Jumat, 17 Februari 2017

Bolehkah Melakukan Perjalanan Jauh Dengan Niat Ziarah Kubur ?


Problematika seputar ziarah kubur adalah masalah fiqhiyah yang sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum syari’at, yakni halal, haram, makruh, ataupun sunnah. Seperti ungkapan didalam sabda Nabi Saw لا تشد الرحال)[1], bukanlah masalah yang berkaitan dengan aqidah. 

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian kalangan (semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka menuju kebenaran) yang mengkategorikan permasalahan ini kedalam ranah aqidah. Sama halnya seperti apa yang terjadi dalam permasalahan tawassul dengan perantara Baginda Nabi Saw., yang akhirnya bermuara pada tudingan-tudingan “syirik” bahkan mereka tidak enggan mengkafirkan sesama muslim, hanya karena berbeda dengan mereka dalam urusan tawassul dan ziarah kubur Nabi Saw. Padahal, penghulu pemahaman mereka yakni Syaikh Ibn Abdil Wahhab-pun mengkategorikan permasalahan ini dalam ranah fiqhiyah, bukan I’tiqodiyah. 

Seperti yang diungkapkan oleh beliau bahwa “Adapun sebagian orang yang meringankan hukum bertawassul dengan orang shalih, atau sebagian orang yang mengkhususkan kepada Nabi Saw, sedangkan sebagian besar ulama ada yang melarang dan memakruhkannya, ketahuilah bahwa masalah ini hanyalah masalah fiqhiyah, dan yang benar menurut kami adalah pandangan jumhur yang memakruhkannya. Namun kami tidak mengingkari kalangan yang tetap melakukannya, karena tidak ada pengingkaran dalam urusan ijtihadiyah".[2]

Namun sangat disayangkan bahwa ada sebagian kalangan yang menisbahkan dirinya kepada golongan “salafiyah” yang menggolongkan perkara ziarah atau melakukan perjalanan jauh untuk berziarah di makam Nabi Saw kedalam urusan “iman atau kafir, bertauhid atau syirik”. Alhasil mereka terburu-buru dalam menuding sesat, kafir dan sirik kepada sesama muslim yang melakukan perjalanan jauh untuk berziarah tersebut, padahal didalam fatwa-fatwanya mereka sepakat membolehkan (masyru’) melakukan perjalanan jauh jika menziarahi masjid Nabawi, padahal Makam Baginda Nabi-pun di lokasi dan tempat yang sama. 

Karena pandangan yang salah dalam memposisikan urusan tawassul dan ziarah tersebut, mereka dengan mudahnya mereka menuding orang yang mengatakan: “aku mengadakan perjalanan jauh dengan niat menziarahi Nabi Saw, untuk bershalawat dan menyampaikan salam kepada beliau, melihat fakta sejarah tempat turunnya Wahyu pertama, melihat tanah dimana jihad dan keimanan bergemuruh”, serta merta mereka mengatakan itu adalah niat yang salah dan sama saja melakukan kesyirikan dan bid’ah. 

Bersamaan dengan itu mereka juga mengatakan, “sesungguhnya niat yang dibenarkan oleh syari’at adalah menziarahi masjid Nabi, maka jangan sekali-kali mengatakan bahwa aku berziarah kepada Nabi Saw, namun katakanlah; aku berziarah ke masjid Nabi untuk melakukan shalat”. 

Sungguh sangat mengherankan, bukankah masjid Nabawi itu adalah masjid Nabi Saw ? bagaimana mungkin mereka memisahkan antara Nabi Saw dan masjid yang didirikan bahkan tempat dimana Nabi Saw dimakamkan ? jika memang ziarah ke masjid Nabi memiliki fadhilah besar, bagaimana mungkin menziarahi pemilik sekaligus pendiri masjid tersebut dihukumi haram dan kufur ? 

Akhirnya, perlu difahami bahwa perbedaan pandangan dalam masalah ziarah kubur hanyalah sebatas masalah furu’ fiqhiyah, maka bukan merupakan tindakan dan sikap yang baik bila kalangan yang tidak memahami permasalahan ini dengan mudahnya menuding buruk, sesat bahkan kufur bagi kalangan yang melakukan safar untuk berziarah kepada Nabi Saw., dan bertawassul kepada Nabi Saw., ahli kubur Baqi’, Ma’la dan lainnya. Karena perbedaan dalam masalah furu’ tidak boleh disandingkan dengan tudingan yang tidak lain merupakan “konsekuensi I’tiqodiyah”. Semoga Allah melindungi kita semua dari jalan yang sesat dan penuh tipu daya. Wallahu A’lam. 

[1] Hadits ini terdapat didalam Shahih Imam Bukhari No 1189, juz 2 hal 60 dan Imam Muslim No 115, Juz 2 hal.1014. dengan lafaz Shahih al-Bukhari : 

- حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى " (رواه البخاري). 


[2] Fatawa Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab didalam Majmu’at al-Mu’allafat, Juz 3 hal.68. 

0 komentar:

Posting Komentar