1. Sekilas Epistemologi
Secara etimologi, Epistemologi berasal dari bahasa yunani “Episteme” yang artinya pengetahuan dan “Logos” dengan makna ilmu atau teori.[1] Dari dua rangkaian kata ini epistemologi dapat diartikan “Teori Pengetahuan”. Atas dasar makna ini, maka dapat disimpulkan bahwa Epistemologi adalah teori mengenai atau tentang pengetahuan.[2] Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam pengkajian sebuah ilmu, epistemology memiliki peranan yang sangat penting, yakni untuk mengetahui bagaimana seseorang mengetahui. Jika dalam tahapan ini gagal, maka seseorang akan terus mengalami kegagalan dalam memperoleh kesimpulan dari sebuah masalah yang dihadapi.
Mengutip keterangan Dr.Syamsuddin Arif yang terkenal dengan teori Kanker Epistemologinya, setidaknya beliau membagikan patologi kanker ini dalam tiga bagian, yakni Skeptisme yang memandang bahwa tidak ada satupun kebenaran. Relativisme yang memandang bahwa semua orang benar, dan yang ketiga Agnostisme siapapun tidak bisa mengetahui kebenaran”.[3] Artinya, penderita kanker epistimologi selalu berangkat dari keraguan dan menetap pada keraguan tersebut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali, meskipun ia sama sama berangkat dari keraguan sebagaimana Descartes, namun Imam Al-Ghazali tidak duduk diam dalam keraguan, melainkan terus berjalan menuju keyakinan.[4]
Sangat disayangkan bahwa kebanyakan orientalis mengkaji suatu ilmu khususnya ilmu-ilmu islam, selalu berangkat dari epistimologi yang sudah terkena kanker. Baik itu relativist, skeptisist, maupun agnostics. Hasilnya adalah keracuan dan kebingungan intelektual, bisa juga dikatakan kebanyakan manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemology selalu terperosok dalam berbagai kesulitan.[5] Disinilah kemudian diperlukan Worldview yang benar dalam mengkaji islam, yakni Islamic Worldview. Sungguh tidak layak dan tidak sesuai jika ilmu islam dikaji dengan Western Worldview, diibaratkan seseorang yang menghitung harga sebatang kayu ukuran 2x3 dengan harga Pass Photo 2x3, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang rancu dan nyaris salah.
2. Antara Keraguan dan Keyakinan
Jika Anda menanyakan pada seseorang yang memiliki keyakinan terhadap ideologi tertentu, tentu ia akan menjawab dengan alasan yang mungkin saja berbeda dengan Anda. lalu apakah penyebab perbedaan itu ? inilah yang disebut "pandangan alam", setiap orang yang berbeda pandangan alam, pasti akan menyimpulkan suatu masalah dengan kesimpulan berbeda, dan tentunya ia yakin dengan kesimpulan itu. Lalu ada apa dengan pandangan alam ? bisa dikatakan sebagian orang mungkin memandang alam sebagai satu bentuk, namun sebagian yang lain mungkin memandang dari berbagai bentuk dan sudut pandang, maka wajar kalau hasil nya berbeda.[6]
Lantas apa solusinya ? solusinya adalah, kita harus kembali kepada Epistimologi (Teory of Knowledge). dari sini kita bisa mengetahui mana epistimologi yang sehat, epistimologi yang sakit (terkena kanker epistimologi) dan epistimologi yang kurang sehat (tidak memahami ilmu dengan benar dan mendalam). setelah itu baru bisa ditarik mana epistimologi yang benar dan eistimologi yang salah. plus kita mengetahui apa itu epistimologi yang benar dan epistimologi yang salah, apakah mungkin kita bisa mengetahui sebuah kebenaran ? tentu saja mungkin. Jika Anda memulai dari Worldview dan epistimologi yang bersumber dari "Panca Indra, Akal, dan Khobar Shodiq" Anda akan bisa mengetahui sesuatu itu benar atau salah.
Lebih Lanjut Al-Attas mengungkapkan bahwa "Kebenaran ialah pengenalan dan pengakuan terhadap kebenanaran yang melazimkan seseorang mentahkikkannya dalam diri. dan mengenal kebenaran ini dapat diperoleh karena kebenaran itu jelas sebagaimana yang ditangkap oleh indera ruhani yang kita namai qalbu, yakni bersumber dari petunjuk Ilahi,yang dibuat dengan pertimbangan akal dan burhan istidlali, Bukan sebuah pengandaian.[7]
3. Orientalis dan Studi Alqur’an
Dengan menggunakan Biblical kriticsm sebagai framework untuk mengkaji Alqur’an, maka para sarjana Barat menggugat Mushaf ‘Uthmani yang selama ini diyakini kebenarannya ole kaum muslimin. Dibawah ini akan dikemukakan secara detil bagaimana metode kritis historis yang sudah mapan didalam studi Bible diterapkan ke dalam studi Al-Qur’an. Diatara kajian utama yang dilakukan oleh para sarjana Barat ketika mengkaji Al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Salah seorang toko dalam studi kritis sejarah Al-Qur’an adalah Arthur Jeffery (m.1959), seorang orientalis berasal dari Australia. Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan sejara kitab-kitab suci yang lain. Alqur’an menjadi teks stAndard dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat, dan tindakan masing-masing komunitas agama. demikian pula yang dilakukan oleh Kristen, mereka menjadikan dan menciptakan sendiri beragam variasi teks untuk perjanjian baru. Teks perjanjian baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria, tex netral, teks barat, teks kaisarea, dan masing masing memiliki varian bacaan tersendiri.[8]
Sisi lain dari kajian orientalis adalah menngkaji Alqur’an sebagai “Teks Sastra”. Pendekatan Sastra Al-Qur’an dimotori oleh Amin al-Khuli paruh akhir abad ke 20. Keseriusannya dalam mengkaji Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan al-Khuli yang bicara tentang bahasa dan sastra. Karyanya yang paling penting dalam kritik sastra adalah al-Adab al- Mishri (1943) dan Fann al-Qaul (1947). Keduanya adalah upaya al-Khuli untuk mendekonstruksi wacana sastra Arab dimana point terpenting nya adalah ada dua metode sastra yang dikedepankan, ,etode kritik eksentrik (Naqd al-Khariji) dan kritik intrinsic (Naqd al-Dakhili). Hal ini lahir dari semboyan yang ia ciptakan yakni “awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara total dan menghidupkan budaya kritik terhadapnya”.[9]
4. Kekeliruan Orientalis Dalam Studi Al-Qur’an
Kitab suci Al-Qur'an menjelaskan secara rinci bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan untuk satu tujuan agar menyembah Allah, tetapi dalam mitologi Yahudi semua alam ini diciptakan untuk menghidupi anak cucu bani Israel saja. Selain itu, nabi-nabi bani Israel dianggap terlibat dalam membuat gambaran tuhan-tuhan palsu (Aaron) dan bahkan dalam skAndal perzinaan (David), sedangkan Islam menegaskan bahwa semua Nabi-Nabi memiliki sifat kesalehan. Sementara, konsep trinitas dalam agama Kristen-dengan anggapan Jesus seperti terlihat dalam gambaran ajaran gereja sama sekali bertentangan dengan keesaan Allah dalam ajaran Islam. Kita akan paparkan sifat kenabian dalam ajaran Islam yang akan jadi dasar utama adanya perbedaan nyata antara Islam dan kedua agama itu yang mengalami pencemaran dari konsep monoteisme.
Kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan semua ayat-ayat Al-Qur'an mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasakan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada sekarang, kita sedang dikepung oleh badai- angin ribut yang mengerikan. Apa yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka melakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka mernbuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pembubaran [lembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'an tentang seruan jihad atau semua yang membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokoh tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya "pakar terorisrne" yang muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka mengenai teks-teks Islam.[10]
5. Kesimpulan
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Orientalis mengkaji Al-Qur’an tidak menggunakan metode kajian yang diajarkan dalam islam. Bisa jadi karena metode penafsiran dan pengkajian Alqur’an dalam islam sarat dengan nilai-nilai keTuhanan yang dalam pandangan mereka disebut “Metafisik”. Ketidak yakinan terhadap perkara metafisik ini mendorong orientalis menggunakan kacamata empiris dalam mengkaji Alqur’an. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penyimpangan dalam tafsiran orientalis, sebab mereka telah memutuskan hubungan manusia dengan Tuhan dalam mengkaji Alqur’an. Analoginya sama seperti seseorang yang disuguhkan segelas minuman, lalu ditebak satu persatu unsure dan berbagai aspek terkait minuman tersebut tanpa merujuk pada penyedia minuman atau pabrik minuman tersebut. Alhasil kesimpulan yang diperoleh sangat besar kemungkinan salah dibanding benar. Wallahu A’lam.
[1] William L.Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Book, 1998), h.198.
[2] Muniron, Epistemologi Ikhwan As-Shafa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.35.
[3] Syamsuddin Arif, Kuliah PKU X
[4] Murthadha Muthahhari, Epistemilogi (Jakarta: Penerbit Lentera, 2001), h.25-30
[5] Ibid,.h.27
[6] Ibid,. h.17-19.
[7] SMN.Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014), h.6.
[8] Adnin Armas, Metodologi Bible Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.82-83
[9] Amin Al-Khulli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa Al-Tafsir wa al-Adab, Cairo, Al-Hay’a al-Mishriyya al-‘Amma li al-Kitab, 1995, 4. Didalam hal 8-9.
[10] Al-A’zami, The History of Quranic Text (Jakarta: Gema Insani, 2005)