maupun politis. Sementara kritik intrinsic diarahkan pada teks sastra dengan analisis linguistic yang berhati- hati sehinggamampu menangkap makna yang ada.[3] Berangkat dari hal ini al-Khuli menawarkan metode tafsir yang lebih dikenal tafsir susastra terhadap Al-Qur’an. Dengan tujuan menangkap pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan individual ideologis.[4]

Krtika berbicara tentang penafsiran sastra, seseorang tidak boleh menafikan konsep I’jaz al-Qur’an hal ini disebabkan kepaecayaan para pengkaji Al-Qur’an yang muslim akan adanya aspek tersebut. Meski pendekatan yang digunakan beragam, keragaman tersebut berpelung pada perbedaan keahlian dan spesialisasi dari sarjana muslim sendiri.[5] Alqur’an bagi umat islam adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,. Wahyu dalam konsep islam juga berarti pembicaraan Tuhan, Pembicaraan berarti bahwa Tuhan berkomunikasi kepada utusannya dengan menggunakan sarana komunikasi. Meski komunikasi tersebut berbeda, tidaklah berarti bahwa komunikasi Tuhan dengan Utusannya tidak bisa dikaji dan diteliti sama sekali. Sebaliknya ia merupakan kajian keilmuan islam yang tidak pernah kering. Bahkan ilmu pengetahuan dapat meneliti dengan baik hasil proses komunikasi tersebut, baik dengan menggunakan metode penelitian klasik ataupun modern. Penelitian tentang wahyu khususnya dari sudut pandang keilmuan humaniora kontemporer berhasil membawa “kebersamaan” hasil penelitian, sehingga tidak berat ssebelah dan memihak kepentingan tertentu. Peneliti muslim dan non musli berhasil membawa kajian ini dari penelitian objektif kepada penelitian perspektif teori komunikasi.[6] Komunikasi verbal tersebut dalam kacamata linguistitik bisa juga dianggap sebagai model komunikasi antara komunikator dan komunikan dengan menggunakan kode komunikasi. Disini, perlakuan terhadap al-Qur’an sebagai teks melibatkan setidaknya, dua metode, pertama Hermeneutik, dan kedua Estetik.[7] Kedua metode ini saling berdampingan, ketika metode hermeneutic berbenturan dengan aturan tafsir, maka estetik memberikan solusi keterkaitan dengan fenomena dan gejala alam sekitar. Gejala inilah yang kemudian menjadi bahan renungan masing-masing sebagai signifikansi dalam hal-hal tertentu.[8]

Para sahabat pernah diberitakan menangis ketika mendengar lantunan Al-Qur’an. Menangis dan terpana ini bisa saja dikarenakan takjub terhadap nilai estetik dalam Al-Qur’an. Seperti yang pernah diteliti oleh Nawid Karmani.[9] Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa semenjak awal generasi muslim, telah terdapat “masyarakat pendengar” al-Qur’an. Hal ini terus berlanjut dari masyarakat “Pendengar Al-Qur’am” menuju masyarakat yang mulai menginterpretasi Al-Qur’an. Interpretasi Al-Qur’an mengalami eskalasi perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan tersebuttidak bia dilepaskan dari peran aktif Ibnu Abbas dan murid-muridnya. Mereka pada masa itu telah menggunakan alat bantu berupa Rasio untuk menginterpretasi ayat Al-Qur’an.[10] Artinya, Al-Qur’an merupakan teks yang memiliki nilai-nilai sastra, historitas yang bisa difahami dari sudut pengkajian teks-teks sastra. Dengan demikian, Rasio dalam hal memahami sastra Al-Qur’an sangat membantu dalam memahami apa dan bagaimana maksud Al-Qur’an itu sendiri. 

[1] Nashr Hamid Abu Zaid, Testimoni buku. 
[2] Amin Al-Khulli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa Al-Tafsir wa al-Adab, Cairo, Al-Hay’a al-Mishriyya al-‘Amma li al-Kitab, 1995, 4. Didalam hal 8-9. 
[3]H.8 
[4] H.11 
[5]H.25 
[6]H.52 
[7] H.53
[8] h.54 
[9] H.80 
[10] 90

RESENSI : TELAAH ULANG WACANA SEKSUALITAS (Buku Kiri)


Judul Buku     : TELAAH ULANG WACANA SEKSUALITAS
Editor             : Mochamad Sodik 
Penerbit          : PSW IAIN SUKA
Tahun Terbit   : 2004
Jlh.Halaman    : xxvi +375 Halaman

MENYOAL WACANA SEKSUALITAS 

Didalam buku ini terdapat beberapa sub bahasan yang terkait dengan wacana seksualitas perempuan, diantaranya ialah masalah khitan, haid, dan iddah. Istilah khitan berasal dari bahasa arab dan memiliki banyak padanan seperti Khifad, Izar. Dalam tradisi jawa, khitan dikenal dengan istilah tetes, di Mesir dan Sudan, dikenal dengan khitan ala Fir’aun. Bentuk dan cara khitan perempuan dalam medis tidaklah sama. Setidaknya ada empat macam cara khitan dari yang biasa sampai yang sifatnya introsisi dan infibulasi dengan menggunakan benda yang sangat tajam seperti gunting. Tentu saja melihat praktek prektek tersebut dapat merusak sisi kemanusiaan perempuan.

Setelah membicarakan mengenai masalah khitandari berbagai perspektif, penulis juga menjelaskan maslah Iddah, dimana perspektif masyarakat selama ini menyatakan bahwa wanita yang mu’tadah itu tidak boleh beraktifitas diluar rumah, maka dengan buku ini ia menjelaskan bahwa islam genderis sebenarnya membolehkan hal tersebut dengan beberapa catatan. Kemudian penulis membicarakan masalah nikah sirri yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang banyak berujung pada pengabaian hak-hak perempuan. Hal ini dibuktikan dengan terkekangnya hak perempuan dimata keadilan jika terdapat masalah dengan keluarga, kemudian masalah hak asuh anak, dan beberapa masalah lainnya yang disebabkan oleh nikah sirri. 

Tentunya dalam masyarakat sosialis dan budaya, ada banyak hal yang seolah bertentangan dengan hukum islam, padahal menurut hemat saya dari sekian banyak penulis yang menggugat hukum islam kebanyakan mereka tidak menggunakan maslak yang benar, artinya mengkaji hukum hanya dari segi gender, meskipun digunakan ayat, atau hadits, dan tafsiran ulama, selalu dibantah dengan alasan Keadilan gender. Sama halnya dengan pencuri yang mengkaji hukum mencuri dengan menggunakan cara pandang pencuri pula. Agaknya dapat diqiyaskan demikian.

RESENSI : WACANA BARU RELASI SUAMI ISTRI (Buku Kiri)


Judul Buku   : WACANA BARU RELASI SUAMI ISTRI
Penulis          : Forum Kajian Kitab Kuning 
Penerbit        : LKiS
Tahun Terbit : 2001
Jlh.Halaman  : xxviii +209 Halaman. 

Membincangkan Kembali Wacana Keluarga

Bicara tentang relasi hubungan suami istri agaknya selalu mengarah pada ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228. Dimana zohir ayat selalu dijadikan tudingan bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, diawali dengan asal mula penciptaan wanita, kondisi wanita di Arab baik masa jahiliyah maupun setelah jahiliyah dan lain sebagainya. Sebagian besar literature islam menganggap kekurangan itu sebagai sesuatu yang melekat secara alamiah pada diri seorang perempuan. 

Padahal, Abu Syuqqah berpendapat bahwa kekurangan disini bukanlah kekurangan yang bersifat fitri,melainkan kekurangan nau’i. yakni kekurangan yang disebabkan oleh siklus haid, nifas, ataupun masa-masa hamil, dan perlu diketahui bahwa kekurangan ini tidak menghalangi mereka melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki. 

Banyak ketentuan-ketentuan didalam kitab klasik yang penulisannya didominasi oleh kaum laki-laki (ulama laki-laki) sehingga kedudukan wanita tampak terus tersingkirkan. Hal yang senada dapat dilihat didalam kitab Uqud Lujayn karangan Syaikh Nawawi Banten ini. Didalam kitab ini selalu menukil kelemahan-kelemahan perempuan, padahal jika dikaitkan dengan konteks kekinian dan gender keterangan tersebut cenderung berseberangan dengan realita social yang diahadapi masyarakat utamanya wanita. 

Hal inilah yang mendasari FK3 untuk menela’ah ulang kitab Uqud Lujayn yang merupakan kitab dasar dan selalu dipelajari di pesanten-pesantren utama nya di bulan ramadhan, buku ini sebenarnya kritik terhadap pengkajian kitab kuning pesantren yang monoton dan tidak mengenal diskursus gender dalam keilmuan. Buku ini ditulis dan diterbitkan dengan harpan adanya cahaya terang untuk para wanita yang selalu disudutkan dalam masyarakat dan social budaya.Unsure mencolok yang didapati dari buku ini ialah mengkaji berbagai aspek hukum baik yang sifatnya ta’abbudi maupun tidak dari segi illat, sehingga jika illatnya sudah hilang, maka larangan pun berubah menjadi kebolehan.

RESUME : TELAAH ULANG WACANA SEKSUALITAS (Buku Kiri)


Judul Buku    : TELAAH ULANG WACANA SEKSUALITAS
Editor            : Mochamad Sodik 
Penerbit         : PSW IAIN SUKA
Tahun Terbit  : 2004
Jlh.Halaman   : xxvi +375 Halaman. 



MENYOAL WACANA SEKSUALITAS 

Perspektif Tentang Khitan Perempuan 

Istilah khitan berasal dari bahasa arab dan memiliki banyak padanan seperti Khifad, Izar. Dalam tradisi jawa, khitan dikenal dengan istilah tetes, di Mesir dan Sudan, dikenal dengan khitan ala Fir’aun. Bentuk dan cara khitan perempuan dalam medis tidaklah sama. Setidaknya ada empat macam cara khitan dari yang biasa sampai yang sifatnya introsisi dan infibulasi dengan menggunakan benda yang sangat tajam seperti gunting. Tentu saja melihat praktek prektek tersebut dapat merusak sisi kemanusiaan perempuan. Maka keberadaannya tidak dapt dipertahankan lagi. Jika ditinjau dari kajian dalil, maka tidak ditemukan dali baik Al-Qur’an maupun hadits yang shahih. Meskipun ada yang sahih maka konteksnya yang berakibat fatal tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya. 

Jika ditinjau dari segi tradisi dan sunnah, dapat dikatakan khitan adalah perilaku fitrah yang merupakan peristiwa sederhana namun menjadi kompleks karena masuknya adat budaya setempat melalui symbol, makna dan pesta khitan yang kadang masih banyak mengandung unsure mitos. Hal ini mengakibatkan hakikat khitan di sebgaian masyarakat telah mengalami pergeseran makna, hakikat dan tujuan, hal ini disebabkan perkemabngan social, budaya, ekonomi dan pendidikan. Oleh sebab itu, sudah saatnya berpegang pada prinsip humanism islam yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setaraf, maka pelaksanaan khitan ini hendaknya dilakukandengan tetap menjaga keadilan gender, tanpa kekerasan, sehingga perempuan tidak merasa dirugikan aspek reproduksinya. 

Dalam pandangan fuqoha, khitan dikenal juga dengan istilah sirkumsisi. Dimana dalam hal ini para ulama fikih terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh kalangan as-Syafi’I, Ahmad dan Syi’ah yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah boleh, sedangkan bagi laki-laki adalah wajib. Adapun kelompok kedua yakni Hanafi dan Maliki, menolak sirkumsisi secara mutlak karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal tersebut. Secara umum, sirkumsisi ditinjau dari kesehatan dan kesucian ibadah serta reproduksi maka manfaatnya memang ada pada laki-laki, berbeda halnya dengan perempuan yang tidak mendapatkan hal ini. Disamping kesucian perempuanttetap dapat diperoleh tanpa sirkumsisi. 

Maka daripada itu, dalam menyikapi hal ini Syaltut menyatakan bahwa dengan melihat sisi agama dan medis, maka hukum khitan bagi perempuan tidak wajib dan tidak sunnah. Maka dalam hal ini Syaltut cenderung memandang sisi maslahatnya. Khitan perempuan boleh dilaksanakan manalkala tidak menimbulkan mudharat bagi perempuan tersebut. Dengan demikian, banyak juga disebagian Negara seperti Mesir dan Sudan dimana khitan perempuan justru sangan menyakitkan dan menimbulkan banyak mudharat. Dalam kacamata gender, khitan perempuan sangat merugikan karena dapat menghilangkan libido seksualnya. Dengan demikian untuk tetap menjaga dan mencegah bias gender maka khitan perempuan sudah saatnya ditiadakan. 

Problem Iddah 

Masa iddah atau masa menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya mereupakan ketentuan Allah yangtelah ada dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan berbagai kondisi. Sesuai dengan kondisi perempuan dan suaminya dalam hal cerai hidup, masa iddah bagi perempuan adalah tiga kali quru’. Tiga bulan bagi yang sudah tidak haid lagi, dan melahirkan bagi yang hamil. Sedangkan cerai mati maka iddahnya 4 bulan sepuluh hari. Iddah berdasarkan kajian Al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi, yakni segi hak Allah dimana wanita terhalang untuk melakukan pernikahan, dan aktivitas yang mengarah kepadanya. Kedua yakni segi manusiawi. Maka dalam hal ii bagi perempuan tidak ada halangan untuk melakukan kegiatannya termasuk beraktivitas selama tidak menimbulkan fitnah dan mudharat baginya. Dalam iddah, ada hikmah yang diterima laki-laki dan perempuan, terutama yang telah memiliki anak, maka keduanya tidak boleh melakukan akad nikah sebelum masa yang ditentukan (iddah) berdasarkan prinsip keadilan gender untuk menjaga perasaan pasangan masing-masing. 

Problematika Nikah Sirri

Nikah sirri secara umum diperbolehkan dandianggap sah oleh Syar’I dan pemerintah. Nmaun ada beerapa hal yang harus dipertimbangkan, yakni banyaknya kejahatan perkawinan dan kerugian yang dialami wanita dalam nikah sirri. Seperti tidak adanya hak hukum di mata peradilan, hak asuh anak, hak waris secara hukum Negara, dan masih banyak hal lain yang dalam perspektif gender sangat merugikan pihak perempuan. Maka dengan menimbang hal ini, konsep gender mengharamkan nikah sirri sebagaimana alasan dan pertimbangan diatas. 

RESUME : WACANA BARU RELASI SUAMI ISTRI (Buku Kiri)


Judul Buku   : WACANA BARU RELASI SUAMI ISTRI
Penulis          : Forum Kajian Kitab Kuning 
Penerbit        : LKiS
Tahun Terbit : 2001
Jlh.Halaman  : xxviii +209 Halaman. 

Membincangkan Kembali Wacana Keluarga

Relasi Suami Istri 

Bicara tentang relasi hubungan suami istri agaknya selalu mengarah pada ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228. Dimana zohir ayat selalu dijadikan tudingan bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Padahal, Abduh menyatakan bahwa keutamaan laki-laki tersebut tidak dapat dilepaskan dari kewajibannya dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga. Ini berarti bahwa bila seorang laki-laki tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dan yang menjadi tulang punggung keluarga ternyata adalah istrinya, maka kelebihan itu sudah barang tentu menjadi milik perempuan. Dan perlu diketahui bahwa kelebihan dalam ayat ini tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin seseorang, melainkan terkait gender seseorang. 

Sebagian besar literature islam menganggap kekurangan itu sebagai sesuatu yang melekat secara alamiah pada diri seorang perempuan. Namun, Abu Syuqqah berpendapat bahwa kekurangan disini bukanlah kekurangan yang bersifat fitri,melainkan kekurangan nau’i. yakni kekurangan yang disebabkan oleh siklus haid, nifas, ataupun masa-masa hamil. Namun perlu diketahui bahwa kekurangan ini tidak menghalangi mereka melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki. 

Belajar Dari Sejarah

Seperti halnya Sayyidatina ‘Aisyah, beliau pernah terliat sebagai panglima perang dalam perang jamal. Dan dalam meriwayatkan hadits juga tercatat sejumlah perempuan yang menghafal dan ahli dalam bidang hadits. Beberapa hadis juga mencatab bahwa ada beberapa perempuan yang mengurus urusan Negara bersama laki-laki. Dewasa ini sudah banyak perempuan yang pandai, karena mereka mempunyai kesempatan ayng luas untuk mencari ilmu. Selain itu proses modernisasi juga kian canggih telah melahirkan berbagai kebutuhan seseorang yang mendesak untuk dipenuhi. Kenyataan ini membuat perempuan tidak lagi bisa tinggal diam menunggu suaminya memenuhi semua kebutuhan keluarganya dan mengandalkan pengajaran agama sepenuhnya kepada suami. Berdasarkan beberapa statemen ini dapatlah diketahui dengan jelas bahwa sekarang kedudukan suami dan istri sudah sejajar, seiring dan sejalan dalam menegakkan rumah tangga. 

Memaknai Kelebihan 

Berkaca dari kalimat “BimaaFAddholallaahu BA’dhohum ‘Alaa Ba’dhin” agaknya kita bisa mendapatkan hikmah bahwa Allah hanya memberikan kelebihan bagi sebagian laku-laki atas sebagian perempuan, jadi lafaz ini tidak mutlak menunjukkan bahwa laku-laku seluruhnya lebih unggul dari perempuan. 

Kalau kita melihat kenyataan di masyarakat, bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan memang tudak sepenuhnya benar. Dalam dunia pendidikan misalnya banyak pelajar putrid dan mahasiswi yang prestasi akademiknya lebih tinggi dari pelajar dan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa prestasi akademik, dengan demikian, kesempatan menajdi ulama, pemimpin, pasti dimiliki juga oleh perempuan karena sudah sama statusnya dengan laki-laki. 

Jika kita sering melihat bahwa perempuan ada yang setia tidur di kursi sambil menunggu pulang suami, tapi yang ditunggu tak kunjung datang juga sampai pagi. Maka jika hadits mengenai hal tersebut dimaknai secara kontekstual dengan kacamata keadilan, maka suami pun harus menunggu istri dengan melakukan hal yang sama apapun resikonya. 

Keutamaan Shalat Diluar Rumah 

Masalah selanjutnya yang masih terus berkembang ialah masalah larangan bagi perempuan untuk melaksanakan shalat di luar rumah untuk menghindari fitnah. Oleh karena itu kalau fitnah tersebut tidak akan ada, maka bolehkah perempuan melakukan shalat diluar rumah bahkan dapat menambah semangat syi’ar islam, sehingga dalam hal ini shalatnya perempuan diluar rumah jurtu lebih baik daripada didalam rumah. Demikian juga halnya apakah shalat menggunakan parfum atau tidak, selama illat hukumnya dapat dicegah maka larangan itu berubah menjadi kebolehan. 

Kesimpulan 

Pada dasarnya hukum islam itu bergantung pada ‘illat nya. Dengan demikian, sesuatu yang diharamkan bisa berubah menjadi halal jika illat dari hukum tersebut sudah hilang. Demikian juga ketika membahas masalah gender, kepemimpinan perempuan, dan berbagai hal yang berkaitan, maka hal tersebut bisa berubah sesuai konteks dan hilangnya ‘illat suatu larangan.